Loading...
OPINI
Penulis: Josep Purnama Widyatmadja 01:44 WIB | Kamis, 09 Mei 2013

Merayakan Kebersamaan: God of Life: Lead Us to Justice and Life

SATUHARAPAN.COM - Pada tanggal 30 Oktober – 8 November 2013 Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches / WCC ) akan menyelenggarakan Sidang Raya ke X di Busan Korea Selatan. Sidang Raya kali in memakai tema “God of Life: Lead Us to Justice and Peace."

Allah kehidupan itulah ajaran semua agama. Dengan memproklamirkan Allah kehidupan: Pimpinlah kami pada keadilan dan perdamaian berarti bahwa Allah adalah Allah pembawa kehidupan, keadilan dan perdamaian. Semua kekuatan yang merusak kehidupan, keadilan dan perdamaian merupakan kekuatan yang melawan Allah kehidupan. Jalan yang ditempuh Allah bukan jalan mulus tapi terjal. Bukan jalan crusade (penaklukan) tapi jalan salib / cross’ way. Dari zaman kekuatan yang melawan kehidupan, keadilan dan perdamaian ke dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman.

Kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan, kerakusan akan sumber daya alam, diskriminasi serta perusakan lingkungan hidup merupakan realitas yang bertentangan dengan kehidupan, keadilan dan perdamaian. Dalam kehidupan sehari-hari, penindasan terhadap buruh dan tani, pekerja migran, kelompok minoritas dan indigenous people, merupakan kekuatan yang melawan Allah kehidupan. Lomba senjata, ketidakadilan jender, perdagangan perempuan dan anak, ketidakadilan global serta perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan keadilan dan perdamaian.

Peran Gerakan ekumene

World Council of Churches sejak dilahirkan pada tahun 1948 selalu bersama anggotanya telah memberikan kontribusi dalam mewujudkan kehidupan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia. WCC pada masa lalu telah memberikan kontribusi pada gerakan perdamaian, pembangunan masyarakat lestari (melalui Commission on Church Participation in Development), serta dukungan pada gerakan rakyat (melalui urban rural mission), penghapusan apartheid di Afrika Selatan dan bagian dunia lain (melalui Program Combat Racism). Namun dengan perubahan zaman, yaitu berakhirnya perang dingin, serta makin maraknya globalisasi ekonomi neoliberal telah menyebabkan program WCC untuk mewujudkan kehidupan, keadilan dan perdamaian mulai redup. Ketergantungan WCC pada dana dari donor gereja di Eropa dan krisis keuangan global telah menyebabkan program, anggaran dan personalia WCC harus mengalami pengurangan. Gaung, peranan dan dukungan WCC pada gerakan keadilan dan perdamaian mulai redup karena kehilangan visi dan pengurangan dukungan dana dari donor gereja di Barat.

Perubahan Tatanan Global

Pada waktu pembentukan Konferensi Misi di Edinburgh tahun 1910 gerakan ekumene merupakan gerakan dari badan zending yang memiliki tanah jajahan di seluruh dunia. Mayoritas umat Kristen berada di belahan utara (Barat) di mana tinggal gereja gereja yang menjadi donor badan zending.

Memasuki abad dua puluh satu telah terjadi perubahan geo economic / politic serta geo Christianity. Jumlah umat Kristen di belahan Selatan saat ini jauh lebih besar dari pada yang tinggal di Eropa dan Amerika Utara. Tiap hari lahir gereja baru di belahan Selatan (Asia Afrika dan Amerika Latin) sedangkan di Eropa gedung gereja dan pendidikan teologia di tutup atau alih fungsi karena kosong.

Kekuatan ekonomi dunia tidak lagi di Atlantik tapi telah bergeser ke Asia Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan dan negara BRICS (Brazilia, Rusisa, India China dan South Africa). Perubahan kekuatan ekonomi global tidak mengubah ketergantungan gerakan ekumene / WCC pada gereja di Eropa dan Amerika. Kontribusi ekonomi dari gereja di Eropa masih mendominasi keuangan WCC.

Vision atau Fashion?

Ada kecenderungan dalam era globalisasi gereja dan institute ekumene tidak lagi memiliki vision dan mission untuk mewujudkan Kerajaan Allah (justice and peace) di bumi, tapi masing-masing gereja sibuk pamer fashion dengan mempersolek diri baik melalui pembangunan rumah sembahyang yang mewah ataupun tata cara kebaktian yang meriah.

