Loading...
BUDAYA
Penulis: Dewasasri M Wardani 17:27 WIB | Jumat, 04 Oktober 2019

Mengapa Film "Joker" Sangat Kontroversial di Amerika Serikat?

Beberapa bioskop di Amerika melarang para penontonnya mengenakan riasan, topeng dan kostum saat penayangan perdana film Joker. (Foto: bbc.com)

AMERIKA SERIKAT, SATUHARAPAN.COM – Film Joker yang mengangkat kehidupan tokoh penjahat paling terkenal di dunia superhero, dirilis pada Jumat (4/10), namun menjelang pemutaran perdananya, film ini sudah menimbulkan banyak kontroversi. Bahkan menjadi persoalan bagi penegakan hukum di Amerika Serikat.

Dalam sepekan terakhir, beberapa media di Amerika melaporkan pihak kepolisian telah mengeluarkan peringatan bagi para personelnya, dengan menyebut ancaman penembakan massal yang 'potensial' di hari pemutaran film Joker.

Tujuh tahun yang lalu, seorang pria melepaskan tembakan saat pemutaran sekuel film Batman, The Dark Knight Rises di Kota Aurora, Negara Bagian Colorado. Peristiwa ini menyebabkan 12 orang tewas dan 70 orang lainnya mengalami luka-luka.

Tidak Boleh Mengecat Wajah

Terkait dengan peristiwa yang terjadi di Aurora, keluarga korban penembakan meminta agar bioskop-bioskop tidak memutar film Joker, dan sejumlah pemilik bioskop di kota itu sepakat untuk tidak menayangkan film tersebut.

Pihak keluarga korban juga melayangkan surat kepada Warner Brothers, produser film yang berada di balik pembuatan film itu. Mereka meminta perusahaan tersebut menyumbangkan dana kepada kelompok-kelompok yang membantu para korban kekerasan senjata.

Dalam surat itu, mereka mendesak Warner untuk menghentikan kontribusi politik terhadap "para kandidat (politisi), yang memberikan suara untuk menentang reformasi senjata".

"Kami meminta Anda untuk menjadi bagian dari suara para pemimpin perusahaan yang memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial menjaga keselamatan kami," demikian bunyi surat yang dilayangkan ke studio film seperti dikutip The Hollywood Reporter, yang dilansir bbc.com pada Jumat (4/10).

Salah seorang kerabat korban penembakan Aurora mengatakan, film itu mengingatkannya pada James Holmes, pria yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena peristiwa pembantaian itu.

"Saya tidak perlu melihat foto (Holmes). Saya hanya perlu melihat promo Joker dan saya melihat foto si pembunuh," kata Sandy Phillips, yang kehilangan putrinya Jessica Ghawi, 24 tahun, kepada The Hollywood Reporter.

Di beberapa kota Amerika lainnya, sejumlah bioskop melarang para penonton mengenakan topeng, mengecat wajah atau memakai kostum, yang biasanya dilakukan saat peluncuran film-film superhero.

Keprihatinan

Film Joker mengisahkan tentang Arthur Fleck, seorang komedian yang mengalami gangguan mental,  yang akhirnya melakukan tindakan kriminal.

Menurut ulasan pers pertama, film ini dibumbui dengan adegan kekerasan realistis.

Beberapa kritikus film di AS menuduh sang sutradara film, Todd Phillips, terlalu mengagungkan narasi Fleck.

Richard Lawson, dari majalah Vanity Fair, menulis bahwa film tersebut "mungkin merupakan propaganda yang tidak bertanggung jawab untuk orang-orang yang memang patologis".

"Apa film Joker ini untuk memuji-muji atau menakut-nakuti seseorang? Atau, tidak ada bedanya sama sekali?" tanya Lawson.

Sutradara Todd Phillips maupun aktor Joaquin Phoenix, yang bermain sebagai pemeran utama dalam film ini,  tidak sepakat dengan beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Joker mengagungkan kekerasan.

Ia mengatakan "terkejut" dengan kontroversi yang beredar.

"Film ini mengangkat soal kurangnya rasa cinta, trauma masa kecil dan kasih sayang di dunia. Saya pikir orang-orang bisa menangkap pesan itu," kata  Phillips dalam wawancara promo film pekan lalu.

"Bagi saya, seni memang seharusnya rumit. Jika Anda ingin seni yang tidak rumit, Anda mungkin cocok belajar kaligrafi."

Wawancara dengan Phoenix

Dalam wawancara terpisah yang diterbitkan oleh situs berita hiburan The Wrap, Phillips menyalahkan "pihak sayap kiri" atas kontroversi yang beredar.

"Yang luar biasa bagi saya dalam wacana tentang film ini adalah betapa mudahnya sayap kiri bisa terdengar seperti sayap kanan ketika itu sesuai dengan agenda mereka. Ini benar-benar membuka mata saya."

Terkait dengan beberapa pertanyaan soal filmnya yang mempromosikan kekerasan, Phoenix membela film tersebut.

"Orang-orang suka salah mengartikan lirik dari lagu. Mereka suka salah mengartikan bagian-bagian dalam buku. Jadi saya tidak berpikir bahwa menjadi tanggung jawab pembuat film untuk mengajarkan moralitas penonton atau perbedaan antara benar dan salah," katanya.

"Maksud saya, bagi saya, saya pikir itu sudah jelas," katanya.

Sang aktor juga mengatakan ia menikmati "ketidaknyamanan" yang disebabkan oleh film tersebut.

"Saya rasa hal yang baik ketika film membuat kita merasa tidak nyaman atau membuat kita berpikir dengan cara berbeda. Saya senang," kata Phoenix.

"Itu sebabnya saya ingin membuat film ini, karena itu tidak mudah bagi saya.

