Loading...
OPINI
Penulis: Martin Lukito Sinaga 17:32 WIB | Rabu, 15 Juli 2020

Meretas Harapan di era Kebiasaan (Normal) Baru

Dr. Martin Lukito Sinaga. (Foto: dok.)

 

SATUHARAPAN.COM-Pada awal munculnya koran “Satuharapan.com” ini di layar digital, pada tahun 2013, saya menulis opini di laman ini tentang harapan. Tentu tujuannya agar nama dan berita koran ini menjadi tanda bahwa harapan perlu disiangi dari kabut persoalan sehari-hari. Dan harapan itu, kalau masih hendak kita usung saat ini maka ia tak bisa dipisahkan dari soal-soal yang terkait dengan pandemi global Covid-19.

Pada tulisan itu, saya bertolak dari pikiran Al Gore dalam bukunya “The Future” (2013). Katanya, mengenai harapan akan masa depan tak bisa lepas dari kenyataan ekonomi pasar kapitalistik dan kemajuan sains. Tapi juga harapan akan sungguh menyingsing kalau manusia bisa menyelamatkan bumi dari kerusakannya, sambil menjaga demokrasi dari ancaman-ancaman barunya.

Sekarang ini di era adaptasi akan kebiasaan nomal baru, ihwal harapan justru semakin genting bagi kita; apalagi yang bisa membuat kita bertahan di tengah pandemi Covid-19 kalau bukan harapan yang kiranya menampakkan wujudnya? Dalam pada itu catatan Al Gore tetap relevan, hari-hari ini kemajuan sains sedemikian kita andalkan agar sesegera mungkin kiranya ilmuwan dunia menemukan vaksin penawar Covid-19.

Tapi ekonomi kapitalistik ternyata muncul tidak sebagai penopang dalam kehidupan hari-hari kita. Modal sosial atau gotong-royong masyarakat biasalah yang ternyata menyangga peri kehidupan sehari-hari. Dan kerusakan bumi tak bisa juga diatasi. Berita bahwa langit makin biru dan emisi CO kita berkurang rupanya hanya terjadi karena manusia dipaksa mengurangi polusi oleh keadaan pandemi ini. Demokrasi pun berkembang cukup mencemaskan -demokrasi kita di Indonesia malah dinilai “flaw democracy”-. Hal di atas  sedemikian karena  populisme merebak dalam demokrasi, yang ditambah dengan situasi kedaruratan yang membuat negara menetapkan banyak hal tanpa partisipasi warganya.

Adaptasi Darurat atas Normal Baru

Atas semua catatan di atas, memang tampak bahwa umumnya manusia tak cukup serius dalam menyiapkan masa depannya. Sains dan modal sosial masyarakat adalah dua hal yang membuat kita masih tetap optimis saat ini, tetapi tata kelola ekonomi yang kapitalistik, yang turut mendorong tergerusnya lingkungan hidup, ternyata membuat kita was-was.

Sambil kita mencatat pilar-pilar harapan yang timpang di atas, kita memang kini perlu “berdamai” dengan virus yang berbahaya ini. Caranya sudah dikampanyekan: kenakan masker, rajin mencuci tangan, jagalah jarak sosial. Semua warga yang akan beraktivitas harus ikut protokol kesehatan hari-hari ini. Diksi baru pun muncul yaitu “Normal Baru”, yang selanjutnya dibaharui menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”.

Bagaimanapun juga, yang kita sedang alami kini adalah sebentuk pengendalian sosial, agar kemungkinan pembangkangan bisa dicegah. Agar juga rantai penularan bisa diputuskan. Undang-undang yang semula Perppu No 1/2020 tentang Penanganan COVI-19 itu telah ditetapkan selaku dasar untuk semua hal ini. Di pihak lain tak bisa dihindari bahwa keadaan ekonomi adalah pertaruhan besar di balik semua ini. Tanpa menunjukkan angka statistik kita sudah alami sendiri resesi kehidupan ekonomi. Permintaan amat melorot, bahkan di sektor kesehatan sekali pun. Tentu pasokan akan amat terganggu, dan hal itu membuat jaminan pekerjaan kita serba rentan.

