Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 03:14 WIB | Selasa, 07 Januari 2020

Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”

Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Seorang pengunjung sedang mengamati karya Klowor Waldiyono (dari kiri ke kanan): Amanjiwa Resor (2004), Kerinduan Alam Sehat (2017), Di Taman Bunga (2014), saat pembukaan pameran retrospeksi bertajuk “Hidup Berkesenian” di Jogja Gallery, Senin, (16/12). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi).
Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Beberapa karya lukisan berukuran kecil karya Klowor Waldiyono.
Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Siklus Kehidupan – cat akrilik di atas kanvas – 200 cm x 400 cm – Klowor Waldiyono – 2018.
Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Dua Pencabut Nyawa – sketsa ballpoint di atas kertas – Klowor Waldiyono – 2001.
Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Dari kiri ke kanan : Singing Contest (2008) – Super Cat (2005) – Sun Bathing (2018) – Kuda Lumping (2005), cat akrilik di atas kertas, 30 cm x 40 cm – Klowor Waldiyono.
Menebar Virus Kloworisme dalam “Hidup Berkesenian”
Seorang pengunjung sedang mengamati karya-karya Klowor Waldiyono, Minggu (5/1).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sketsa adalah garis-garis yang jujur. Kalimat tersebut disampaikan seniman-perupa Klowor Waldiyono saat pembukaan pameran tunggalnya bertajuk “Hidup Berkesenian”, Senin (16/12) malam tahun lalu.

Pameran tunggal bertajuk “Hidup Berkesenian” yang dihelat di Jogja Gallery menjadi upaya Klowor meretrospeksi perjalanan berkesenian rupa sejak dirinya memutuskan untuk masuk Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada tahun 1985.

“Dari garis-garis sketsa itulah, karya seni rupa saya tercipta. Sejak awal sketsa-sketsa itu saya simpan sebagai catatan. Sebisa mungkin tidak hilang atau tercecer. Selain beberapa yang saya kasihkan sebagai tanda cinta kepada kolega, semua saya arsip-dokumentasikan. Menjadi koleksi pribadi,” jelas Klowor Waldiyono kepada satuharapan.com, Minggu (5/1) siang.

Kumpulan sketsa-sketsa yang relatif lengkap sejak awal berkarya hingga saat ini menjadi pintu masuk bagi Klowor dalam upaya retrsospeksi proses berkaryanya. Lebih dari 1.500-an sketsa dipilih dan diseleksi untuk menandai titik penting lintasan masa berkeseniannya. Akhirnya diputuskan 58 sketsa-sketsa awal berkaryanya, salah satunya yang dibuat pada tahun 1985 saat Klowor masih duduk di bangku SMSR Yogyakarta (sekarang SMKN 3 Kasihan-Bantul).

Kesadaran berarsip-dokumentasi menjadi penting bagi seniman-perupa di tengah proses kreativitasnya dalam menghasilkan karya. Cukup mengejutkan ketika Klowor masih menyimpan dengan rapi sketsa-sketsa awal hingga saat ini.

Sebanyak 140-an lukisan dalam berbagai medium cat air, pastel, cat akrilik, cat minyak, dan tinta di atas kertas, kanvas, kayu, maupun medium campuran dengan ukuran/dimensi yang beragam menjadi materi pembacaan publik atas proses berkarya Klowor Waldiyono dalam rentang waktu 1985-2019.

Materi tersebut dilengkapi dengan 58 sketsa yang dipajang pada satu ruang serta satu ruangan menampilkan 13 salinan materi pemberitaan (media cetak), 2 salinan piagam penghargaan, 2 videografi berisi pendapat kolega-kolega Klowor, serta satu space di tengah ruang tersebut yang digunakan Klowor merespon peristiwa selama pameran yang berlangsung 16 Desember 2019 hingga 5 Januari 2020 di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No. 7 Yogyakarta.

Pada ruang masuk Jogja Gallery 8 lukisan lama di atas kanvas direstorasi untuk memberikan gambaran awal proses karya Klowor. Dua lukisan diantaranya merupakan rekaman Klowor yang dibuat pada tujuh hari setelah ibunya meninggal dunia. Sebuah mobil pertamanya yang menjadi saksi sejarah perjalannya masih dipertahankan hingga saat ini turut direstorasi melengkapi keseluruhan materi pameran retrospeksinya.

