Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 19:20 WIB | Rabu, 06 Mei 2020

Monolog “Gara-gara Coro-na”

Menggali kreativitas di tengah Pandemi COVID-19
Roci Marciano saat perform monolog “Gara-gara Coro-na” secara live streaming melalui kanal media sosial instagram, Minggu (3/5). (Foto: doc. Roci Marciano)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – “Padahal baru saja aku mau keluar. Eeee.. ada korban. Coba dipikir baik-baik. Bukankah  sudah diperingatkan toh !?! Sudah diperingatkan, pakai masker, cuci tangan, Masih ngeyel juga, tutorial akhirnya liat! Hah... Goblok..!!!”

Kalimat tersebut adalah sepenggal monolog yang dibawakan oleh Roci Marciano seniman peran yang juga dosen Prodi Seni Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Monolog dengan judul “Gara-gara Coro-na” yang berdurasi 14 menit tersebut dipentaskan Roci secara mandiri di ruang bacanya pada Minggu (3/5) sore secara live-streaming (IG Live) melalui akun instagram-nya.

Seluruh proses kreatif tersebut dilakukan sendiri oleh Roci mengacu pada protokol tanggap COVID-19 yang harus memperhatikan jarak (social-physical distancing) dan menghindari kerumunan. Sebuah kondisi yang jauh ideal dari sebuah performance art dimana penonton beserta apresiasi langsung melalui pesan-pesan yang disampaikan maupun performa di panggung adalah salah satu ukuran keberhasilan sebuah pementasan seni pertunjukan.

“Monolog ini mencoba untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk bersama-sama memutus matarantai penyebaran virus Corona dengan cara hidup sehat-bersih serta menjaga jarak. Karena hari-hari ini, di masyarakat masih banyak yang tidak sadar menjaga diri, banyak yang belum sadar social-physical distancing, jaga jarak, dan mencuci tangan dengan baik. Bahkan banyak masyarakat yang belum memakai masker saat keluar rumah.” jelas Roci dalam percakapan melalui sambungan telepon kepada satuharapan.com, Senin (4/5).

Dikisahkan seorang pemuda yang menyandang status mahasiswa sedang merindukan kekasihnya bernama Sri hingga memberanikan diri untuk keluar dari ruang isolasi pribadinya sebuah kamarnya yang banyak dengan buku-buku yang menjadi tempat mengkarantina diri karena adanya wabah.

Belum sempat keluar dia segera masuk kembali, karena dari dalam kamar dia mendapati kondisi di luar masih belum mematuhi anjuran untuk memutus matarantai penyebaran virus penyebab wabah.

“Kalau begini caranya kapan virus Corona ini bisa hilang? Iya to?” tanya pemuda tersebut pada topeng. “Haduuhh... Hampir saja, hampiiiir saja aku tadi terkena radiasi corona.”

Memangnya ada radiasi corona? ha? Hahahaa... Goblok, opo? Ndak ada? Yo ndak ada!! Wong virus kok Ada radiasi gimana to?” tanyanya kepada topeng-topeng sambil meratapi dan menertawakan dirinya sendiri.

Kalau sudah begini mau bagaimana coba? Kampung di-lockdown. Mau apa? Heh? (tanya pada mainan Super Hero) kamu super hero lho ndak bisa ngapa-ngapain to kamu he? Cuma ngene-ngene thok to kamu (menirukan gaya mainan super hero) Mbok ya mikir, super hero kok Matung? Ha.. Tuh apa kamu, ikhlas? Sekarang itu begitu banyak super hero-super hero yang narsis, mempublikasi dirinya sendiri, untuk apa? Untuk nantinya kalau dia nyalon jadi capres, jadi caleg, jadi cades,... Super hero kok.. Pamrih!!!!

Hah.. Kalo Udah kayak Begini, buku-buku ribuan ini pun sudah tidak berguna, hasil pemikiran yang begitu banyak pun Dah nggak berguna lagi. Lah gunanya apa? Wong kondisi kayak begini aja lho para ilmuan itu keok, udah gak ada lagi yang bisa to, untuk mengatasi dirinya? Tu liat, negeri yang begitu banyak melahirkan orang-orang pintar. Hancur lebur kok. Opo maneh negeri awake dewe (apalagi negerinya kita sendiri). Seng modal nekat tok, Pusing aku, phushing!!!!

