Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 10:16 WIB | Selasa, 01 November 2016

Menhan Ancam Solomon Islands Soal Papua Dipertanyakan

Dari kiri, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, Menteri Pertahanan Australia, Marise Ann Payne, Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, dan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya. (Foto:kemhan.go.id)

BALI, SATUHARAPAN.COM - Ancaman Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terhadap negara Solomon Islands yang disampaikan melalui Pemerintah Australia, memunculkan pertanyaan. Selain dinilai berbeda dengan arah diplomasi yang diambil oleh Kementerian Luar Negeri, pernyataan tersebut juga diperkirakan dapat mengganggu hubungan bilateral Solomon Islands dan Australia.

Dua pakar ilmu politik mengatakan hal itu dalam kesempatan dan tempat terpisah yakni Stewart Firth, peneliti pada Australian National University dan Adriana Elisabeth, peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di sela-sela dialog tahunan  (2 + 2 Dialogue) Indonesia-Australia di Bali pekan lalu telah menjadi pemberitaan ramai oleh sejumlah media. Kepada wartawan di luar agenda resmi pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri bersama Menteri Pertahanan dari kedua negara untuk memperkuat hubungan kerjasama bilateral, Ryamizard mengatakan dirinya telah meminta Australia  untuk menegur Kepulauan Solomon.

"Tolong sampaikan ke negara Solomon (dan) ke enam negara itu (Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Palau, Tonga dan Tuvalu) jangan pernah menganggu-ganggu atau mengajak Papua bergabung, memangnya siapa dia," kata Ryamizard, dikutip oleh berbagai media.

Australia  merupakan negara pemberi bantuan kepada Solomon Islands  melalui Regional Assistance Mission to Solomon Islands atau Misi Bantuan Regional bagi Kepulauan Solomon (RAMSI). Ryamizard menganggap jika Australia yang menyampaikannya akan lebih didengar oleh negara  yang sebagai ketua Melanesian Spearheard Group (MSG), gencar menyuarakan perlunya PBB melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM di Papua.

Menurut Ryamizard, Indonesia selama ini tidak pernah mencampuri urusan negara lain. Ia mengibaratkan Indonesia  macan tidur. Jika diganggu Indonesia siap mengambil tindakan, bahkan istilah yang dia pakai adalah menerkam.

"Jangan pernah membangunkan macan tidur. Sekali dua kali marah juga. Kita ini macan bukan tikus kita bisa menerkam kemana saja kalau kita diganggu. Kalau macan enggak diganggu itu biasa aja ,, kalau diganggu tahu sendiri," tegasnya.

Menurut Ryamizard, permintaan Indonesia itu diterima oleh Australia.

Dalam pertemuan bilateral itu, Australia diwakili oleh Menteri Pertahanan Marise Ann Payne dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop sedangkan  Indonesia diwakili oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Desra Percaya.

Menolak Intervensi dengan Intervensi Baru?

Adriana Elisabeth, kepala Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang belum lama ini meluncurkan revisi Papua Road Map yang mengusulkan kerangka dialog bagi penyelesaian masalah Papua, mengatakan, pernyataan Menhan tidak memiliki dampak langsung bagi penyelesaian masalah Papua, kecuali bila basisnya kepentingan kerjasama Australia di Pasifik Selatan dengan Solomon Islands.

Adriana meragukan apakah Australia akan bersedia menyampaikan pesan Menhan, karena Australia sebenarnya tidak ingin isu Papua mendominasi hubungan mereka dengan negara-negara Pasifik. Menurut dia, jika isu Papua mendominasi dalam kerjasama Australia dengan negara-negara Pasifik, itu tidak baik bagi mereka. "Kalau isu Papua mendominasi, maka akan mengganggu kerjasama Australia di kawasan itu," kata Adriana kepada satuharapan.com.

Adriana sedikit heran atas pernyataan tersebut karena, menurut dia, jika Indonesia meminta Australia menegur Solomon Islands, Australia justru akan dianggap mencampuri urusan negara Solomon dengan Indonesia. Padahal, Indonesia tidak ingin negara lain mencampuri urusan dalam negerinya.

"Ini akan mengganggu hubungan bilateral Australia dengan Solomon," lanjut dia.

Adriana menilai Australia tidak akan mau mengurbankan kepentingannya dengan melaksanakan permintaan Menhan. Ia pun menduga, pernyataan Menhan bukan merupakan cermin diplomasi resmi yang dijalankan Kemlu RI.

"Esensi pernyataan Menhan tetap ikut campur urusan dalam negeri negara lain. Kecuali bila Menhan RI minta dukungan Australia untuk keutuhan Indonesia dengan Papua sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia," kata Adriana.

Pasifik juga Negara Berdaulat

Stewart Firth, peneliti pada Program Negara, Masyarakat dan Tata Kelola di Melanesia di Australian National University, menilai Menhan telah salah menafsirkan hubungan Australia dengan negara-negara Pasifik.