Hidup Berkesenian, Klowor Waldiyono dalam lintasan masa

Jika mengamati presentasi karya dalam pameran “Hidup Berkesenian” setidaknya ada tiga titik penting perjalanan berkarya Klowor yakni periode hingga tahun 1995 saat Klowor menggelar pameran tunggal perdana di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dalam tajuk “Hitam-Putih” yang mengantarkan dirinya sebagai “pelukis kucing” karena sebagian besar karyanya mengeksplorasi obyek binatang kucing dalam citraan monochrome hitam-putih.

Selepas pameran tunggal perdananya ada perubahan cukup signifikan dalam proses berkarya ditandai dengan penggunaan warna yang beragam dan cenderung soft-pastel–cerah dengan ornamen garis-garis yang detail dalam karya-karya naifnya. Hingga pameran tunggal keduanya yang dihelat tahun 2011 dalam tajuk “Siklus dan Sirkus Klowor” di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) semakin meneguhkan pilihan obyek kucing untuk membahasa-visualkan idenya. Dan kali ini dilakukan Klowor dengan lebih berwarna. Obyek kucing tidak lagi sebagai gambaran dari hewan kesayangannya, namun telah mewujud ke dalam simbol dari berbagai karakter narasinya.

Titik ini menjadi penting bagi Klowor meneguhkan pilihan interpretasi-eksplorasi merespon keadaan ataupun membaca suasana meskipun untuk itu Klowor memerlukan waktu yang relatif lama, 15 tahun di tengah aktivitas lainnya. Pada titik ini pula menjadi peneguhan kucing ala Klowor yang menjadi pembeda dengan seniman-perupa lain semisal pelukis Popo Iskandar ataupun seniman-pegrafis Edi Sukarno yang sama-sama menggunakan kucing sebagai subject matter dalam karyanya. Selain karya lukisan Kucing series, karya-karya dalam asosiatif obyek kucing banyak dihasilkan Klowor dalam rentang 1995-2008.

Rentang waktu berikutnya seolah menjadi titik belok ketika Klowor melakukan eksperimentasi mengeksplorasi alam sekitar ke dalam tarikan naifnya. Tanpa meninggalkan warna dari periode sebelumnya.

Dalam pameran tunggal ketiganya bertajuk “Colour(s) of Klowor” di Galeri Kemang 58 Jakarta pada tahun 2013 Klowor memamerkan karya yang tidak semuanya baru. Ada beberapa karya lama yang belum pernah dipamerkan sebelumnya. Langkah ini untuk menepis anggapan publik seni rupa bahwa dirinya hanya dikenal sebagai pelukis dengan karya-karya berukuran besar, penuh warna cerah, dan kucing sebagai karakter utamanya.

Dengan mempresentasikan karya-karya berukuran kecil, citraan monochrome, seolah Klowor sedang menyampaikan kepada publik bahwa warna-warni dalam karyanya adalah bagian keseharian kehidupannya.

Dalam sebuah wawancara pada pameran ketiganya Klowor menegaskan bahwa karya-karya yang dipresentasikan saat itu merupakan refleksi dunia yang penuh warna, dan dirinya ingin memulai dengan menghadirkan sosok manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan dimana ada drama kehidupan, problem sosial, dan beragam flora dan fauna yang diciptakan Tuhan, yang kehadiran semuanya membuat dunia bergerak dinamis.

Titik belok Klowor tersebut menjadi penanda pergeseran-pergeseran artistik Klowor secara dinamis dalam proses berkaryanya. Fase ini dipertegas dengan pameran tunggal keempatnya di Limanjawi art house – Magelang pada tahun 2016 dengan mengangkat tajuk “Terrestrial Paradise”. Salah satunya terlihat pada pada satu karyanya berjudul Amanjiwa Resor dengan beragam tetumbuhan dan hewan yang menjadi titik fokus.

Menariknya saat itu pada satu karya berjudul “Keliling Dunia” Klowor justru menampilkan karakter baru seperti burung-burung merpati yang tengah terbang bebas, ikan-ikan, dan pepohonan penuh warna, dan tidak ada satupun obyek kucing.

Mengamati rentang waktu antara pameran tunggal kedua hingga keempatnya yang berjarak 2-3 tahun, eksperimentasi Klowor menemukan fase penting dalam rentang 2011-2016 baik secara visual kekaryaan maupun eksplorasi ide-gagasan. Titik belok tersebut justru memicu produktivitas maupun kreativitas dalam proses berkaryanya.

