Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:14 WIB | Senin, 29 September 2014

Mengapa Pilkada oleh DPRD Harus Digugurkan?

SATUHARAPAN.COM – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui agar RUU Pilkada disahkan menjadi Undang-undang (UU) dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD. Apakah ini berarti berakhirnya era rakyat memilih langsung Gubernur, Bupati atau Wali Kota mereka? Berlakunya UU tersebut masih bergantung pada Presiden sebagai Kepala Negara  yang akan mengesahkannya, dan memiliki waktu 30 hari sejah disetujui di DPR.

Namun seperti kerasnya suara rakyat yang menghendaki Pilkada langsung oleh Rakyat, UU ini harus segera “digugurkan” melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Masyarakat sipil, lembaga dan partai yang sejalan dengan kepentingan rakyat itu harus segera menyiapkan gugatan ke MK.

Kekuasaan yang Korup

Mengapa Pilkada oleh DPRD harus digugurkan atau Pilkada langsung oleh rakyat harus didukung? Kita harus berpijak pada gagasan reformasi 1998, di mana suara rakyat dengan keras menyerukan ditegakkanya kedaulatan rakyat dan diakhirinya pemerintahan otoritarian melalui pembangunan demokrasi. Kemudian rakyat menghendaki pemberantasan korupsi, dan  diakhirinya pemerintahan sentralistik melalui otonomi daerah.

Gagasan reformasi itu yang kemudian menuntut amandemen terhadap UUD 1945, dan pembentukan sejumlah UU agar reformasi bisa dijalankan, termasuk otonomi daerah. Munculnya  pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan respons untuk memenuhi tuntutan reformasi, yang pelaksanaannya terhambat  akibat kekuasaan yang terkonsentrasi kembali.

Pada era Orde Baru, kekuasan terkonsentrasi pada lembaga eksekutif di bawah Presiden, dan lembaga legislatif nyaris hanya sebagai stemple. Ketika reformasi, pendulum kekuasan  ke arah lembaga legislatif. Presiden dipilih oleh MPR, kepala daerah dipilih oleh DPRD, bahkan pimpinan lembaga penting negara dipilih atau diseleksi oleh DPR.

Lembaga legislatif memegang kekuasaan yang sangat besar meliputi urusan budget, legislasi (penyusunan UU atau Perda), dan pengawasan kepada lembaga eksekutif, dan ditambah menentukan presiden atau kepala daerah. Kekuasaan yang besar ini  telah menjadikan banyak dari mereka yang menjadi korup.

Itu sebabnya, setelah reformasi korupsi masih menjadi masalah besar dan makin merajalela. Kita juga mencatat tragedi yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ditumbangkan oleh MPR, lembaga yang memilih dan mengangkat dia menjadi presiden.

Otonomi Daerah

Masalah-masalah itu yang kemudian mendorong agar presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, termasuk menjadi bagian dari penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Sebab, Pilkada oleh DPRD di mana anggotanya adalah bagian dari partai politik yang juga masih berwatak sentralistik, akan melemahkan pelaksanaan otonomi daerah. Bahkan tragedi  yang dialami Gus Dur bisa terjadi di daerah-daerah.

Oleh karena itu, sangat penting bahwa Pilkada oleh rakyat memiliki makna penting dalam mewujudkan secara nyata kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam konstitusi, tetapi juga dalam membangun demokrasi untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan,  serta jelas merupakan amanat reformasi.

Persetujuan DPR untuk mengubah Pilkada langsung oleh rakyat menjadi Pilkada oleh DPRD adalah pengkhianatan yang nyata atas amanat reformasi dan konstitusi. Hal ini yang disayangkan, bagaimana bisa anggota Dewan melupakan amanat ini.

Rakus Kekuasaan

Gagasan agar Pilkada oleh DPRD tampaknya lebih oleh kerakusan akan kekuasaan, dan sangat mungkin justru didasari oleh kepentingan mencari sumber keuangan partai melalui trasaksi politik. Yang berarti bahwa korupsi bisa menjadi makin subur oleh Pilkada melalui DPRD.

 Lembaga legislatif telah memiliki kekuasaan yang besar dalam gudget, pengawasan dan legislasi. Selama ini kritik dilontarkan kepada lembaga legislatif, karena lembaga ini tidak menjalankan tugas dengan baik,. Tetapi sekarang  masih mau merampas kedaulatan rakyat dalam memilih kepala daerah. Hal ini justru akan makin membuat lembaga ini mweninggalkan tiga tugas utama mereka, khususnya pengawasan dan legislasi.

Gagasan ini jelas lahir dari pemikiran untuk mengejar kekuasaan yang tidak didasarkan pada amanat dan mandat rakyat. Bahkan sebagian anggota DPR mendorong pembahasan  RUU itu setelah mereka mengalami frustrasi atas pilihan rakyat dalam pemilihan umum legislatif dan presiden beberapa bulan lalu; pertimbangan yang bukan saja naif, tetapi juga berbahaya.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk membatalkan ini melalui uji materiil di MK. Dan kita berharap MK melihat masalah ini secara komprehensif, bukan sekadar pemilihan langsung atau diwakili bisa diterima dalam sistem demokrasi, melainkan menyangkut prinsip dasar negara atau konstitusi dan amanat reformasi.

Koreksi Diri

Soal Pilkada yang mahal, perlu ditegaskan kembali. Biaya tinggi yang dikeluarkan kandidat kepala daerah dan penyelenggara pemiluhan bukan alasan yang tepat untuk perubahan dari pemilihan oleh rakyat menjadi oleh DPRD, karena tidak terkait dengan pemilihan langsung atau diwakili. Sebab, kandidat yang berkualitas dan didukung rakyat, akan mampu menggalang kekuatan rakyat yang justru bisa mencegah politik uang dan mahalnya Pilkada.

Masalahnya, mampukan partai politik mengajukan kandidat kepala daerah yang sesuai harapan rakyat? Bukankah “politik dagang sapi” justru dimuali oleh parpol yang menetapkan tarif untuk mengusung sesorang sebagai kandidat, dan bukan rakyat? Bukankan kandidat  Pilkada dan tim sukses mereka dari Parpol  yang membagikan uang, bukan rakyat yang meminta? Jadi, mengapa pula anggota DPR dan Parpol pendukung Pilkada oleh DPRD justru menyalahkan sistem dan bukan koreksi diri?

Oleh karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah parpol memperbaiki diri, bukan mengubah Pilkada langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD. Yang diperlukan adalah parpol menyiapkan kandidat kepala daerah yang berkualitas, bukan politisi buruk yang mengenakan “ topeng”   dan menggunakan uang untuk membeli suara rakyat dan menjalankan “politik dagang sapi”.

Harus diingat bahwa  pilkada oleh DPRD bisa saja terlihat murah, tetapi itu pada proses awal dan yang terlihat. Transaksi politik di belakang itu bisa jauh lebih besar, dan kepala daerah bisa menjadi sasaran “pemerasan” oleh DPR selama masa jabatannya. Artinya, tidak ada jaminan menjadi lebih murah atau korupsi akan hilang atau menurun. Bahkan bisa sebaliknya.

Yang perlukan adalah Pilkada tetap dilakukan oleh rakyat untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang diamanatkan reformasi, untuk menegakkan konstitusi, dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan. Pilkada oleh DPRD akan sangat membahayakan demokrasi dan bisa merusak tujuan otonomi daerah.

Jadi, dalam konteks ini penting bagi partai politik tidak menyalahkan sistem Pilkada langsung oleh rakyat, tetapi koreksi diri, atau menjadi Parpol hipokrit yang akan segera ditinggalkan rakyat.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home