Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 07:41 WIB | Sabtu, 31 Agustus 2019

Memuliakan Allah dengan Mendahulukan Orang Lain

Manusia tanpa Allah hanya akan membuahkan malapetaka.
Setiap orang diundang (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” (Luk. 14:13-14).

Jika dalam merespons undangan, Yesus mengajak para murid-Nya untuk bersikap low profile (Luk. 14:8); maka saat mengundang para murid dilarang membeda-bedakan kursi. Semua tempat adalah tempat kehormatan. Bahkan Yesus mengajak mereka untuk mengundang orang yang tak layak diundang. Intinya: jangan mengharapkan imbalan. Kalau sekadar mengharapkan imbalan, ujung-ujungnya keuntungan diri sendiri.

Lagi-lagi, Yesus mengajak para murid-Nya untuk mendahulukan orang lain. Mengapa? Karena mendahulukan orang lain merupakan wujud nyata dari keinginan kita untuk mengutamakan Allah. Artinya, bukan diri sendiri yang dimuliakan, tetapi kemuliaan Allahlah yang utama.

Penulis Surat Ibrani menyerukan: ”Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya. Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Ibr. 13:15-16). Inilah korban yang diperkenan Allah, yang menyenangkan hati-Nya!

Mengapa kita menyenangkan hati Allah? Jika itu pertanyaannya, maka perlu ditambah pertanyaan selanjutnya: Mengapa tidak menyenangkan Allah? Apa yang bisa dilakukan manusia tanpa Allah? Bukankah tanpa Allah kita memang bukan apa-apa? Dari manakah datangnya nafas hidup itu? Bukankah kehidupan pun berasal dari Allah? Lalu, mengapa kita tidak menyenangkan-Nya?

Bahkan manusia tanpa Allah, cenderung menjadi serigala terhadap sesamanya (homo homini lupus est). Sejarah mencatat, manusia tanpa Allah akan cenderung menjadi tuan dan menganggap manusia lain sebagai budak. Manusia tanpa Allah cenderung mengingkari kemanusian dalam diri orang lain. Manusia tanpa Allah hanya akan membuahkan malapetaka.

Sebaliknya, manusia yang memuliakan Allah akan berusaha mendahulukan orang lain. Dia berusaha menjadi berkat bagi manusia lainnya. Bukankah ini perintah Kristus sendiri dalam Hukum Kasih?

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home