Loading...
OPINI
Penulis: Albertus Patty 02:40 WIB | Senin, 22 Juli 2019

Merdeka dari Kebencian

Albertus Patty. Foto: Selisip.com

SATUHARAPAN.COM - Saat Pilkada 2017 banyak analis politik memperkirakan betapa kita harus mewaspadai adanya politik uang. Memang benar, politik uang tetap ada, tetapi ada satu hal yang tidak diduga yaitu adanya politisasi agama yang dijalankan dengan cara yang sangat vulgar. Agama disalahgunakan dan dimanipulasi oleh oknum-oknum politik. Agama menjadi alat politik untuk menarik dan menggerakkan emosi massa demi menyingkirkan petahana demi meraih kekuasaan.

Media sosial menjadi senjata efektif untuk merekayasa pemikiran masyarakat. Hukum pun diputarbalikkan. Politisasi agama itu berhasil.  Penyalahgunaan agama itu jauh lebih efektif dan lebih murah daripada penggunaan politik uang. Modalnya hanya kutipan ayat-ayat Kitab Suci. Apa yang terjadi setelah itu sangat menyedihkan yaitu rusaknya kohesi sosial masyarakat. Ada polarisasi tajam umat internal agama, tetapi juga umat antar agama. Relasi dalam keluarga, pertemanan, dan dalam berbagai komunitas retak. Orang saling membenci, saling memaki karena perbedaan pilihan politik. Politik menjadi persoalan hidup atau mati!  

Cerita sukses Pilkada 2017 ingin dilanjutkan dalam Pemilu 2019. Politisasi agama makin marak. Para politisi mengabaikan potensi perpecahan bangsa seperti yang terjadi di Irak dan Suriah. Demi syahwat kekuasaan mereka menghalalkan segala cara. Pemilu tidak lagi dilihat sebagai pesta demokrasi, tetapi diibaratkan  perang badar atau perang Armagedon.

Melalui istilah inilah teologi manikeanisme merasuki dunia politik. Dari teologi manikeanisme ke politik manikeanisme! Manikeanisme adalah paham yang melihat dunia sebagai sebuah peperangan abadi antara terang vs gelap, yang baik vs yang jahat, yang benar vs yang sesat, antara pengikut Allah vs pengikut setan. Masyarakat pun semakin terpecah-belah. Kebohongan dan hoax melalui media sosial pun menyasar kemana-mana.

Muncul ironisme, media sosial yang pernah jaya pada revolusi Arab Spring yang meruntuhkan kekuasaan otoriter dan menggantinya dengan sistem demokrasi, kini berbalik digunakan untuk membunuh demokrasi dari dalam! Polarisasi pun semakin dipertajam. Pribumi Vs Asing/Aseng, tenaga kerja asing Vs tenaga kerja dalam negeri, komunis vs islamis.  Akibatnya, semua saling membenci! Semua saling mencurigai. Saling takut! Kawan dalam kompetisi demokrasi berubah menjadi musuh atau lawan yang harus dibinasakan dengan segala cara. Celakanya, semuanya dijustifikasi oleh agama! Kini, agama lebih menjadi problem maker ketimbang menjadi problem solver!

Pertanyaannya: mengapa masyarakat sangat mudah terjebak oleh isu politik yang memecah-belah mereka? Jawabnya adalah karena kita memang sedang memasuki era post truth alias era paska kebenaran. Dalam era ini, bukan fakta dan data yang diutamakan tetapi intuisi, emosi atau perasaan.

Berdasarkan teori psikologi yang dikembangkan David Hume, dalam bukunya The Righteous Mind, Jonathan Haidt mengungkapkan bahwa rasionalitas adalah budak dari intuisi atau perasaan. Haidt memberikan contoh yang bagus. Tugas seorang Sekertaris Presiden sebagai pembantu Presiden adalah merasionalisasikan kebijakan yang ditetapkan Sang Presiden sehingga diterima oleh masyarakat. Seburuk apa pun suatu kebijakan, sang sekertaris berkewajiban  merasionalisasikannya sehingga tampak baik dan masuk akal. Intinya adalah tugas rasio adalah melayani intuisi! Artinya, bila berdasarkan intuisi seseorang sudah menentukan pilihan, ia pasti akan mengabaikan fakta dan data apa pun yang melawan atau bertentangan dengan pilihannya. Sebaliknya, ia akan menjustifikasi dan merasionalisasikan pilihannya itu dengan cara apa pun, termasuk dengan menggunakan ayat-ayat Kitab Suci.

Bukan saatnya melawan argumentasi Haidt yang punya banyak kelemahan. Yang pasti Haidt telah mengingatkan kita bahwa tekanan pada intuisi atau emosi inilah yang membuat demokrasi  kehilangan spirit rasionalitasnya. Orang kehilangan daya kritis! Dialog berubah monolog! Orang sulit mendengar pendapat yang berbeda! Percakapan pun berubah menjadi perdebatan! Bukan lagi adu program yang terbaik bagi masyarakat tetapi saling mencari kelemahan moral lawan politiknya. Pertemanan menjadi permusuhan. Terjadilah segregasi sosial! Persaudaraan berubah menjadi perselisihan! Cinta berubah menjadi kebencian! Lalu terjadilah apa yang Hannah Arendt sebut banalitas kekerasan, dimana kekerasan terhadap sesama menjadi sesuatu yang dianggap biasa saja. Bisa saja kekerasan terjadi bukan karena kebencian terhadap yang berbeda, tetapi sebagai karena loyalitasnya pada orang atau partai yang didukungnya. Sesungguhnya ada potensi besar terjadinya banalitas kekerasan. Bila situasi seperti ini dibiarkan terus, bangsa kita sedang melakukan bunuh diri sosial. Hanya tinggal menunggu waktu, bangsa ini akan seperti Sudan atau Irak yang terpecah-belah berantakan!

Polarisasi masyarakat menciptakan tanya: apa yang bisa kita lakukan? Adsa banyak! Yang pasti epidemi manikeanisme politik yang memicu polarisasi dan kebencian harus dilawan. Kita harus dimerdekakan dari jebakan kebencian akibat polarisasi kami vs mereka. Agama harus dikembalikan fungsinya sebagai inspirasi bagi politik pengharapan, rahmat dan cinta. Semangat ke-kita-an yang mempersatukan dan memerdekakan bangsa ini harus kembali dikobarkan. Pesan terpenting Haidt adalah bahwa demokrasi tidak akan bisa bertahan dengan emosi atau intuisi. Oleh karena itu, pemikiran kritis dan cerdas harus terus-menerus dikembangkan. Budaya toleransi terhadap perbedaan harus disuburkan. Kita memang berbeda, tetapi kita juga satu adanya! Ut Omnes Unum Sint, kata Yesus. Biarlah semuanya menjadi satu! 

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home