Loading...
OPINI
Penulis: Surya Samudera Giamsjah 00:00 WIB | Kamis, 30 Oktober 2014

Menyambut SR XVI PGI: Bergulat Melawan Samudera Kematian

SATUHARAPAN.COM – Hari-hari ini masyarakat Indonesia mendapatkan suguhan sinetron demokrasi ala mereka yang menamakan diri mereka “wakil rakyat” namun tidak tahu, rakyat mana yang mereka wakili. Mulai dari sebagian besar mic yang tidak berfungsi, celetukan, “Paluna eweuh! ” sampai dengan aksi walkout yang dipelintir menjadi all out. Benar-benar menunjukkan kualitas kepemimpinan anak bangsa yang mengkhawatirkan. Melihat Senayan membuat ada begitu banyak anak bangsa ini merasa kuatir, tak terkecuali Gereja-gereja Tuhan di Indonesia, sehingga timbul pertanyaan, “Endonesha meh ke mana?”

Tontonan di televisi dan bacaan di surat-surat kabar mendatangkan rasa khawatir! Bagaimana dengan pelaksanaan Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia? Salah seorang teman berkata, “Agenda DKG sech ngga masalah, tapi pemilihan ketua, itu isu yang hot!” Lagi-lagi masalah kepemimpinan menjadi trending topic dalam perhelatan besar, bukan hanya di kehidupan berbangsa dan bernegara, namun juga dalam kehidupan bergereja.

Menarik sekali bahwa Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia ini mengangkat tema, “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya”, yang tentu tidak lepas dari refleksi pengalaman “berdarah-darah” nyonya dan tuan rumah kali ini, Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), gereja mula-mula di Nias. Gereja-gereja menyaksikan, bahkan dunia menyaksikan, bagaimana Nias porak poranda dihantam gempa dan tsunami, namun perlahan-lahan mereka bangkit dan sekarang tegar berdiri bahkan sanggup menjadi nyonya dan tuan rumah perhelatan nasional Gereja-gereja di Indonesia ini. Kemampuan Saudara-saudara di Nias untuk bangkit, berdiri, dan berkarya ini diyakini bukan karena mereka mampu, namun karena Tuhan sendiri yang turun tangan menopang dan menuntun, memampukan mereka.

Pemazmur, dalam Mazmur 71:20b—mazmur yang menginspirasi dan mendasari tema persidangan kali ini—mengalami naik turun kehidupan dan bahkan memasuki ranah pertaruhan nyawa. “Samudera raya” atau “asi ” dalam bahasa Nias, bagi masyarakat Yahudi pada waktu itu menggambarkan tempat di mana kuasa-kuasa pencabut nyawa berdiam. Kenangan dan penghayatan atas kisah turun-temurun di wilayah Timur Tengah akan adanya air bah yang menelan bumi dan isinya membuat masyarakat Yahudi mengasosiasikan samudera raya sebagai wilayah di mana kehidupan dapat dengan mudahnya dirampas dan dibuang. Dalam kenangan dan penghayatan kelam inilah, pemazmur mengarahkan perhatiannya, bukan pada satu titik manakala ia berada dalam air samudera raya yang melingkupinya, namun pada seluruh rangkaian peristiwa kehidupannya di mana ada satu tangan yang menggapainya dan mengangkatnya, tangan Allah Kehidupan yang mengangkatnya dari kuasa-kuasa kematian.

Samudera raya, yang diyakini sebagai simbol kuasa kematian, saat ini mencekam dan membayang-bayangi Gereja-gereja di Indonesia dengan berbagai-bagai wujud. Samudera raya ini berinkarnasi pada sebuah imperium yang melakukan usaha-usaha pemiskinan, usaha-usaha mencampakkan keadilan, dan usaha-usaha penonjolan kepentingan diri sendiri serta eksploitasi lingkungan. Samudera raya ini sedang bergemuruh dan siap menelan Indonesia dalam segala keberagaman dan kesatuannya.

