Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 16:32 WIB | Rabu, 28 Januari 2015

Mengapa Sulit Berantas Kelompok Ekstremis Agama?

SATUHARAPAN.COM – Berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan membuktikan bahwa kelompok-kelompok ekstrem berlatar belakang agama masih eksis dan pantas diperhitungkan. Peristiwa yang belakangan menjadi perhatian dunia adalah penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo di Paris 7 Januari 2015 lalu yang menewaskan 12 orang, yang diklaim oleh Al-Qaeda di Yaman sebagai perbuatannya. Juga sebelumnya, pembantaian di sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan, 15 Desember 2014,  menewaskan 132 orang, kebanyakan adalah pelajar. Boko Haram di Nigeria dan Al-Shabab di Somalia juga adalah kelompok ekstremis berlatar belakang agama yang menunjukkan eksistensinya dengan melakukan berbagai tindakan kekerasan. Kelompok ekstrem lain yang kurang menjadi sorotan dunia adalah MILF di Filipina Selatan dan FARC di Kolombia.   Kelompok ekstrem yang beberapa bulan belakangan ini disorot oleh masyarakat internasional adalah ISIS/NIIS di Irak Utara dan Suriah.  

Berbagai cara dan upaya membasmi kelompok-kelompok ekstrem itu sudah sering dilakukan,  baik oleh negara tempat mereka eksis maupun oleh koalisi yang terdiri dari banyak negara termasuk yang superpower seperti USA dan negara-negara Eropa. Kita mengetahui bagaimana gencarnya usaha Amerika Serikat dan sekutunya  membasmi Al-Qaeda sejak serangannya terhadap WTC pada 11 September 2001. Osama Bin Laden, pemimpin Al-Qaeda, telah dinyatakan tewas, tetapi Amerika Serikat dan sekutunya tidak berhasil membasminya. Demikian juga usaha membasmi Taliban, Boko Haram, Al-Shabab dan  NIIS yang begitu gencar namun tetap belum memperlihatkan hasil yang berarti. Kelompok-kelompok ekstrem itu masih tetap saja tampak berjaya. Mereka menyerang tempat-tempat umum termasuk kantor polisi dan tentara, menculik dan membunuh dengan mempertontonkannya melalui berbagai media komunikasi kepada masyarakat dunia.

Mengapa kelompok-kelompok ekstremis itu masih saja eksis atau belum dapat diberantas oleh kekuatan negara atau koalisi antarnegara yang bahkan super power itu? Apakah kelompok-kelompok itu terlalu kuat sehingga sulit diberantas? Adakah faktor-faktor yang memperkuat eksistensi dan sepak-terjang mereka? Atau, adakah faktor-faktor yang melemahkan usaha-usaha pemberantasan itu? 

Catatan-catatan berikut dapat menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertama, kelompok-kelompok ekstremis umumnya muncul dan bergerilya di negara atau daerah yang tidak stabil secara sosial, politik dan ekonomi. Ada masalah ketidakadilan, kemiskinan, hak asasi manusia dan keamanan. Konflik atau gesekan sosial sering terjadi. Kondisi instabilitas adalah potensi dan lahan subur bagi muncul dan berkembangnya paham dan kemudian kelompok-kelompok radikal atau ekstremis.

Kedua, kelompok-kelompok itu hadir di negara atau daerah yang kebanyakan penduduknya memeluk agama yang sama dengan agama yang dijadikan bendera atau ideologi oleh kelompok itu. Kondisi keagamaan dominan tetapi masyarakat dirundung berbagai persoalan membuat radikalisme-ekstremisme agama didukung baik secara diam-diam maupun terbuka oleh masyarakat. Dukungan itu dapat berupa pembenaran moral-teologis, semangat, tenaga, daya dan dana. Kalangan pendukung itu menjadi kekuatan sekaligus tempat perlindungan. Kelompok ekstrem agama mudah mendapatkan simpati dan bahkan pengikut yang mau berjuang bersama karena ide perjuangan dan symbol yang dipergunakan diterima oleh banyak kalangan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Gejala ini tampak pada kelompok Taliban dan NIIS.  

