Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 23:08 WIB | Sabtu, 15 Oktober 2016

Model Perdamaian Kolombia Dinilai Cocok Atasi Konflik Papua

Pater Neles Tebay (Foto: Eben Ezer Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Model pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Kolombia dalam menangani kelompok pemberontak di negaranya dinilai cocok diterapkan dalam mengatasi konflik di Papua, terutama dalam mendekati kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan.

Model perdamaian Kolombia yang diinisiasi oleh presiden negara itu, Juan Manuel Santos, telah mendapat apresiasi dari dunia.  Juan Santos meraih anugerah Nobel perdamaian tahun ini  atas keteguhannya dalam mengupayakan perdamaian untuk mengakhiri perang saudara selama 50 tahun lebih dengan kelompok pemberontak FARC.

Santos sudah menandatangani kesepakatan damai dengan Timoleon Jimenez, pemimpin kelompok pemberontak FARC, walaupun pada gilirannya rakyat Kolombia menolaknya lewat referendum 2 Oktober lalu. Para pengeritik kesepakatan damai berpendapat terlalu banyak konsesi yang diberikan kepada pihak pemberontak. Namun Juan Santos terus berjuang menghidupkan kembali upaya damai.

Ketika berbicara dalam seminar peluncuran ringkasan eksekutif buku Papua Road Map Jilid II, di Gedung LIPI, Jakarta (14/10), Koordinator Jaringan Damai Papua, Pater Neles Tebay, mengatakan, Presiden Joko Widodo dapat menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh presiden Kolombia dalam merangkul kelompok-kelompok di Papua maupun di luar negeri yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Dengan pendekatan seperti yang dilakukan Juan Santos, kelompok-kelompok tersebut dapat diajak duduk ke meja dialog nasional yang saat ini sedang dijajaki untuk dilakukan.

Di satu sisi, kata Neles Tebay, ada pihak yang mengatakan NKRI harga mati. Sedangkan di titik ekstrem lainnya, ada pihak yang menginginkan kemerdekaan. "Kalaui kelompok NKRI harga mati dan kelompok pro merdeka bermaksud berdialog, maka harus ada titik temu. Titik temu itu tidak ditetapkan di forum dialog nasional, tetapi itu harus ditentukan bersama oleh pihak-pihak yang akan berdialog. Maka dibutuhkan pertemuan-pertemuan tertutup sebelum dialog, seperti yang dibuat oleh Presiden Kolombia," kata Tebay.

Menurut dia, Presiden Juan Santos selama lebih dua tahun melakukan pendekatan secara informal dan tertutup  dengan pihak FARC. Ia mengirimkan timnya ke luar negeri untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan tertutup dengan pemberontak.

"Pertemuan tertutup itu perlu untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan  demi mendapat titik temu," kata Neles Tebay.     

Hal ini juga, kata dia, perlu dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk mendekati kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan. Pendekatan itu, menurut dia, tidak boleh instan dan harus terus-menerus dilakukan baik kepada mereka yang berada di Papua maupun juga di luar negeri.

Kondisi Kini Mengungkinkan Dialog

Di bagian lain pendapatnya, Neles Tebay mengindikasikan saat ini kondisi faktual menunjukkan adanya perbaikan positif untuk melakukan dialog nasional Jakarta dengan masyarakat Papua. Empat perubahan ke arah positif, menurut dia, saat ini sedang terjadi.

Perubahan pertama, kata dia, adalah perubahan di Papua. "Sejak tahun 2009, sesudah Papua Road Map diterbitkan, kami mulai mendorong dialog, sebagai sarana menyelesaikan konflik Papua. Tanggapan dari Papua tidak semua mendukung. Bahkan banyak yang belum menyatakan dukungan. Ada kecurigaan terhadap kami yang mendorong dialog itu. Mereka menganggap kami sedang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan ideologi Papua merdeka," kata Tebay.

"Kadang kami juga ditantang. Dan ide dialog itu tidak diterima semua pihak. Tetapi  sekalipun dicurigai, kita terus menjelaskan. Dan hari ini banyak pihak di masyarakat Papua sudah memperlihatkan dan menyatakan dukungan terhadap dialog. Ini sebuah perubahan. Dari tidak mendukung dialog ke mendukung dialog," kata Tebay.

Perubahan kedua, menurut dia, adalah perubahan di Jakarta. Sampai awal 2009, kata dia, tidak ada kata dialog untuk Papua yang muncul di koran nasional.

"Istilah dialog itu tidak ada. Waktu kami terangkan dialog Papua, ada yang mengatakan itu merdeka, referendum. Istilah dialog itu dicurigai. Karena itu memang tidak diterima. Perubahan terjadi, tetapi  tidak drastis melainkan perlahan. Sekarang dialog sudah diterima. Istilah dialog yang dulu sangat sensitif, sekarang tidak sensitif lagi," lanjut Tebay.

Perubahan ketiga, terjadi di kalangan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dulu mereka terpecah dalam berbagai faksi. "Sehingga kalau bicara tentang dialog di Jakarta, mereka akan bilang dengan kelompok mana. Di OPM inti, terjadi transformasi, berhasil memfasilitasi antarmereka akhirnya muncul wujud pemersatu koordinasi, yaitu ULMWP. Dan itu suatu proses yang sangat panjang. Sampai sekarang mereka bersatu. Ini juga sebuah perubahan," tutur dia.
 
Perubahan keempat, kata Tebay, adalah cara pandang terhadap dialog. Dulu, kata dia, LIPI menganggap dialog dianggap hanya perlu untuk menyelesaikan masalah keempat, yaitu dialog nasional untuk rekonsiliasi. Tetapi sekarang bukan hanya itu, tetapi untuk semua.

"Jadi ada juga perubahan di LIPI. Dan perubahan ini pun memberikan harapan adanya dialog nasional. Dialog nasional itu sudah dirumuskan oleh LIPI. Yang dulu tidak ada, sekarang sudah ada," kata Tebay.

Terpilihnya Presiden Joko Widodo, menurut dia, memberikan harapan baru. Jokowi, kata dia, adalah presiden yang tidak sekadar tahu apa itu gagasan dialog, tetapi juga menghidupi nilai-nilai dialog itu sendiri.

"Dia menghidupi nilai dialog. Sehingga terpilihnya seorang Jokowi memberikan harapan adanya dialog nasional tadi. Dialog nasional untuk Papua, dalam kepemimpinan Jokowi masih ada harapan, karena presiden ini memiliki perhatian yang besar terhadap Papua," kata Tebay.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home