Loading...
OPINI
Penulis: Efron Dwi Poyo 00:00 WIB | Kamis, 04 Agustus 2016

Mengembalikan Istilah Fundamentalisme

Program ‘deradikalisasi’ untuk melawan fundamentalisme keagamaan kerap didengung-dengungkan. Apakah memang tepat makna yang dimaksud?

SATUHARAPAN.COM - Untuk mencegah kegiatan terorisme pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melancarkan program deradikalisasi atas paham radikalisme. Menurut saya istilah ini kurang tepat. Hukum Murphy mengatakan bahwa segala sesuatu yang berangkat dari tumpuan yang salah hasilnya akan salah.

 

Fundamentalis dan Fundamentalisme

Pada 1910 – 1915 di Amerika Serikat (AS) sekelompok orang Kristen konservatif yang anti-modernisasi pemikiran Kristen menerbitkan buku-buku kecil untuk disebarkan. Buku-buku ini diberi judul The Fundamentals. Selebaran yang mereka terbitkan membela pandangan-pandangan literalistik terhadap isi Alkitab yang sudah dirontokkan sebelumnya oleh penghampiran kritis. Dalam selebaran itu dimuat lima unsur pokok iman Kristen, yang jika tidak mencitrakan kelima unsur itu, maka orang itu bukanlah orang Kristen sejati.

Curtis Lee Laws, seorang redaktur pada The Watchman Examiner, sebuah surat kabar dari kelompok Baptis, pada 1920 mengenakan istilah fundamentalis kepada kelompok Kristen di atas dan fundamentalisme sebagai aliran yang diusung oleh kelompok itu. Laws mengenakan istilah itu untuk mengolok-olok kelompok tersebut. Sejalan dengan waktu istilah olok-olok dari Laws itu digunakan oleh teolog, gereja, dan bahkan kalangan di luar gereja untuk orang atau kelompok yang secara militan dan literalistik membela agama mereka.

Dua dekade menjelang akhir abad ke-20 sampai pada masa kini fundamentalisme tumbuh sangat beraneka. Untuk itulah dalam bahasa Inggris fundamentalisme kerap ditulis jamak, fundamentalisms (Lih. Martin M. Marty dan R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed, Chicago: The University of Chicago Press, 1991). Martin E. Marty mencandra (to profile) sekurang-kurangnya ada tiga jenis fundamentalis: literalis, teroris, dan aktivis politik (Lih. Martin E. Marty,”What is Fundamentalism?”, 1996). Ketiga jenis fundamentalis tersebut dapat berdiri sendiri dan dapat juga gabungan ketiganya sekaligus dalam diri seseorang atau kelompok.

 

Radikal

Radikal berasal dari kata Latin radix yang berarti akar. Satu sifat filsafat adalah berpikir radikal. Berfilsafat berarti berpikir radikal. Filsuf merupakan pemikir radikal sehingga ia tidak akan pernah terpaku pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia juga tidak akan berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Ia akan mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar (radix) seluruh realitas. Apabila akar realitas itu ditemukan, maka segala sesuatu yang bertumbuh di atas akar itu akan dapat dipahami. Berpikir radikal hendak menjernihkan realitas lewat penemuan serta pemahaman akar realitas itu sendiri.

Satu tokoh klasik yang sangat terkenal sepanjang zaman akan keradikalannya adalah Yesus. Hukum-hukum agama konvensional secara radikal diberi makna baru. Yesus sama sekali tidak mengubah hukum-hukum konvensional tersebut, melainkan memberikan makna baru yang membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan manusia. Beberapa contoh keradikalan Yesus:

“Kamu mendengar gigi ganti gigi, mata ganti mata … tetapi Aku berkata kepadamu kasihilah musuhmu dan berdoalah untuk mereka.”

“Bukan yang kamu makan yang najis, tetapi apa yang kamu ucapkan.”

Pemungut cukai merupakan orang yang sangat dibenci oleh orang Yahudi karena pendosa. Ketika Yesus makan di rumah seorang pemungut cukai Yesus dikritik pemuka agama Yahudi. Yesus menjawab,”Aku datang untuk orang sesat, bukan untuk orang benar.”