"Mereka itu (negara-negara Pasifik, Red) adalah negara berdaulat. Dan khususnya dalam kasus Kepulauan Solomon, Kepulauan Solomon memiliki hak untuk melakukan itu (berbicara tentang Papua) sebagai negara berdaulat, dan Australia tidak dalam posisi yang baik untuk memberitahu mereka secara berbeda," kata Firth, sebagaimana ditulis oleh Radio New Zealand.

"Satu hal yang bagi negara-negara Pasifik sangat bernilai adalah kedaulatan mereka," ia melanjutkan.

Firth mengatakan, dengan adanya bantuan Australia kepada Solomon bukan berarti negara itu dapat mendikte kebijakan luar negeri negara yang mendapatkan bantuan.

"Tentu saja ada bantuan bilateral besar yang berlanjut, tapi itu tidak berarti Anda kemudian dapat menentukan kebijakan luar negeri suatu negara," kata dia.

Firth menengarai bahwa Jakarta semakin sensitif terhadap isu Papua tercermin dari reaksi yang berbeda-beda dari para menteri. Ia juga menduga Indonesia cemas bila United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), -- yang oleh Indonesia dicap sebagai kelompok separatis -- diterima di Melanesian Spearhead Group (MSG) sebagai anggota penuh, akan dipandang sebagai simbol kemenangan bagi aktivis pro penentuan nasib sendiri Papua.

Di Luar Agenda Resmi

Kendati ramai menjadi pemberitaan, apa yang dikemukakan Ryamizard Ryacudu tampaknya bukan menjadi agenda bahkan sikap resmi pemerintah Indonesia. Dalam laman resmi Kementerian Pertahanan, isu mengenai Papua tidak  dicatat sebagai hasil pertemuan.

Sebagaimana dilansir dari laman resmi Kemhan, dialog yang dilaksanakan untuk keempat kalinya tersebut  menghasilkan kesepakatan bersama terkait upaya meningkatkan dan memperkuat hubungan kedua negara dalam kerjasama luar negeri dan kerjasama pertahanan. Di antaranya kerjasama di bidang keamanan maritim, kerjasama kontra terorisme, kerjasama di bidang pasukan penjaga perdamaian, kerjasama industri pertahanan dan kerjasama di bidang keamanan cyber.

Terkait kesepakatan kerjasama di bidang keamanan maritim, kedua pihak sepakat untuk mendiskusikan langkah-langkah praktis untuk memperdalam dan memperluas kerjasama di bidang kemananan maritim, serta mengapresiasi kerjasama yang telah dilaksanakan selama ini termasuk pelaksanaan patroli maritim terkoordinasi kedua negara pada tahun 2016.

RI dan Australia juga  kembali menegaskan komitmen untuk bekerjasama dalam isu-isu maritim melalui inisiatif regional seperti ASEAN dan India Ocean Rim Association (IORA). Kedua pihak juga bertukar pandangan tentang perkembangan terakhir, tantangan keamanan dan cara-cara untuk mendorong stabilitas di Laut China Selatan dan Laut Sulu.

Sementara terkait kerjasama di bidang kontra terorrisme, Indonesia dan Australia sepakat dan berpandangan bahwa kerjasama kontra-terorisme menjadi salah satu pilar terkuat dari kerjasama keamanan kedua negara. Kedua negara juga berkomitmen untuk meningkatkan kerjasama keamanan regional dan global melalui Jakarta Center for Law Enforcement (JCLEC), dan mekanisme bilateral lainnya yang terkait dengan deradikalisasi ekstremis dan kerjasama di bidang intelijen.

Dalam bidang kerjasama pasukan pemelihara perdamaian, kedua negara menyambut kolaborasi dan kerjasama antara Indonesia dan Australia sebagai Ketua Bersama dari ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) – Plus Expert Working Group (EWG) on Peacekeeping Operations (2017-2020). Kedua negara sepakat bahwa operasi penjaga perdamaian memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Kedua pihak mendukung visi dan target Indonesia untuk memberikan kontribusi sebanyak 4.000 pasukan penjaga perdamaian pada 2019, serta meningkatkan pasukan penjaga perdamaian perempuan dalam misi penjaga perdamaian.

Sedangkan kerjasama di bidang industri pertahanan kedua negara berkeinginan untuk menjajaki kerjasama di bidang industri pertahanan dan kerja sama modernisasi militer seperti melalui kesepakatan industri pertahanan kedua negara untuk mengembangkan kendaraan lapis baja.

Terakhir kerjasama di bidang siber, Indonesia dan Australia sepakat untuk meningkatkan kerja sama keamanan di bidang keamanan siber yakni melalui penguatan kerjasama pembangunan kapasitas pertahanan siber kedua negara.
 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home