Agenda fashion gereja sering menjauhkan gereja dari panggilan untuk melaksanakan vision dan mission bersama gerakan rakyat. Enam puluh tahun lebih setelah berdirinya WCC gereja anggota bukannya merobohkan tembok confession dan melakukan compassion. Yang terjadi adalah masing masing gereja sibuk membangun tembok berdasarkan confession dan mengabaikan tugas panggilan untuk melakukan compassion dan ecumenism.

Satu Tubuh Banyak Anggota

Dalam bulan Mei 2013 PGI bersama-sama dengan lembaga nasional yang mewakili aliran gereja di Indonesia (Baptis, Bala Keselamatan, Injili, Pentakosta, Katolik, dan Ortodox) akan melangsungkan Celebration of Unity dalam rangka merayakan kesatuan gereja.

Celebration of Unity tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah super institusi ekumene yang meniadakan keberagaman gereja berdasarkan aliran maupun suku. Cita-cita untuk membangun satu gereja yang esa dalam bentuk sebuah wadah tunggal tidak mungkin dan tidak tepat untuk diwujudkan. Yang bisa dilakukan gerakan ekumene dari zaman ke zaman adalah mewujudkan semangat satu tubuh banyak anggota.

Dalam konteks Indonesia semangat bhineka tunggal ika dan dalam konteks orang Tionghoa adalah “He Er Bu Tong“ (bersatu dalam perbedaan), sejalan dengan semangat satu tubuh banyak anggota.

Bukan di Kubur tapi di Galilea

Gereja maupun gerakan ekumene adalah kata kerja bukan kata benda. Dalam Perjanjian Lama gerakan ekumene terwujud dalam gerakan budak di Mesir yang ingin membebaskan diri dari belenggu kelaliman dan ketidak adilan dari Firaun. Dalam Perjanjian Baru gerakan ekumene sesungguhnya berada dalam gerakan Yesus wong Galilea yang berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu kelaliman dan ketidak adilan Pax Romana dan kerajaan Daud.

Gerakan umat Israel dalam PL dan gerakan Yesus dalam PB bukan berpusat di istana Firaun atau Herodes atau Pilatus, tapi di lembah Sungai Nil dan Galilea. Adalah salah kaprah kalau konprensi Misi Edinburgh 1910 dianggap sebagai tonggak sejarah gerakan ekumene. Apa yang terjadi di Edinburgh tahun 1910 merupakan gerakan badan zending untuk melakukan pembagian wilayah dan pengukuhan pengaruh zending berdasarkan denominasi di tanah jajahan.

Dalam abad dua puluh satu gerakan ekumene sebenarnya tidak di kantor Edinburgh, Amsterdam, Uttrect, Geneva Basel, Koln, Chiangmai atau di Salemba Raya Jakarta. Pusat gerakan ekumene sesungguhnya melampaui tembok kantor gereja maupun sinode. Sebenarnya pusat gerakan ekumene berada di tengah gerakan rakyat yang mencari hak hidup, keadilan dan perdamaian serta kelestarian lingkungan.

Gerakan ekumene yang berpusat pada badan zending dan bantuan uang akan makin pudar dan padam dalam abad dua puluh satu. Gerakan ekumene tidak lagi berada di Eropa dan Amerika, tapi telah bergeser di Asia Pasifik di mana rakyat sedang melawan segala bentuk korupsi, penindasan, kemiskinan dan kekerasan. Gerakan ekumene abad dua puluh satu telah bangkit dan tidak lagi ada dalam kubur yang kosong di Edinburgh dan Amsterdam serta New York. Gerakan ekumene yang telah bangkit berada bersama gerakan wong cilik di Galilea, di tengah tangisan orang Palestina, buruh dan tani di mana mana.

“Ia telah bangkit. Ia tidak ada lagi di sini,” ujar Yesus pada Maria Magdalena (Markus 16 :6). Kubur itu telah kosong, ia mendahului kamu di Galilea. Sangat ironis manakala orang berbondong bondong menuju rumah ibadah yang megah ternyata Allah tidak ada di situ.

Sering kali rumah ibadah telah menjadi kubur yang kosong karena Yesus yang bangkit, Allah yang hidup tidak mungkin dibelenggu oleh batu bermeterai maupun tembok gereja yang kokoh. Allah yang hidup berada di diantara wong cilik di tiap sudut kehidupan, di kali Bengawan Solo, Kali Ciliwung, di Yasmin Bogor, di Filadelpia, Bekasi, di hutan Kalimantan, di Poso dan tanah Papua.

Dalam kontek inilah God of life: Lead us to justice and peace kita hayati dan sukseskan Celebration of Unity di Jakarta dan Sidang Raya WCC di Busan Korea 2013.

Center for Development and Culture

Editor: Trisno S. Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home