Loading...
ANALISIS
Penulis: Posman Sibuea 00:00 WIB | Sabtu, 18 Juni 2016

Mengotipmalkan Peran Ekonomi Kreatif Kuliner Lokal

Makanan Indonesia bukan hanya nasi goreng, gado-gado, sate, dan rendang. Masih banyak kuliner Nusantara yang unik dari Sabang sampai Merauke. Dan ini potensi ekonomi kreatif yang luar biasa.

Satuharapan.com - Di berbagai kota besar di Tanah Air kerap berlangsung festival kuliner. Masyarakat sangat antusias menyaksikan pertunjukan yang memamerkan kekayaan kuliner  nusantara ini. Ada yang datang sekedar melihat-lihat saja, namun tidak sedikit pengunjung memanfaatkannya menjadi peluang bisnis.

Hal yang sama, acara-acara kuliner  tetap menarik di tonton di sejumlah TV swasta. Di sisi lain,  pengunjung restoran misalnya setelah menikmati makanan kesukaannya gemar memamerkan foto-foto menu kesukaannya  di media sosial.  Fenomena ini sedikit banyak bisa memberikan gambaran bahwa Indonesia memasuki era kebangkitan kuliner lokal.

Kota-kota yang menjadi kunjungan wisatawan juga menjadi magnit yang kuat untuk berburu kuliner. Sejumlah kota tumbuh karena kunjungan wisatawannya meningkat dan tertarik dengan  kelezatan kulinernya. Bahkan pengusaha lokal tertarik berinvestasi membangun infrastruktur khusus yang memadukan seni dan gaya hidup dalam bisnis kulinernya.

Wisata kuliner sudah  ditampilkan satu paket dengan gaya hidup. Mereka kerap hadir  di mal, restoran papan atas yang  lengkap dengan segala macam tawaran di dalamnya. Langkah ini patut diapresiasi pemerintah karena akan mengoptimalkan nilai ekonomi dari subsektor kuliner untuk menyahterakan masyarakat Indonesia.

 

Gaya hidup

Persoalan makan bukan lagi sekadar urusan mengisi perut, melainkan juga menjadi hal menarik dari perspektif seni dan gaya hidup. Fenomena inilah yang ditangkap oleh Badan Ekonomi Kreatif yang  dibentuk setahun lalu untuk memilih kuliner sebagai salah satu lokomotif menggerakkan subsektor lain dalam industri kreatif. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pendapatan masyarakat secara langsung dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.  

Sedikit berbeda dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  di era pemerintahan SBY yang dinilai belum  mampu memberikan sumbangan berarti bagi sektor perekonomian bangsa. Badan Ekonomi Kreatif di era kabinet kerja sekarang diharapkan mampu memberi energi baru untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Program kerjanya tidak lagi hanya sebatas mengandalkan program-program tanpa warna baru yang terkesan menghabiskan anggaran semata karena terperangkap dalam kesibukan  menggelar lomba, pameran, dan lokakarya semata.

Kuliner di Indonesia sebenarnya sudah lama menorehkan jejaknya, yakni sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini. Kuliner tidak hanya berbicara tentang makanan, bahan-bahan, dan cara memasaknya, tetapi juga etika di meja makan, tata cara menghidangkan makanan, hingga kondisi dapur, seperti yang dipermasalahkan perempuan Belanda dalam buku De Hollandsche Tafel in Indie terbitan tahun 1900.

Kuliner bisa menjadi identitas suatu suku, kota, bahkan bangsa. Dalam perjalanannya, kuliner terkadang dijadikan alat untuk menilai status sosial seseorang. Kuliner pun bisa bercerita tentang sejarah peradaban dan menjadi salah satu daya tarik pariwisata. Lewat kuliner, kita bisa bercerita  mengenai panjang lebar tentang keindonesian kita.

Menu makanan khas Batak misalnya. Jika menyajikan ikan arsik, tentu kita bisa bercerita mengenai tempat asal bahan baku arsik, yakni ikan mas dan lokasi kerambanya di Danau Toba serta keunikan bumbunya yang amat terkenal itu, yaitu andaliman. Selanjutnya kita bisa berkisah soal tempat lain di Sumatera Utara sebagai  objek wisata menarik dengan beragam kulinernya. Singkatnya, memperkenalkan kuliner juga mempromosikan pariwisata nusantara dan potensi kebangkitan ekonomi kerakyatan.