"Saya merasakan beragam perasaan terhadap Joker saat menyiapkan peran tersebut."

Tokoh-tokoh Bandit Favorit

Phoenix sebagai pemeran Joker lah yang sebenarnya semakin meningkatkan kontroversi. Ia dikenal sebagai aktor yang suka melakukan pendekatan mendalam terhadap karakter yang dimainkannya, dan jika dilihat dari trailernya ia memerankan tokoh tersebut dengan baik.

Kekaguman sebagian orang terhadap tokoh-tokoh "bandit" seperti The Joker atau Darth Vader, dalam film Star Wars juga menjadi bahan perbincangan.

"Kami memahami godaan. Sebagian dari kita akan senang membayangkan apa yang akan kita lakukan jika tidak dibatasi," kata psikolog Travis Langley, kepada stasiun radio Amerika KOA.

Langley adalah penulis buku The Joker Psychology,  Evil Clowns and The Women Who Love Them, sekaligus seseorang yang gemar membahas kejiwaan karakter-karakter fantasi.

"Para penjahat menggerakkan cerita-cerita semacam ini, karena pahlawan adalah karakter reaktif, mereka bereaksi terhadap sesuatu yang telah dilakukan penjahat. Ketika mereka proaktif, orang cenderung melihat mereka sebagai penjaga."

Publisitas negatif Joker, tidak dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya ketika karakter tersebut juga sempat digambarkan dalam film yang lain.

Heath Ledger, yang memerankan Joker dalam film The Dark Knight (2008), meninggal karena overdosis obat tak lama setelah filmnya dirilis.

Ledger,  memerankan karakter itu dengan kuat sampai-sampai diganjar penghargaan anumerta Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik pada tahun 2009, sebuah penghargaan unik untuk film-film superhero.

Sayangnya, kematiannya yang terlalu cepat juga menimbulkan desas-desus bahwa aktor Australia itu "dihantui oleh karakter itu".

Ini diperkuat dengan pendapat aktor Jack Nicholson, yang memerankan Joker dalam film Batman tahun 1989.

"Saya sudah memperingatkannya," kata Nicholson setelah diberitahu tentang kematian Ledger.

Kostum yang 'Berlisensi'

Warner Brothers mengeluarkan pernyataan yang menyangkal romantisasi musuh Batman.

"Jangan salah: karakter fiksi Joker, maupun filmnya, tidak mendukung kekerasan dunia nyata dalam bentuk apa pun," sebut perusahaan itu.

"Kami tidak bermaksud membuat karakter ini diangkat sebagai pahlawan."

Namun, studio film itu telah meluncurkan banyak barang berlisensi yang bertemakan Joker, termasuk replika resmi dari blazer merah tua yang dikenakan oleh Phoenix dalam film - yang harganya sekitar $75 (atau sekitar Rp1 juta).

Stigma Kesehatan Mental

Para pegiat kesehatan mental juga menyatakan, kekhawatiran tentang bagaimana film itu akan menggambarkan penyakit mental.

Ini adalah topik rumit dalam diskusi tentang representasi budaya. Dulu, beberapa ahli psikologi telah menegur Hollywood terkait penggambaran karakter yang sakit mental.

Menurut lembaga amal Inggris, Time to Change, yang berkampanye menentang diskriminasi kesehatan mental, stereotip masyarakat terhadap kondisi kejiwaan telah menghambat gerakan perubahan, yang mana kesalahan interpretasi serupa tidak terjadi terhadap isu lain seperti orientasi seksual atau ras.

"Kami sudah mulai melihat beberapa perubahan dari stereotip 'buruk' di film-film, tetapi ada sejarah panjang penyajian yang keliru,” kata Julie Evans, kepala komunikasi di lembaga amal tersebut kepada BBC.

"Penggambaran yang dramatis cenderung dilebih-lebihkan dan berkontribusi terhadap bertambahnya informasi yang salah. Mayoritas orang dengan penyakit mental tidak mengancam."

"Selain itu, mereka lebih cenderung menjadi korban kekerasan ketimbang menjadi pelaku, “ katanya.

Tim Snelson, seorang dosen Studi Film di Universitas East Anglia terlibat dengan sebuah proyek tentang sinema dan kesehatan mental, dan mengatakan mungkin akan sulit untuk menilai Joker sebelum filmnya dirilis.

"Ya, Hollywood sarat dengan contoh film yang mengabadikan mitos seperti hubungan antara kesehatan mental dan kekerasan, termasuk penggunaan sosok 'psikopat menyedihkan' yang diciptakan melalui trauma, seperti Joker," kata Snelson ‘

"Tapi saya menonton trailer-trailernya dan melihat ada upaya yang lebih menarik, yaitu sebuah tawaran untuk mengisahkan narasi 'asal-usul' karakter yang sakit mental, sesuatu yang tidak dimiliki film-film sebelumnya."

Penghargaan dan Pujian

"Akan memalukan jika ternyata Joker tetap terjebak stereotip. Tapi setidaknya film itu sudah membuka diskusi tentang bagaimana kesehatan mental digambarkan," kata sang akademisi.

Apa yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa film Joker sejauh ini menuai banyak ulasan positif , film tersebut mendapat rating 77persen di situs web ulasan Rotten Tomatoes.

Juga, kontroversi ini membantu membangkitkan minat: para analis box office memperkirakan bahwa film tersebut dapat meraup lebih dari AS$100 juta (Rp1,4 triliun) pada akhir pekan pembukaannya di Amerika Serikat. Ini akan menjadi rekor untuk film yang dirilis pada bulan Oktober.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya, film Joker meraih penghargaan tertinggi di Festival Film Venesia awal bulan ini, bahkan di akhir pemutarannya film ini mendapat sambutan tepuk tangan selama delapan menit.

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home