Keseluruhan adegan diperankan Roci memanfaatkan properti yang ada di ruang bacanya. Perbincangan dalam monolog tersebut mencoba menyoroti penangangan pemutusan matarantai penyebaran virus Corona yang harusnya melibatkan peran aktif seluruh pihak justru menjadi tidak maksimal manakala masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda mulai dari hegemoni kekuasaan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, hingga dogma agama.

“Penyampaian pesan (dalam monolog) dengan menggunakan bahasa yang lugas, jelas, dan tegas karena masih banyak masyarakat yang ngeyel dan abai terhadap keselamatan bersama,” papar Roci.

Ketidakpaduan penanganan oleh semua pihak justru membuat upaya pemutusan matarantai virus ini pun tidak terjadi. Justru sebaliknya penyebaran terjadi kesana-kemari yang berujung pada petaka kematian.

“Saiki yo gimana, Wong teman saya cuma kalian je (topeng-topeng dan super hero di ruang baca), lha wong mau keluar teman Saya udah banyak yang mati, banyak yang ngungsi..hah.. Mau sms an, hape saya sudah tergadai, untuk membeli beras!!!”

Dramatika kehidupan beserta tragedinya digambarkan Roci dalam alur yang tidak sederhana manakala harus berhadapan dengan kebutuhan hidup di satu sisi, di sisi lain ruang gerak untuk mencari nafkah harus membentur pada kenyataan pembatasan aktivitas di luar rumah.

Kritik tersebut pun dilontarkan Roci terhadap program bantuan sosial yang kerap disalah-sasarankan.

“Pembagian sembako, bantuan untuk masyarakat terdampak yo banyak yang salah sasaran. Akhirnya apa? Manusia itu egois, yang diselamatkan lebih dulu adalah saudara-saudaranya, kolega-koleganya, lah orang-orang seperti saya ini? Siapa yang menyelamatkan? ha? Apalagi ada kata-kata jangan itu pendatang! Cuuukkk!!! Guobloookk!!! Sory.. Sory.. Sory.. Saya kayak begini ya karena saya panik, gara-gara saya saat keluar tadi, saya tiba-tiba dikejar-kejar oleh aparat pemerintah, membludak memakai gebuk-gebukin, Makanya tempat teraman saat ini ya ruangan-ruangan seperti kamar ini, ruangan mengisolasi diri sendiri!.”

Roci memaknai keterbatasan yang seolah memenjara aktivitasnya selama lebih dari dua bulan sebagai ruang kreativitas.

Di tengah kondisi tanggap COVID-19 dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kreativitas dalam monolog secara mandiri bisa menemukan momentumnya dimana sebuah performance art masih bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi agar tetap bisa terhubung dengan orang lain secara sehat-aman untuk saling berbagi dan menguatkan.

Hal yang sama bisa juga dilakukan untuk seni pertunjukan lainnya.

Di Yogyakarta beberapa waktu lalu vokalis FSTVLST Farid Stevy dengan progam seni “Farid Stevy, 120 Hour in Social Distancing”  menawarkan serangkaian kegiatan kreatif dalam sebuah proyek seni yang memiliki relasi atas situasi social distancing. Farid menghelat berbagai kegiatan kreatif terbarunya secara daring (online) melibatkan seniman lain, diantaranya Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Kunto Aji, Iga Massardi, Jimi Multhazam, Ican Harem, Bimacho, Lani, Dendy Darman, Ace of Decades, Jason Ranti, Iwan Effendi, Hendra Hehe.

Musisi Oppie Andaresta bersama seniman lain mulai Kamis (7/5) akan menghelat program “Guyub Sore” secara daring melalui akun instagramnya. Rencananya Oppie akan melibatkan Bagus Mazasupa (musisi piano), Bimbim (drummer Slank), Nova Ruth (musisi), Bagong Soebardjo (dalang), Ucok Hutabarat dan Denny Dumbo (violinist dan perkusionis Sirkus Barock), Joko Pinurbo (penyair), duet Bonita-Adoy (musisi), dan Resha (pendongeng). Setiap seniman akan tampil secara IG live setiap sore melalui akun instagram @oppieandaresta dan akun IG masing-masing seniman dalam format ngobrol santai dan manggung dari rumah yang dipandu langsung oleh Oppie Andaresta sebagai host. Informasi lebih lanjut bisa diakses pada akun IG tersebut.

Di tengah pandemi global COVID-19, keterbatasan menjadi sumber kreativitas. Social-physical distancing dalam PSBB bisa dimanfaatkan untuk menggali kreativitas tanpa kehilangan sensitivitas atas permasalahan yang terjadi di sekelilingnya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home