Kesuksesan negara tetangga, Thailand dapat menjadi serpihan contoh untuk membangun inspirasi. Negara gajah putih ini telah sukses membuka peluang, baik pariwisata maupun perdagangan melalui diplomasi kuliner. Di sejumlah negara, restoran-restoran Thailand sudah mudah ditemukan dan selalu ramai dikunjungi konsumen.

Melalui restoran, Thailand memperkenalkan budaya dan tradisi masyarakatnya lewat pertunjukan seni yang digelar secara rutin. Mereka tak lupa pula menyelipkan promosi untuk memperkenalkan produk-produk unggulan mereka yang ditata secara menarik di etalase retoran. Lewat metode sederhana tersebut, Thailand tidak hanya sukses menarik wisatawan, tetapi juga berhasil menjual produk unggulan pertanian mereka ke masyarakat dunia.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Selama ini ekonomi kreatif kuliner belum digarap secara serius. Kita bisa berbangga karena kuliner sudah dimasukan sebagai subsektor indutri kreatif sejak 2012 seiring dengan lahirnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  di era pemerintahan sebelumnya. Pemerintah saat itu berkomitmen untuk menjadikan kuliner sebagai wisata minat khusus andalan Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena negeri ini punya banyak masakan khas  yang tidak kalah dari Thailand, Jepang, Italia, Korea Selatan dan Tiongkok.

 

Hilirisasi pertanian

Kebangkitan kuliner lokal erat kaitannya dengan penyelamatan sejarah kuliner nusantara setidaknya pada era modern. Namun, yang lebih jauh dari itu,  sektor ekonomi kreatif kuliner diharapkan mampu membangkitkan pertanian negara agraris ini. Masalah kedaulatan pangan bisa didekati dari hilirisasi pertanian, yakni lewat kesenangan dan menu kuliner yang tersedia di berbagai restoran di Tanah Air.

Selama ini penilaian masyarakat terhadap perjalanan panjang pembangunan ekonomi kreatif seperti industri kuliner pada umumnya disebut  tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai masalah yang menghadang. Minimnya akses permodalan, tiadanya jaminan harga bahan baku, penguasaan mutu dan  keamanan pangan yang masih rendah dan kualitas  sumber daya manusia yang apa adanya adalah serpihan contoh. Para pelaku kuliner  acap menghadapi soal rumitnya perizinan, regulasi  yang kerap  berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi.

Masalah baru akan segera menghadang ketika percepatan konektivitas diwujudkan pada pasar tunggal masyarakat Asean. Menghadapi MEA yang sudah berlaku sejak Januari 2016, kuliner lokal masih dibiarkan bersaing – untuk tidak mengatakan ditelantarkan – dengan koleganya yang berasal dari sejumlah negara maju tanpa proteksi. Bayangkan pelaku kuliner  lokal yang dibebani berbagai masalah harus bersaing dengan kuliner asing yang dikelola secara franchise menikmati berbagai fasilitas mulai dari permodalan, sarana dan prasarana, pelatihan teknologi dan inovasi kemasan, dan akses informasi pasar terkini.

Era globalisasi membawa pengaruh masuknya berbagai produk negara-negara lain ke Indonesia, tak terkecuali makanan. Sebagian besar masyarakat di kota-kota besar, khususnya dari generasi muda sudah tidak asing lagi dengan berbagai jenis hidangan makanan dari negara lain. Makanan asal Italia, yakni piza, juga sushi, hidangan dari Negeri Sakura menjadi favorit anak muda kini. Selain di kawasan Ibu Kota, sushi ternyata juga digandrungi kalangan muda di kota besar lainnya.

Oleh karena itu, pemerintah patut memfasilitasi kegiatan ekonomi kreatif kuliner secara lebih serius karena bertujuan membuka jaringan kerja sama, memberikan ide baru terkait usaha kuliner yang berbahan baku lokal, dan terutama merayakan budaya makanan nusantara ke tingkat global. Setiap makanan lokal bisa menjadi duta bagi bangsa. Semakin banyak orang mengenal masakan nusantara, ia akan penasaran dan diharapkan akan datang ke Indonesia untuk menikmati kekhasan kulinernya.

Makanan Indonesia bukan hanya nasi goreng, gado-gado, sate, dan rendang. Masih banyak kuliner Nusantara yang unik dari Sabang sampai Merauke yang bisa dikenalkan kepada pencinta kuliner di seluruh dunia. Dampaknya, tidak hanya bagi peningkatan arus kunjungan wisatawan asing, tetapi juga peningkatan kontribusi bagi produk domestik bruto sekaligus menekan angka pengangguran.

 

Penulis adalah Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara.

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home