Hal tersebut ditandai dengan gaya Klowor dalam lukisan dekoratif-figuratif naifnya yang berbeda dengan seniman-perupa lainnya, dan menjadi ciri khas karya Klowor yakni menghadirkan arsiran yang rumit dan komplek pada sekeliling subyek karyanya. Pada banyak karya, arsiran-garis tersebut saling overlap dan memunculkan karakter dalam dimensi yang terkesan multi-layer. Ini bisa dilihat pada karya-karya terbarunya lukisan seri Merapi, lukisan seri Harmoni Alam, Kerinduan Alam Sehat, Musim Bunga, Senja di Pegunungan, Simfoni Alam. serta karya terbarunya yang lebih banyak bercerita tentang human nature dalam realitas pemandangan.

Langsung maupun tidak langsung realitasnya gaya Klowor yang demikian memberikan pengaruh bagi dunia seni rupa khususnya di Yogyakarta.

Cukup menarik juga mengamati karya-karya terbaru Klowor dengan membandingkan pada karya lukisan pada awal-awal berkarya. Beberapa karya seolah menghadirkan siklik proses ulang-alik waktu berkarya. Karya bertahun 1988 yang dibuat Klowor dengan judul Senja di Hutan Lindung dan Panggung Terbuka di Seni Sono secara sekilas ada kemiripan visual dengan karya-karya terbarunya yang mengeksplorasi alam-lingkungan.

Dalam karya-karya terbarunya yang banyak merekam pemandangan dan alam dalam konteks relasi manusia-lingkungan sekitarnya, Klowor seolah menghadirkan karya-karya awalnya dalam sentuhan hari ini yang penuh kerumitan dan berlapis-lapis. Proses ulang-alik waktu dibarengi dengan eksperimen tersebut telah membebaskan dirinya untuk terlahir kembali dan tidak terjebak dalam rutinitas berkarya yang monoton. Inilah yang menjadi pilihan Klowor dalam “Hidup Berkesenian”-nya.

Sketsa, rekaman peristiwa dalam garis-garis yang dinamis dan jujur

Kesadaran berarsip-dokumentasi terhadap karya maupun proses di kalangan seniman-perupa di Indonesia bisa dikatakan masih rendah. Ini banyak diakui oleh seniman-perupa senior, meskipun beberapa seniman-perupa tertib melakukannya. Sebutlah Heri Dono yang selalu disiplin dalam mengarsip-dokumentasikan karya-karyanya baik yang menjadi koleksi pribadinya maupun yang telah menjadi koleksi pihak lain dalam bentuk portofolio yang dilakukan pemutakhiran sejalan proses berkaryanya.

Kesadaran berarsip-dokumentasi tersebut menjadi penting dimana sesungguhnya setiap seniman-perupa, sekecil apapun tentu memberikan sumbangan warna bagi perjalanan dunia seni rupa.

Beruntung Klowor Waldiyono masih menyimpan rapi karya sketsa yang dibuat dalam rentang 1985 hingga awal tahun 2000-an. Sebanyak 1.500-an sketsa pada awal berproses karya menjadi pintu masuk bagi Klowor menelaah perjalanan berkeseniannya.

Sketsa menjadi dasar bagi seniman-perupa didalam menghasilkan karya seni-kreatifnya. Sketsa merupakan catatan perupa saat merekam sesuatu yang dilihat atau berupa catatan momen kilasan ide yang bisa menjadi gagasan untuk digunakan dalam proses berkarya. Sketsa merupakan bagian dari proses kreatif perupa dalam menggambarkan citra, gagasan ataupun konsep sebuah karya seni.

Sketsa merupakan aktivitas menggoreskan tanda-tanda grafis secara kegarisan guna menuangkan ide-ide, rencana, atau impresi atas sesuatu yang diamati. Sebagai sebuah proses awal, sketsa menjadi aktivitas yang spontan keluar dari diri seniman-perupa saat menangkap subyek-obyek yang ada di sekelilingnya secara apa adanya. Tidak berlebihan ketika Klowor mengatakan bahwa sketsa adalah garis-garis yang jujur.

Ke-1.500-an sketsa awal Klowor Waldiyono menjadi catatan penting merekam perjalanannya secara on the spots di banyak tempat. Dari perjalanan on the spots itulah kepekaan visual-rasa seniman akan terus terasah.