Ketiga, kemampuan financial, persenjataan, rekruitmen dan mobilisasi umat yang intensif. Dua kondisi di atas, terutama dukungan moral-teologis membuat dukungan keuangan dan fasilitas otomatis diberikan. Tambahan lagi, kemampuan keuangan dan fasilitas untuk beberapa kelompok ekstrem, seperti Al-Qaeda, Boko Haram dan NIIS, banyak didapat dari hasil pemerasan atau perampasan harta milik rakyat atau negara serta penguasaan tempat-tempat produksi sumber daya alam seperti minyak yang dijual di pasar ilegal.  NIIS misalnya menjadi kelompok ekstrem terkaya dan mampu membeli peralatan perang yang canggih, bahkan diduga sampai memiliki beberapa pesawat tempur F-16. Kemampuan itu tentu menambah semangat dan keberanian para pengikut atau pejuangnya, serta juga memampukan perekrutan lebih banyak anggota.   

Keempat, di tempat munculnya kelompok-kelompok ekstrem, kondisi negara lemah, khususnya kemampuan kepolisian dan militernya. Di Nigeria, Boko Haram yang tidak begitu besar dan kuat tetapi mampu menyerbu dan menguasai pusat-pusat kekuatan kepolisian dan tentara. Taliban yang berpusat di Afghanistan mampu dan berhasil melakukan penyerangan di sebuah sekolah yang dikelola oleh militer negara Pakistan. Al-Qaeda di Yaman mampu menguasai gedung pemerintahan dan bahkan istana kerajaan.  Dan, NIIS mampu menguasai beberapa kota di Irak Utara dan Suriah.    

Kelima, pemberantasan setengah hati dari masyarakat internasional. Negara-negara yang berkoalisi memberantas kelompok ekstrem hanya sampai di usaha menyerang pasukan atau tempat-tempat berdiam mereka.  Tetapi karena ideologi perjuangan tetap ada maka tampaknya ungkapan “mati satu tumbuh seribu” berlaku untuk keberadaan kelompok ekstremis. Apalagi, negara-negara itu tetap saja membiarkan berbagai fasilitas yang mendukung keberlangsungan kelompok itu beredar, diperjualbelikan dan digunakan oleh mereka. Banyak kendaraan NIIS bermerek Toyota, Nissan dan Chevrolet; senapan, tank, peluncur roket dan pesawat mereka buatan Amerika, Inggris, Jerman, Rusia, Tiongkok dan Israel.  Belum lagi, ada dugaan bahwa banyak negara diuntungkan dari adanya kelompok ekstrem, khususnya NIIS, yang menguasai sumber-sumber minyak dan yang menjualnya di pasar gelap dengan harga sangat murah. 

Keseriusan memberantas kelompok-kelompok ekstrem agama memang perlu ditunjukkan dan dipertegas baik oleh negara di mana mereka eksis maupun dunia internasional. Pada 22 Januari 2015, 40 negara berkumpul di London-Inggris untuk membicarakan bagaimana memberantas kelompok-kelompok ekstremis. Kalau benar-benar menghendaki kelompok-kelompok ekstrem itu diberantas, negara-negara ini tidak hanya menggunakan persenjataan tetapi juga harus membatasi atau  menghentikan penjualan kendaraan dan peralatan perang baik oleh negara maupun swasta ke negara-negara tempat kelompok ekstrem bergiat. Kebijakan ini baru saja dibuat oleh Jerman yang menghentikan penjualan kendaraan perang ke Arab Saudi. Juga tentu, penciptaan keamanan, keadilan sosial, jaminan HAM dan penguatan angkatan bersenjata serta pendekatan kultural dan keagamaan perlu dilakukan untuk memberantas ekstremisme dan kelompok-kelompoknya sampai ke akar-akarnya.  

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home