Loading...
ANALISIS
Penulis: Mohamad Guntur Romli 00:00 WIB | Kamis, 26 Mei 2016

Menyibak Kontroversi Kebijakan Kontribusi dan Kompensasi Ahok

Langkah-langkah terobosan Ahok sering menuai kontroversi. Yang terbaru soal kebijakan kontribusi dan kompensasi pengembang, sehingga memunculkan perdebatan soal “barter”. Apa sebenarnya yang terjadi?

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akhir-akhir ini Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diserang karena mewajibkan pada para pengembang reklamasi Teluk Jakarta untuk menunaikan kontribusi tambahan sebagai kompensasi terhadap proyek reklamasi. Kontribusi ini berupa pembangunan rusun, pembangunan rumah pompa, pengerukan sungai dan waduk serta segala proyek lain yang terkait dengan penataan kota Jakarta khususnya dari bebas banjir.

Lawan-lawan pun Ahok menuduh kebijakan ini dengan sebutan korupsi, kolusi, maladministrasi, barter, dan lainnya. Benarkah demikian? Tuduhan ini sebenarnya menyimpan maksud buruk dan mungkin juga baik. Yang buruk adalah, sikap ini hanya ingin mencari-cari kesalahan Ahok dengan tujuan membela pengembang yang merasa “diperas” oleh Ahok dan mengalihkan isu suap reklamasi yang menjerat Sanusi (DPRD Jakarta dari Gerindra) dan Ariesman dari Agung Podomoro.

Mempertanyakan kebijakan Ahok soal kontribusi dan kompensasi juga bisa jadi ada maksud baik, terkait aturan tertib administrasi dan prosedural agar tidak terjadi maladministrasi. Apakah kebijakan menentukan kontribusi ada aturannya? Kalau tidak ada, apakah masuk dalam wewenang diskresi?

Bukan Diskresi

Menurut Harjono, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga, putusan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama soal pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta tidak tepat disebut sebagai diskresi. Seperti ditulis Tempo:

Merujuk pada definisi Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ia justru menilai pengambilan keputusan tersebut sebagai keputusan manajerial yang memang melekat pada jabatan. "Kenapa bukan diskresi? Karena kalau diskresi keputusannya satu pihak saja. Sedangkan yang dilakukan (Basuki) itu keputusan yang diambil berdasarkan pada perjanjian," kata Harjono saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 Mei 2016.

Menurut dia, yang jadi ukuran Doelmatigheid (ketercapaian tujuan) adalah untuk keuntungan siapa. Ia justru mengapresiasi langkah Ahok, sapaan akrab Basuki, karena ketentuan tidak mewajibkan tapi justru pihak swasta memilih untuk terlibat. "Kalau ada masalah mestinya swasta yang berkeberatan dan melakukan permohonan pembatalan,” katanya.

Doelmatig, kata dia, merupakan suatu putusan yang tak hanya berdasar pada hukum, tetapi juga berdasarkan pada tujuan hukum yaitu mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Berbeda dengan Rechtmatig (keabsahan) suatu putusan yang hanya mengandalkan pada hukum dan perundang-undangan saja. (Tempo.co 22 Mei 2016).

Ada dua hal penting dari pendapat Harjono tadi. Pertama, keputusan Ahok bukan diskresi yang juga meluruskan pendapat Ahok sendiri yang beberapa kali menyebut keputusannya sebagai diskresi.

Kedua, Harjono menguatkan filosofi hukum, bahwa hukum ditegakkan bukan hanya soal keabsahan dan prosedur (Rechtmatig) namun lebih ke dasar tujuan hukum itu sendiri (Doelmatig). Dalam istilah perdebatan hukum Islam, juga dikenal bahwa hukum itu tergantung pada maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum).

Terkait tujuan kebijakan yang dilakukan oleh Ahok, ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa kebijakan itu untuk kemaslahatan dan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi. Tidak ada bukti apalagi cuma informasi yang menyebutkan dari kebijakan itu masuk pada kepentingan pribadi Ahok. Pembangunan rusun, normalisasi sungai dan waduk, pembangun RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak), pembangunan jembatan layang dan lain-lainnya yang disebut diterima dari kewajiban tambahan pengembang, keuntungan dan kemaslahatannya kembali untuk publik.

Mungkin akan ada pertanyaan, kenapa program-program tersebut tidak masuk APBD DKI? Jawabannya adalah sebagian besar program tersebut sudah masuk dalam rencana program Pemprov DKI, bahkan sudah ada anggarannya di APBD. Namun karena ada kewajiban tambahan dari pengembang itu, dana APBD tidak dikeluarkan. Jadi di sini ada penghematan uang rakyat. Lagi-lagi ini nilai plus untuk pemerintahan Ahok.

Selain itu, tidak semua program Pemprov DKI diloloskan oleh DPRD. Masih ingat perseteruan Ahok dengan DPRD soal pengadaan truk-truk pengangkut sampah agar DKI tidak tergantung pada mafia sampah? Pengadaan bus-bus umum yang juga ditolak oleh DPRD? Tapi anehnya proyek fiktif UPS 12 Triliun malah masuk.