Pada dua lembar kertas blocknote sebuah kegiatan di tahun 1992 ukuran A5, Klowor membuat sketsa dengan ballpoint dengan obyek-karakter kucing. Pada selembar kertas BC berukuran A4 dia membuat sketsa suasana stasiun Tugu berikut aktivitas dan lalu lalang masyarakatnya. Di kala lain, ia merekonstruksi perjumpaan “Adam dan Hawa” dalam sketsa-drawing hitam putih.

Lima puluh delapan sketsa di atas kertas yang dipilih Klowor mewakili proses awal berkeseniannya cukup representatif untuk memberikan gambaran kepada publik dengan obyek, lokasi, waktu, maupun pilihan goresan-garis yang beragam.

“Sebagai tanda cinta kepada kawan-kawan, saya lebih senang memberikan karya sketsa saya. Ini menjadi ungkapan perasaan terdalam saya,” jelas Klowor Waldiyono dalam perbincangannya dengan satuharapan.com, Minggu (5/1) siang.

Sebuah karya sketsa awal yang dibuat di Pantai Gesing dihadiahkan Klowor saat pembukaan pameran retrospeksi “Hidup Berkesenian” kepada pemilik brand tas Dowa Delia Murwihartini yang telah lama mengikuti perjalanan berkeseniannya, Senin (16/12) malam.

“Kumpulan sketsa awal akan terus menjadi koleksi pribadi saya. Inilah perjalanan sejarah saya dalam berkesenian. Dari sketsa-sketsa itulah saya bisa merefleksi diri di masa lalu,” tandas Klowor.

Menebar virus kloworisme, memetakan seni rupa Indonesia

Minimal dalam perjalanan dari tahun ke tahun ada catatan visual. Itu yang tidak terbeli oleh waktu. Kalimat yang disampaikan Klowor saat menutup pameran tunggal kelimanya menjadi legacy dari pameran retrospeksinya.

Pameran retrospeksi “Hidup Berkesenian” merupakan presentasi lintasan, perjalanan, urutan, lompatan, jembatan, bagaimana publik seni rupa disuguhi perkembangan-perjalanan proses Klowor Waldiyono dalam berkesenian.

Pameran retrospeksi menjadi ruang ekspresi, apresiasi, sekaligus edukasi. Dalam catatan satuharapan.com selama lima tahun terakhir telah digelar lima pameran retrospeksi di Yogyakarta. Empat pameran merupakan retrospeksi kelompok kesenian yang dihelat oleh Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta yakni Gerakan Seni Rupa Baru (2016), Sanggarbambu (2017), Taring Padi (2018), dan beberapa waktu lalu Ruang Mes 56. Satu pameran retrospeksi seniman tunggal digelar di Taman Budaya Yogyakarta pada bulan Agustus 2019 mempresentasikan retrospeksi mendiang I Nyoman Sukari.

Sementara itu dalam rangka memperingati momen ulang tahun empat puluh tahun Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), enam puluh tahun PLTBK, serta sembilan puluh tahun Bagong Kussudiardja, pada bulan Oktober 2018 PSBK menggelar serangkaian acara salah satunya pameran bertajuk "Ruang Waktu Bagong Kussudiardja" yang mempresentasikan arsip-dokumentasi yang dibuat dan didokumentasikan sendiri oleh mendiang seniman-perupa-penari Bagong Kussudiardja (BK) semasa hidupnya berisi tentang berita di media massa, foto perjalanan, foto-foto pementasan, materi publikasi, buku-buku tutorial, beberapa karya seni rupa dua dimensi berikut repro-nya, serta catatan-catatan yang dibuat BK dalam proses membuat karya seni.

Konten karya dalam pameran retrospeksi “Hidup Berkesenian” dari sisi jumlah, tema, tahun, keragaman karya, lebih dari cukup untuk memberikan gambaran perjalanan proses berkesenian Klowor Waldiyono. Bahkan karya lukis di masa-masa awal mampu dihadirkan meskipun telah menjadi koleksi pihak lain. Di sinilah peran arsip-dokumentasi menjadi penting, sehingga Klowor mampu menelusuri jejak karyanya bahkan pada saat awal berkarya.

Lantas bagaimana dengan “warna” Klowor dalam seni rupa Indonesia? Presentasi karya yang beragam tema, medium, rentang waktu, dilengkapi dengan sketsa pada lintasan setiap masa memberikan kemudahan bagi pubik seni rupa untuk membaca dan jika perlu memperbincangkannya.

