Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 22:51 WIB | Minggu, 22 Maret 2015

Mengharukan, Muslim Libya Sembunyikan Orang Kristen dari Kejaran ISIS

Osama Mansour, 26, (kiri) umat Kristen Koptika Mesir bersama dua rekannya C Hamdi Ashour, 29, and Radi Osman, 31. Ketiganya adalah orang Mesir yang mengadu nasib di Libya, tetapi terpaksa kembali pulang ke Mesir setelah pemenggalan kepala oleh ISIS (Foto:Betsy Hiel)

AWIYA, MESIR, SATUHARAPAN.COM – Beberapa orang Kristen Mesir bercerita bagaimana mereka lolos dari sergapan kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah atau lebih dikenal dengan sebutan ISIS, yang memburu mereka di Sirte, Libya, tempat mereka merantau dan mencari nafkah.

 Mereka dapat selamat dari risiko pemenggalan kepala oleh jihadis yang sudah dikutuk oleh seluruh dunia itu,  antara lain berkat bantuan kaum Muslim, yang melindungi mereka dengan berbohong  kepada ISIS bahwa mereka bukan orang Kristen melainkan kerabat yang sedang menginap.

Bahkan ada seorang sheikh yang membekali Al Quran dan sajadah untuk dibawa dalam perjalanan agar warga Kristen Koptik itu dikira bukan orang Kristen.

Betsy Hiel, koresponden Triblive.com, mewawancarai beberapa dari antara orang Mesir itu di Awiya, dan menemukan beberapa cerita mengerikan sekaligus mengharukan. Dalam laporannya Sabtu, 21 Maret dengan judul Egyptian Christians Pretend to Be Muslim to Survive ISIS Attack in Libya, salah satu yang ia kisahkan adalah Osama Mansour,  seorang Kristen yang bekerja sebagai buruh di Sirte. Dia sedang tidur di kamar kosnya ketika kelompok ISIS masuk ke dalam rumah yang ia tempati dengan para penyewa lainnya. Sadar apa yang terjadi, ia menyelinap keluar dan melompat dari satu pagar ke pagar lain mendahului para orang-orang yang bersenjata itu.

Ia kemudian berhasil lolos tetapi merasa sendirian di kota yang berbahaya itu karena terpisah dari rekan-rekannya, sesama orang Mesir yang mencari nafkah di Libya.

“Saya tinggal di SIrte selama 30 hari, tetapi setiap malam saya tidak pernah tidur di kamar yang sama,” kata pria berusia 26 tahun itu, yang sehari-hari memburuh membuat genteng.

Ia beruntung karena  dibantu oleh seseorang yang  ia sebut sebagai  Sheikh Ali, seorang Muslim dari provinsi Assuit. Sang Sheikh menyembunyikannya dan secara terus-menerus membawanya berpindah lokasi. Selama dalam persembunyian, Osama Mansour pun membiarkan janggutnya tumbuh agar bisa leluasa meninggalkan Sirte dan kembali ke Mesir melintas perbatasan.

“ISIS memiliki dua titik pemeriksaan dan di sana mereka memeriksa tato,” tutur dia sambil menunjuk tato salib berwarna hitam kebiruan yang lazim dimiliki oleh warga Kristen Koptik Mesir di bagian dalam pergelangan tangan mereka.

“Sheikh Ali dan saya menempelkan plester di pergelangan tangan dan tangan saya. Ia juga memberi saya Al Quran dan sajadah untuk dibawa selama perjalanan,” lanjut dia, menggambarkan bagaimana ia dibantu dalam upaya mengelabui ISIS apabila ketiban sial dirazia dalam perjalanan pulang ke perbatasan Mesir.

“Saya harus melakukan ini. Saya tidak bisa membayangkan ibu saya menggunakan busana hitam perkabungan,” kata dia, membayangkan kengerian dipenggal kepala oleh ISIS dan disambut ratap tangis keluarga, terutama ibunya.

Menyabung Nyawa demi Keluarga

Osama Mansour hanya satu dari ribuan orang Mesir –termasuk orang Kristen Koptik Mesir – yang bepergian melintas batas negaranya ke Libya untuk mencari nafkah. Mereka umumnya datang dari desa-desa bagian hulu Mesir, sebuah daerah yang subur tetapi relatif miskin di sepanjang sungai Nil, antara Aswan dan Kairo.

Pemerintah Mesir tidak memiliki angka resmi tentang berapa banyak warganya bekerja di Libya, karena banyak yang kesana secara ilegal. Menteri tenaga kerja Nahed El-Ashry mengatakan jumlahnya bisa mencapai 900.000. Mereka ini menjadi target ISIS, seperti 21 warga Kristen Koptik Mesir yang dipenggal kepalanya pada Februari lalu.

Hani Mahrouf, seorang Muslim, ikut meloloskan seorang rekannya yang beragama Kristen dari risiko pemenggalan kepala oleh ISIS. Dia terbangun pukul  2:30 pagi  pada suatu hari ketika ia mendengar suara kepalan tangan menggedor pintu rumah kos yang ia tinggali di sebuah kompleks perumahan di Sirte, Libya.

