Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:18 WIB | Rabu, 20 Agustus 2014

Menegangkan, Hubungan Agama dan Nasionalisme Indonesia

Grup kesenian Provinsi Bali tampil pada Pawai Seni Budaya Kreatif 2014 di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/8). Pawai budaya yang diikuti peserta dari 33 propinsi, 2 BUMN, dan 3 komunitas tersebut bertema 'Indonesia Bersatu'. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Doa Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, pada perayaan Hari Ulang Tahun ke-69 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Minggu 17 Agustus 2014 di Istana Negara, berisi sekitar 30 persen kata bahasa Arab-Islam. Dapat dipastikan sekitar 20 persen rakyat Indonesia beragama Hindu, Buddha, Kristen dan Kong Hu Cu serta agama suku dan aliran kepercayaan tidak mengerti 30 persen isi doa itu. Kemungkinan, sebagian kalangan Islam juga tidak paham dengan kata-kata bahasa Arab dalam doa itu.

Memang dapat dipahami bahwa sang menteri adalah seorang Muslim yang kemungkinan sudah terbiasa berdoa menggunakan banyak kata bahasa Arab. Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah apakah layak jika doa dalam perayaan hari raya nasional hanya berbasis satu agama? Bukankah doa seperti itu telah menempatkan satu agama di atas agama lain, dan menjadi diskriminatif terhadap agama dan umat lain? Mengapa menggunakan bahasa Arab padahal Indonesia memiliki bahasa nasional resmi, yaitu bahasa Indonesia yang dimengerti oleh seluruh rakyat? Bukankah akan lebih layak dan nasionalis jika doa disampaikan dalam bahasa Indonesia. Apalagi, bukankah Allah mengerti semua bahasa?

Pengutamaan Agama dari Nasionalisme

Banyak praktik baik oleh masyarakat maupun pemerintah yang memperlihatkan pengutamaan agama lebih dari kepentingan negara atau rakyat umum. Kepentingan negara atau rakyat banyak dikalahkan oleh kepentingan agama. Dalam perayaan agama, misalnya Lebaran, seluruh kegiatan negara diliburkan bahkan sampai dua hari libur resmi dan itu pun masih banyak orang menambah hari libur alias bolos, dan itu sering dianggap lumrah. Padahal, perayaan HUT kemerdekaan hanya libur satu hari dan itu pun para abdi negara dan pelajar harus tetap “berdinas” untuk upacara bendera. Contoh lain adalah di lingkungan saya di mana perayaan “17-an” dalam rangka HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditiadakan dan diganti dengan Halal Bihalal dengan dana masyarakat termasuk warga bukan Islam. Juga, kasus hukum dan hak asasi menyangkut agama yang telah diputuskan negara diabaikan oleh masyarakat ataupun pemerintah-negara karena pertimbangan agama, seperti soal Ahmadiyah, Syiah serta GKI Yasmin, dan HKBP Filadelfia.

Pementingan sentimen agama atau demi solidaritas agama diperlihatkan oleh pemerintah atau negara Indonesia dalam hal ini Presiden SBY yang dengan cepat dan serius menanggapi lalu memberi bantuan belasan miliaran rupiah bagi pengungsi Palestina. Ini juga dilakukan oleh kelompok-kelompok solidaritas dan sebagian kalangan Muslim Indonesia yang memberikan bantuan dana, mendirikan rumah sakit dan mengirim tim medis. Padahal sekian ribu warga Syiah dan Ahmadiyah menjadi pengungsi akibat diusir dari kampung mereka dan tidak diberi perhatian serius oleh presiden; ada sekian banyak rakyat yang menderita karena kemiskinan, kurang gizi dan mati karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Di pihak lain, tidak sedikit orang Kristen Indonesia yang mendukung Israel karena agama walaupun Indonesia sebagai negara menentang sikap Israel. Contoh lain adalah belakangan ini ada banyak warga Indonesia menjadi simpatisan dan ikut berperang di Irak dan Suriah bersama kelompok NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) sekalipun harus membunuh sesama Muslim.

Persoalan penting yang muncul dalam pengutamaan agama adalah diskriminasi yang berakibat pelanggaran HAM. Jika doa “Islami” boleh pada perayaan HUT Proklamasi di Istana Negara, apakah doa bercorak Hindu, Buddha, Kristen, Kong Hu Cu, agama suku atau aliran kepercayaan diperbolehkan atau diberi kesempatan juga? Bukankah seluruh warga negara dan umat beragama memiliki hak yang sama di negara Indonesia ini? Jika, Halal Bihalal diadakan, bolehkah perayaan Nyepi, Waisak, Natal atau Imlek diadakan juga di dalam masyarakat yang kebanyakan beragama Islam? Bukankah penganut agama-agama itu adalah warga masyarakat juga?

Nasionalisme Ideal Pemimpin dan Negara

Nasionalisme ideal telah diperlihatkan para leluhur atau pendiri bangsa dan negara Indonesia sekitar 69 tahun lalu. Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim dan Maramis antara lain menunjukkan pengutamaan kepentingan bangsa di atas kepentingan apa pun termasuk agama. Mereka menerima Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dimasukkannya pasal 29 dalam UUD 45 yang menjamin kebebasan rakyat untuk memeluk agama apa pun dan melaksanakan ajaran-ajarannya. A. A. Maramis, seorang Kristen dari Minahasa bersedia menandatangani Piagam Djakarta yang menguntungkan Islam, yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Demikian juga, demi kepentingan persatuan-kesatuan NKRI, Muhammad Hatta, didukung oleh tokoh-tokoh Islam seperti Ki bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan KH Wahid Hasyim, bersedia menandatangani penghapusan tujuh kata yang bercorak Islam itu dari Piagam Djakarta, piagam yang lalu dijadikan pembukaan UUD 45.

Seorang pemimpin negara atau aparat pemerintah, apakah dia sebagai ketua RT, lurah, bupati-walikota, menteri atau presiden sekalipun serta wakil rakyat di DPR/D, adalah pelaksana pemerintahan, abdi negara dan pelayan seluruh rakyat. Ia bukan hanya melayani rakyat dari satu suku atau agama. Ia betul-betul harus melayani negara dan seluruh rakyat tidak terkecuali dari agama apa pun. Negara adalah milik rakyat, dan rakyat di Indonesia majemuk. Karena itu, pemimpin negara atau pemerintah harus memiliki karakter dan kepribadian serta mengungkapkan dirinya dan perjuangannya sebagai seorang nasionalis yang menghargai keragaman seluruh rakyat. Ia tidak boleh eksklusif apalagi diskriminatif di dalam memperlakukan agamanya dan umat atau agama lain.

Pengutamaan agama yang eksklusif dan diskriminatif merupakan potensi ancaman bagi nasionalisme dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini betul-betul harus disadari, diperhatikan secara serius dan diatasi oleh seluruh eksponen bangsa, baik rakyat, umat beragama, tokoh agama dan khususnya pemerintah. Dengan begitu, Indonesia tidak akan menjadi negara gagal atau penuh konflik seperti Afghanistan, Pakistan, Irak, Suriah, Libya, Somalia dan Sudan.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home