Lima puluh tujuh sketsa-drawing-painting Klowor dengan obyek kucing menjadi ciri khas penanda karyanya. Secara sederhana, obyek kucing tersebut sekaligus menjadi penanda lintasan masa proses Klowor dalam rentang waktu tertentu, meskipun diakuinya bahwa diluar obyek kucing dia juga berproses karya lainnya.

Periodisasi berikutnya adalah karya lukisan dengan obyek lanskap dalam sentuhan human nature yang menjadi salah satu lintasan kreativitas-produktivitas Klowor melalui eksperimentasi yang menghasilkan karyanya lebih kaya “warna”.

Secara keseluruhan “Hidup Berkesenian” menjadi cermin Klowor menyikapi hidup dan berkesenian yang tidak melulu berkutat pada problem artistik semata. Meski begitu, setidaknya publik seni rupa dengan cepat mengenali karya-karya Klowor secara visual pada tatapan pertamanya dari caranya menggoreskan garis, memilih obyek ataupun warna. Artinya secara kekaryaan Klowor telah memiliki tempat tersendiri dalam dunia seni rupa Indonesia. Jika boleh memberikan istilah inilah sebentuk kloworisme dalam khasanah seni rupa Indonesia.

Disadari ataupun tidak, kloworisme secara visual banyak memberikan pengaruh (influence) bagi perkembangan seni rupa di Yogyakarta. Tentunya akan lebih besar lagi pengaruh tersebut manakala kloworisme tidak hanya terhenti pada kekaryaan semata, namun juga pada bagaimana menyikapi hidup dan berkesenian, salah satunya menjadi diri sendiri.

Melalui pameran retrospeksi “Hidup Berkesenian”, Klowor meninggalkan warisan penting bahwa sekecil apapun karya-proses karya seniman-perupa akan turut memberikan warna bagi perjalanan-perkembangan seni rupa Indonesia. Selain menjadi diri sendiri, luangkanlah waktu sejenak untuk mencatat dan menyimpanya. Pesan kloworisme inilah yang mungkin ada baiknya mulai dipikirkan bagi insan seni di Indonesia.

Hingga hari ini kesadaran berarsip-dokumentasi bagi seniman-perupa di Indonesia masih lemah. Karya bukanlah sekedar kumpulan portofolio yang tercetak dalam katalog pameran ataupun cv yang hanya diperlukan saat-saat tertentu, namun adalah catatan perjalanan seniman bersangkutan dimulai dari pencapaian-pencapaian hingga legacy-nya yang itu akan menjadi bagian dari puzzle-puzzle perjalanan seni rupa. Sekecil apapun catatan itu.

Bisa dibayangkan seandainya setiap seniman-perupa menghelat retrospeksi bagi proses berkaryanya akan tersusun sebuah peta seni rupa Indonesia dari masa ke masa. Perlu energi (biaya-pikiran-tenaga) yang besar? Tentu saja. Namun perlu diingat, catatan yang tercecer ataupun hilang justru tidak bisa terbeli oleh waktu.

Catatan kecil retrospeksi “Hidup Berkesenian”

Pameran retrospeksi Klowor Waldiyono bertajuk “Hidup Berkesenian” memberikan banyak catatan utamanya perlunya seniman-perupa melakukan pengarsip-dokumentasi karya-proses karyanya.

Sebagaimana sifat arsip, sesungguhnya pameran retrospeksi menjadi sebuah pameran yang sunyi. Kurasi yang dilakukan tidak sampai pada analisis dan lebih pada penentuan titik lini masa yang penting. Selebihnya publik seni rupa diberikan kebebasan untuk menginterpretasi presentasi yang disajikan. Di sinilah pentingnya konten pameran yang memadai dan tidak melulu karya namun juga informasi pendukung baik secara kualitas maupun kuantitas.

Sebagai upaya untuk memberikan telaah maupun pembacaan, retrospeksi sebagaimana trajectory mensyaratkan adanya ketersambungan/keruntutan informasi rangkaian peristiwa. Dalam hal ini karya seni yang dipresentasikan sekaligus menjadi artefak sumber informasi bagi pengunjung yang bisa menghubungkan satu kejadian/peristiwa, lintasan masa, ataupun hal-hal lain.