Yang datang itu adalah kelompok ISIS lengkap dengan senjata, ingin mencari orang-orang Kristen Mesir.

"Mereka memiliki banyak senjata," kata Mahrouf, 33, seorang pekerja konstruksi. "Mereka bertanya apakah kami Muslim atau Kristen,” kata Mahrouf bercerita. Bersamanya di kamar kosnya,  dua rekannya Muslim dan satu orang Kristen.

"Kami mengatakan kepada mereka bahwa kami adalah Muslim. Kemudian mereka meminta ditunjukkan kamar dari orang-orang Kristen. Mereka mengancam kami dengan senjata mereka."

Mahrouf dan tiga sahabatnya  - dua orang Muslim dan satu Kristen-- semua berasal dari desa miskin di provinsi Assuit Mesir, akhirnya  selamat pagi itu dari penyerangan oleh ISIS. Tapi 13 rekan mereka sesama buruh, umat Kristen Koptik, dibawa pergi.

Beberapa minggu kemudian, mereka mendengar berita teroris bertopeng memenggal kepala mereka, bersama dengan enam orang Kristen Koptik  Mesir dan Ghana, di pantai Mediterania di Sirte. ISIS merekam eksekusi massal dan merilis rekaman mengerikan di internet pada 15 Februari lalu - termasuk close-up  air laut memerah dengan darah.

Mahrouf  dan orang-orang Mesir lainnya  bekerja di Sirte yang berada di tengah-tengah wilayah  Benghazi dan Tripoli di pantai Libya dan tempat kelahiran diktator Libya Moammar Gadhafi, yang terbunuh oleh pemberontak pada tahun 2011.

Mereka tinggal di rumah bersama terdiri dari  15 kamar, masing-masing dengan halaman berpagar dan terjaga keamanannya.

Namun, pasukan ISIS yang bersenjata dengan mudah memanjat pagar. "Ada dua kamar untuk orang Kristen," kenang Hamdi Ashour, 29, seorang pekerja konstruksi yang tinggal sekamar dengan Mahrouf. "Kami menunjukkan satu."

Dia dan para pekerja lainnya takut memberitahu bahwa di kamar kedua juga ada pria Kristen yang sedang tidur. Mereka akhirnya mengatakan bahwa pria Kristen itu adalah saudara sepupu yang datang dari desa dan beragama Muslim.

Pasukan ISIS percaya dan mereka mengabaikan kamar kedua itu. "Padahal, jika mereka (ISIS) membuka pintu kamar kedua, kami akan terbunuh juga," kata dia. Sebab, orang-orang bersenjata itu akan dengan mudah menemukan bahwa laki-laki yang tidur di dalam sana  adalah warga Kristen Koptik Mesir.”

Namun, malang bagi mereka yang berada di kamar pertama. Ketika mereka merangsek ke dalam, mereka membawa pergi tujuh orang Kristen.

"Tentu saja, kami takut," kata Mahrouf, menjelaskan keputusan mengerikan yang mereka buat di bawah todongan senjata. "Orang-orang ini datang pada kami dengan senjata yang berisi peluru  dan memukul-mukul pintu."

Dia dan orang-orang lain menyaksikan para teroris "melompati pagar ke halaman berikutnya dan melakukan hal yang sama" di kompleks sebelah.

Seperti Mahrouf dan teman-temannya, orang-orang di kompleks kedua "berada di bawah todongan pistol untuk mengatakan kepada mereka dimana orang-orang Kristen, dan ISIS mengambil enam dari mereka."

Belum Kapok Kembali ke Libya

Hampir 50.000 pekerja telah melarikan diri dari Libya sejak peristiwa pemenggalan kepala warga Kristen Koptik Mesir.

Semua orang-orang itu kini mengatakan mereka menganggur. Mereka terdaftar sebagai pencari kerja pada  departemen tenaga kerja Mesir tetapi tidak pernah dipanggil.

Beberapa diantara mereka semakin putus asa untuk mendapatkan uang bagi  keluarga dan berpikir untuk kembali ke Libya meskipun ada risiko majikan yang jahat menahan gaji mereka, atau ditawan  untuk mendapat uang tebusan atau dipukuli oleh geng-geng kriminal. Yang paling berat adalah risiko dipenggal kepala,  nasib yang mengerikan namun berhasil mereka hindarkan dua bulan yang lalu.

"Negara ini, Libya, itu sumber pendapatan kami - tidak hanya bagi kami tetapi bagi banyak orang Mesir," kata  Radi Osman, 31 tahun. "Tapi siapa pun yang pergi sekarang, dalam situasi ini, akan mati. ... Kami akan kembali, atau kita akan mati kelaparan. "

"Saya akan pergi ke Tiongkok untuk bekerja," sela Mansour. "Kami adalah petani; kita tidak memiliki ijazah.”

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home