Di atas semua itu ada pengalaman bersama selaku warga yang tak bisa kita hindarkan, yaitu keadaan “bare life” diri kita. Istilah ini datang dari Giorgio Agamben, pemikir Itali yang menguraikan bahwa oleh situasi sosial politik -atau pun politik di era pandemi- hidup kita seperti telanjang saja. Artinya, hidup kita yang pernah kita kira bermartabat dan terlindung sebagai hak privat, ternyata bisa kapanpun kehilangan pendakuannya. Kita bisa jadi orang terlantar kapan pun, tapi tak bisa menuntut akan hak-hak perlindungan diri. Kita bisa juga dikarantina tanpa daya menolak. Atau kala kita tak kuat berdiri lagi karena sakit, bisa saja tak ada yang peduli dengan nafas kita yang tersengal-sengal karena virus ini, mengingat rumah sakit telah penuh sesak.

Dalam keadaan adaptasi atas normal baru ini, yang terasa seperti keadaan darurat,   seolah yang berdaulat itu bukan pribadi kita lagi. Terasa sekali bahwa ada hal yang di luar diri kita yang begitu berwenang: entah virus Covid-19 ini, atau Protokol Kesehatan, atau juga Puskesmas dan Pemda setempat, yang menentukan bagaimana dan dimana kita boleh beraktifitas sehari-hari.

Di laman bernama “Quodlibet” dari Agamben, ia menulis “Klarifikasi” pada tanggal 31 Maret 2020 lalu, dan isinya tentang keadaan darurat akibat pandemi ini. Keadaan telanjang tadi telah membuat masing-masing kita satu dengan lainnya makin berjarak. Dan hidup kita berada antara terlantar atau diawasi dengan adanya “jam malam” pembatasan.  Makin terasa bahwa kita semua jadi bagian dari kawanan prekariat, yang rentan dan tak punya jaminan sosial ataupun ekonomi lagi.

Beradaptasi dalam Harapan          

Harapan yang datang dalam adaptasi kita atas hidup normal-baru, sebagian masih melanjutkan apa yang saya catat di laman ini tahun 2013 itu. Yaitu bertolak dari nama-nama setiap individu yang walau kali ini tampak tertulis dalam angka, tapi membesarkan hati. Yaitu nama-nama atau jumlah dari orang-orang yang telah sembuh.

Pada setiap nama itu sesungguhnya ada cerita, dan di setiap biografi mereka akan ada tali-temalinya dengan  nama lain. Kesehatannya akan berarti berkurangnya penularan, dan itu semua akan membentuk jaringan kehidupan. Maka harapan diretas kalau kita mulai menyebut nama seseorang, dan mendengarkan biografinya yang selalu akan bertutur tak terperikan tentang jalan sintasnya mengatasi pagebluk ini.

Dan betapa kita akan sadar bahwa hidup bersama yang dijalani dengan semangat keugaharian tampak semakin meyakinkan, bukan dengan jalan kompetitif berlomba kaya.  Sebentuk hidup yang mencukupkan diri, justru akan lebih sehat dan sintas, dan hal itu bukan hanya untuk dirinya saja, tapi juga untuk semua kita. Kapitalisme dengan demikian diam-diam digangsir, dan kita kiranya bisa bersama-sama mencari cara lain menempuh kesejahteraan ekonomi bersama.

Selanjutnya, harapan dalam biografi keguarian tadi kiranya ditautkan dengan cerita-cerita hidup warga sesama ke seantero dunia. Dengannya, “network” kita menembus tembok-tembok mimpi yang diciptakan oleh korporasi besar agar kita mengejar dengan loba segala merek mahal mereka.

Seorang remaja kelahiran 2003 bernama Greta Thunberg telah menjadi simpul biografi keugaharian yang sekaligus menjadi titik berangkat gerakan lingkungan hidup. Ia bersikeras ingin memiliki harapan, yang kita orang dewasa akan hancurkan kalau lingkungan hidup terus dirusak.  Dan kalau gerakan pelestarian ini menguat dan mempengaruhi demokrasi kita, maka tak perlu lagi kita rusuh akibat politik identitas atau populisme yang menggerogoti demokrasi akhir-akhir ini.

Semoga seperti doksologi abad ke IV kepada Tuhan, yang disebut Gloria Patri itu, kita bisa bernyanyi: setelah melantunkan “kemuliaan bagi Tuhan…”, maka  ucapan kita pun berseru “et saecula saeculorum, dunia tanpa akhir”.  

Martin Lukito Sinaga (Dosen Luar Biasa di STFT Jakarta dan STF Driyarkara)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home