Pemimpin-pemimpin bangsa ini tengah bangkit sebagai penguasa-penguasa yang bertarung di Istana Merdeka sampai Rumah Rakyat di Senayan, dan menyeret rakyat Indonesia masuk dalam pusaran air yang dalamnya tak seorang pun dapat pahami. Hidup bangsa ini tengah diseret masuk kembali ke dalam kekelaman dan kematian kehidupan. Bahkan, samudera raya ini, disadari atau tidak, juga tengah menyusup ke dalam sendi-sendi hidup bergereja. Pribadi-pribadi di dalam Gereja Tuhan sendiri, disadari atau tidak, secara langsung atau tidak, juga telah mengambil pola-pola pemerintahan imperium yang mengorbankan (victimizing) yang lain demi kepentingan diri sendiri atau kelompok sendiri, gereja sendiri atau denominasi sendiri.

Choan Seng Song, seorang teolog Asia, mengusulkan bahwa istilah basileia tou Theou tidak lagi dipahami sebagai Kerajaan Allah. Beliau mengusulkan bahwa istilah tersebut dipahami dan dihayati sebagai kedaulatan Allah (sovereignity of God). Tidak di satu negara, tidak di lokasi, tidak di satu kondisi Allah berdaulat, namun di semua aspek kehidupan, di segala situasi dan kondisi Allah berdaulat. Berdoa, “… datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di surga…” berarti mengusahakan, mengupayakan, menggumulkan, dan memperjuangkan kedaulatan Allah Kehidupan di dunia ini. Itu berarti bahwa manakala Gereja-gereja di Indonesia berdoa, “… datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di surga…” Gereja-gereja di Indonesia juga mempertandingkan kedaulatan Allah Kehidupan dengan imperium “samudera raya” yang mematikan itu. Dan… Nias menjadi arena pertandingan antara kedaulatan Allah Kehidupan melawan imperium “samudera raya” yang mematikan itu.

Proses persiapan dan pelaksanaan Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, proses pemilihan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia tahun pelayanan 2014-2019, serta proses berteologi dalam temu raya-temu raya yang mendahului persidangan itu menjadi sebuah pergumulan bagi para pimpinan Gereja di Indonesia, “Apakah kedaulatan Allah Kehidupan yang diperjuangkan, ataukah kuasa kematian imperium ‘samudera raya’ itu yang dihadirkan?”

Nias! Engkau telah mengalami jatuh bangun timbul tenggelam kehidupan ini! Pernah ada ratap tangis anak-anakmu dalam kesendirian dan kegelapan sebab samudera raya menelan ayah ibu mereka. Hari-hari ke depan engkau akan menjadi arena pertarungan antara kedaulatan Allah Kehidupan, yang pernah mengangkatmu dari cengkeraman samudera raya, dengan kuasa “samudera raya” kematian yang terus berusaha mencengkeramu, bahkan mencengkeram Gereja-gereja Tuhan.

Nias! Tontonan seperti apakah yang akan engkau sajikan bagi gereja-gereja Tuhan di Indonesia dan dunia ini. Engkau pernah mempersaksikan tangan Allah Kehidupan mengangkatmu dari samudera raya yang mematikan, hari-hari ini masihkah dirimu mempersaksikan kedaulatan Allah Kehidupan yang mengalahkan kuasa imperium “samudera raya” kematian?

Nias! Sudah cukup tontonan menjijikkan di televisi dan bacaan-bacaan memuakkan di surat-surat kabar tentang imperium “samudera raya” yang menggulung bangsa Indonesia ini! Kini giliranmu, Nias, untuk mempersaksikan tangan Allah Kehidupan yang menghadirkan keadilan dan perdamaian, baik bagi Gereja-gereja di Indonesia maupun bagi dunia ini.

Sajikanlah proses pemilihan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang betul-betul memahami identitas dirinya sebagai hamba yang menempatkan kedaulatan Allah dan keadilannya—basileia tou Theou kai dikaiosune—sebagai yang pertama-tama dicari, dan lahirkan pemimpin-pemimpin Gereja yang betul-betul lapar dan haus akan keadilan Allah—peinontes kai dipsontes ten dikaiosune (Matius 6:33 dan 5:6).

 

Penulis adalah Pendeta di GKI Taman Majapahit Semarang


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home