Menjadi penting untuk menyajikan infografis yang memuat banyak hal terkait seniman dan pencapaian kekaryaannya dalam lintasan masa. Idealnya publik seni rupa diberikan sajian infografis saat pertama kali memasuki area pamer untuk memberikan narasi besar tentang retrospeksi yang sedang dihelat.

Pemajangan karya menjadi titik krusial berikutnya dimana tantangannya adalah pada kapasitas ruang, jumlah karya, serta lintasan masa yang dilalui sehingga publik bisa membaca dalam arah yang runtut. Minimnya pameran retrospeksi di Indonesia menjadi tantangan bagi seniman-perupa untuk mencari rujukan tentang pameran retrospeksi yang ideal. Meskipun begitu, setidaknya empat pameran retrospeksi yang pernah dihelat oleh Galeri RJ Katamsi bisa menjadi pembanding mengingat dalam empat penyelenggaraannya dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan perbaikan dalam menyajikan informasi bagi pengunjung dan publik seni rupa.

Dalam hal pemajangan karya pada retrospeksi “Hidup Berkesenian”, ada baiknya pemajangan karya mengikuti lini masa sehingga memudahkan pengunjung menggali informasi sebanyak-banyaknya.

Terpaksanya pemajangan karya harus berdamai dengan dimensi karya dan kapasitas ruang, hal tersebut bisa disiasati dengan mengumpulkan karya dalam beberapa tema terlokalisir pada satu tempat. Pemajangan karya secara random tahun tidak menjadi kendala sejauh disertai dengan keterangan tentang karya melengkapi caption yang sudah ada. Pemajangan karya yang random bisa memberikan keleluasaan kepada publik membangun imajinasi proses perjalanan yang dilalui seniman. Apapun pilihan pemajangan karya, keterangan/tulisan dan informasi karya tersebut tetap diperlukan agar narasi besar pameran retrospeksi tetap pada jalurnya.

Dalam ranah seni rupa, sketsa selalu memiliki posisi yang penting dan menjadi soul bagi sebuah pameran retrospeksi. Dari sketsa-sketsa itulah nantinya lahir karya-karya besar seniman-perupa. Sketsa menjadi blue print bagi karya-karya berikutnya, bahkan pada beberapa peristiwa sketsa pada akhirnya menjadi sebuah karya yang berdiri sendiri. Sebagai gambaran sketsa awal karya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro maestro dari seni rupa Raden Saleh yang saat ini menjadi koleksi seniman-perupa Nasirun baik dari sisi visual maupun sejarah yang menyertainya menjadi sebuah karya seni rupa yang penting.

Sebanyak apapun karya sketsa ditampilkan dalam sebuah pameran retrospeksi justru memberikan informasi yang menguntungkan publik seni rupa bagi pembacaan proses berkarya secara utuh. Bahkan dalam sebuah dinding yang dipenuhi dengan pemajangan sketsa yang dilengkapi dengan keterangan/tulisan menjadi nilai lebih. Meskipun sketsa bisa membahasakan dirinya sendiri, keterangan/tulisan yang ada selain memperkaya juga akan menguatkan narasi yang ditawarkan dalam sebuah pameran retrospeksi mengingat garis-goresan dalam sketsa adalah garis-goresan yang jujur.

“Baru terpikirkan beberapa hari terakhir saat sedang memajang karya, untuk melengkapi karya yang sudah terpajang dengan narasi/tulisan. Setelah berhitung ulang ternyata waktunya tidak cukup. Ini (melengkapi karya dengan informasi/keterangan.tulisan) bisa menjadi pembelajaran yang penting bagi seniman-perupa yang hendak menggelar pameran retrospeksi di masa datang. Narasi besar sebuah pameran retrospeksi harus tetap dijaga, dan keterangan/tulisan tersebut tentunya akan banyak membantu pengunjung,” pungkas Klowor.

Dokumen pendukung berupa catatan-catatan, penghargaan, publikasi media, serta dokumen lainnya dalam berbagai bentuk menjadi penting melengkapi presentasi karya sebagai bagian dari pencapaian seniman-perupa diluar kekaryaan yang dihasilkan.

Keseluruhan materi tersebut sesungguhnya merupakan dialektika yang sedang dan terus terbangun dalam memberikan sumbangsih dan warna bagi dunia seni rupa khususnya seturut dengan perjalanan berkesenian seniman-perupa bersangkutan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home