 

Bukan barter, tapi kewajiban

Maka dengan adanya kontribusi tambahan dari pengembang ini menjadi strategi Ahok untuk mewujudkan program Pemprov DKI yang berorientasi pada kepentingan publik yang dihalang-halangi oleh DPRD. Lebih dari itu, dalam konteks pemerintahan DKI Jakarta soal kontribusi dan kompensasi memang dikenal dari kebijakan-kebijakan sebelum Ahok.

Misalnya SK Gubernur DKI Jakarta No. 540 Tahun 1990 dan No. 640 Tahun 1992. Di dalam SK Gubernur itu ditetapkan setiap pengembang yang mengembangkan lahan minimal 5.000 meter persegi harus menyisihkan 20 persen lahan efektif untuk pembangunan rumah susun (Rusun). Salah satu contoh Rusun Rawa Bebek yang dibangun era Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta berasal dari kewajiban tambahan Summarecon yang memperoleh proyek Gading Orchard.

Sementara dalam konteks proyek reklamasi kata kontribusi dari pengembang juga dikenal. Dalam surat dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas 10 Maret 1997, yang waktu itu dijabat oleh Ginanjar Kartasasmita dalam poin 2 disebutkan begini: Pola kompensasi dan pola pengembangan di kawasan barat pantura Jakarta dilaksanakan mengikuti pola Kapuk Naga yang lebih luas, yang antara lain berupa teknik reklamasi menggunakan sistem polder dan kompensasi tanah matang untuk pemerintah daerah sebesar lima persen dari luas kotor dari daerah reklamasi.

Sistem polder artinya untuk menghadang rob dan banjir laut diharuskan membangun tanggul. Surat itu menjelaskan ada dua bentuk kontribusi tambahan pengembang: (1) pembangunan tanggul-tanggul pesisir untuk mencegah rob (ini disebut sistem polder) dan (2) penyerahan 5% tanah hasil reklamasi selain tanah kewajiban fasos dan fasum. Nantinya dalam Raperda Zonasi, Ahok menambahkan kontribusi lain: Pemprov DKI memperoleh tambahan kontribusi 15 % dari NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak).

Pertanyaan, apakah kontribusi tambahan sebagai kompensasi itu mengabaikan aturan-aturan utama reklamasi? Jawabannya tidak. Dalam proyek reklamasi ada 3 jenis izin: (1) izin prinsip, (2) izin pelaksanaan, dan (3) izin pemanfaatan ruang. Semua pengembang proyek pulau reklamasi memperoleh izin prinsip sejak era Gubernur Fauzi Bowo.

Apa yang diurus Ahok adalah izin pelaksanaan, karena izin prinsip sudah dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya. Dalam soal ini, Ahok menekankan kewajiban pengembang, baik kewajiban dasar maupun subsidi. Bagi pengembang yang ingin memperoleh izin pelaksanaan dari Ahok haruslah memenuhi dua kewajiban itu, khususnya yang subsidi silang – apa yang disebut kontribusi tambahan atau kompensasi.

Pertanyaan yang mesti diajukan juga, apakah Gubernur Fauzi Bowo saat memberikan izin pelaksanaan untuk PT Kapuk Niaga Indah (Agung Sedayu) telah menenuhi kewajiban dasar dan subsidi silang itu? Dalam bentuk apalah subsi silang dari PT Kapuk Niaga Indah itu?

Untuk izin pemanfaatan ruang, Ahok tidak pernah mengeluarkan satu izin pun, karena aturannya belum ada, yaitu Raperda Zonasi Pulau Reklamasi yang dalam pembahasannya menyeret Sanusi. Yang patut dicatat dalam Raperda ini Ahok menambahkan kontribusi tambahan selain kewajiban-kewajiban tambahan lain seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu: kontribusi pendapatan Pemprov DKI 15% dari NJOP.

Kebijakan Ahok soal kontribusi tambahan ini, tidak hanya dilakukan pada pengembang proyek properti dan pulau reklamasi. Ia juga membuat aturan untuk Koefisien Luas Bangunan (KLB) dalam Pergub DKI Nomor 175 Tahun 2015. Pengembang yang ingin meninggikan KLB diwajibkan menunaikan konpensasi berubah pembangunan infrastruktur.

Salah satu contoh dari “proyek kompensasi” ini adalah pembangunan Simpang Susun Semanggi sebagai persiapan Asian Games 2018. Pemerintah DKI meminta Mori Corporation mengeluarkan uang lebih dari Rp 500 miliar karena perusahaan asal Jepang itu ingin meninggikan Koefisien Luas Bangunan (KLB) properti yang dibangun. Pemerintah sama sekali tidak menggunakan anggaran untuk membuat jalan layang baru di sekitar Jembatan Semanggi.

Demikianlah cara Ahok membangun fasilitas-fasilitas umum untuk kepentingan publik dari kontribusi/kewajiban tambahan sebagai konpensasi dari pengembang yang menerima proyek di wilayah DKI Jakarta.

 

Penulis adalah salah seorang penggagas dan aktivis D’Ahokers

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home