Loading...
INSPIRASI
Penulis: San Agustin 04:09 WIB | Kamis, 23 Februari 2017

Mendidik Anak dalam Keluarga

Semua dimulai dari dalam keluarga.
Menanggalkan topeng diri (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sebuah keluarga yang tinggal dekat rumah. Dalam percakapan yang penuh canda di sana-sini, seseorang berkata, ”Zaman memang makin aneh. Jika kita kita berkunjung ke rumah kerabat yang memiliki anak, kemudian saat akan pulang kita memberi Sang Anak uang seribu rupiah, orangtua akan berkata, ’Jangan diberi uang, nanti jadi kebiasaan!’ Akan tetapi, perkataan ini akan muncul: ’Ayo… bilang apa sama om’ jika diberi uang seratus ribu rupiah”

Sesampai di rumah saya kembali terusik dengan candaan tersebut. Ada beberapa hal menarik yang dapat dipetik dari candaan itu. Pertama, sejak kecil secara tidak langsung seorang anak dibiasakan untuk menerima sesuatu dalam jumlah besar. Ini memperlihatkan bahwa manusia pada dasarnya senang untuk menerima sesuatu yang bernilai besar dengan usaha yang tidak sebanding. Selain itu, pengalaman kecil itu juga secara tidak langsung memupuk mental instan dalam diri anak. Tentunya ini tidak cukup bagus bagi perkembangan sang anak.

Kedua, tentang kepura-puraan. Ternyata kepura-puraan bukan hanya terjadi pada orang yang memiliki gangguan relasi, tetapi juga ada di antara orang yang memiliki hubungan yang cukup dekat. Kepura-puraan tidak mengenal status. Ironisnya, dalam menjalani kehidupan setiap manusia selalu diminta untuk jujur terhadap orang lain dan diri sendiri. Sedangkan kepura-puraan mengarah pada ketidakjujuran dan seharusnya tidak dipelihara dan diajarkan kepada seorang anak. Orangtua yang melakukan tindakan yang sama dengan candaan di atas secara tidak langsung mengajarkan anaknya tentang kepura-puraan. Beruntung jika Sang Anak tidak mengetahui kepura-puraan orangtuanya, jika tidak sungguh memalukan.

Ketiga, tentang ketidakkonsistenan. Dalam menjalani kehidupan ini, salah satu hal yang mendapat pehatian publik adalah kekonsistenan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Orang yang selalu menjaga kekonsistenannya sekurang-kurangnya mendapat kepercayaan di mata banyak orang. Begitu pula sebaliknya. Bagaimana mungkin, yang jumlah kecil dilarang untuk diterima karena takut akan menjadi sebuah kebiasaan, sedangkan dalam jumlah besar tetap diterima dengan penuh rasa syukur? Sederhananya, jika ingin terima, terima semuanya dan jika ingin menolak, maka tolaklah semuanya, entah kecil atau besar. Banyak orang kurang memperhatikan kekonsistenan dengan alasan yang cukup masuk akal yakni fleksibilitas. Mengapa harus dengan fleksibilitas? Sebab fleksibilitas mendatangkan keuntungan.

Mudah-mudahan, kita semua bukanlah calon orangtua atau orangtua yang terus mengajarkan anak-anak tentang cara memperoleh hasil yang besar dengan usaha yang tidak sebanding, sekurang-kurangnya bisa mengurangi kepura-puraan dan mengembangkan kekonsistenan dalam diri mereka.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home