Masih banyak lagi ajaran radikal Yesus di dalam kitab-kitab Injil. Yesus seorang radikalis.

 

Radikalisme

Apabila kita melongok kembali istilah fundamentalisme, kita memahami bahwa istilah fundamentalisme adalah olok-olok untuk kelompok yang menentang ilmu modern digunakan dalam tafsir kitab suci. Bagaimana radikalisme?

Dari penjelasan di atas radikal sama sekali tidak bermuatan negatif. Tokoh-tokoh besar dunia menjadi terkenal, karena berpikir radikal. Pemenang hadiah nobel, misalnya, karya mereka merupakan hasil pemikiran radikal sehingga membawa kemaslahatan besar bagi umat manusia. Bangsa yang maju peradabannya karena meraka mau berpikir radikal.

Apabila berpikir radikal membawa banyak masalahat, mengapa pemerintah melakukan deradikalisasi? Bukankah deradikalisasi merupakan program atau seperangkat peranti untuk membuat orang tidak berpikir radikal? Bukankah hal ini menjadi langkah mundur?

Saya dapat memahami hal ini, karena deradikalisasi menyembul ke permukaan sebagai reaksi atas “paham” radikalisme. Saya sendiri merasa heran ada banyak rujukan yang membuat takrif radikalisme merupakan  suatu paham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Secara epistemologi radikalisme sangat jauh dari pengertian radikal, apalagi dengan penekanan penjelasan “dengan menggunakan kekerasan”. Berbeda dari fundamentalis/fundamentalisme yang istilah ini muncul sebagai olok-olok kelompok anti-modernitas yang membuat selebaran/buku kecil The Fundamentals. Apakah radikalisme merupakan olok-olok terhadap radikal? Tampaknya jauh api dari panggang. Pada kenyataannya pada masa kini orang yang melakukan aksi perubahan, yang disebut “radikalis” oleh pemerintah, tidak membawa maslahat bagi bangsa, melainkan mau membawa Indonesia kembali ke zaman puluhan abad yang lalu, yang akal-sehat diletakkan di bawah otot. Dengan kata lain teroris bukanlah orang yang (berpikir) radikal.

Di sini saya mau mengembalikan istilah fundamentalisme ke “jalur yang benar”. Maksud saya apa yang dimaksud radikalisme oleh pemerintah sebenarnya adalah fundamentalisme yang menurut Marty dapat saja merupakan gabungan jenis fundamentalisme literalis, teroris, dan aktivis politik.

Dengan menggunakan istilah fundamentalisme pemerintah atau BNPT dapat secara radikal membenahi paradigma mengenai aksi teror di Indonesia. Fundamentalisme berawal dari sikap pandang literalistik terhadap kitab suci. Ekspresi sikap tersebut ada yang lewat pseudo-sains, ada juga lewat kekerasan yang kita kenal lewat aksi terorisme.

Sikap pandang literalistik didapatkan lewat pendidikan dini di keluarga, kemudian meluas di sekolah, dan lingkungan. Benih fundamentalisme sudah ditanam sejak dini di dalam keluarga.  Satu hal yang patut diingat fundamentalisme tidak bernasabah (relate)dengan tingkat pendidikan seseorang. Ada banyak rujukan yang membuktikan fundamentalis diisi oleh orang-orang yang berpendidikan sangat tinggi.

Pengalaman saya “mengajar” anak-anak muda untuk lebih berani “mengembara” di dalam kitab suci lewat penghampiran kritis-naratif menjadi pengalaman menarik. Mereka menyadari bahwa makin kritis terhadap teks, mereka makin banyak menemukan makna baru yang tidak pernah habis digali. Pengajaran sikap kritis terhadap iman sendiri justru membuat anak-anak muda antusias guna mengubah paradigma mereka dalam berwawasan hidup lebih bermaslahat di negara yang penuh kebhinekaan suku.

Mencegah fundamentalisme di kalangan anak-anak muda justru dengan mengajak mereka berpikir radikal mengenai refleksi iman mereka.

 

Penulis adalah alumnus Ilmu Tanah UGM dan Magister Ministri, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home