Loading...
OPINI
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 17:20 WIB | Rabu, 14 Agustus 2013

Mudik: Tradisi Kembali ke Asal

SATUHARAPAN.COM - Ramai orang-orang. Menenteng koper, tas atau barang bawaan, berdesak-desakan, padat. Jalanan dipadati dengan sepeda motor dan mobil. Inilah pemandangan rutin jelang lebaran di pulau Jawa atau di beberapa tempat lainya di Indonesia. Tradisi mudik, kembali ke kampung asal telah menjadi sepaket perayaan hari raya agama untuk umat muslim, Idul Fitri.  

Kata “mudik” dari kata “udik” yang berarti “hulu” atau “kampung”, disebut-sebut berasal dari bahasa Betawi. Kata ini, sepertinya menyimbolkan kampung asal seperti hulu sungai, sebagai sumber dari air yang mengalir menuju hilir. Seperti orang-orang dari kampung yang merantau menuju ke kota, ke pusat keramaian, ke sebuah lokus yang majemuk.  

 

Dari Kota Pesiar ke Kampung Asal 

Oleh modernisasi orang-orang udik dibuat terpesona dengan kota. Maka, mereka merantau. Mencari kehidupan, yang katanya lebih baik dari di kampung. Di kota, jalannya bagus-bagus, ada gedung bertingkat, orang-orang pakai baju modern, mobil-mobil bermacam-macam merek berseliweran di jalanan. Di kota, orang-orang udik kemudian dipaksa menjadi pribadi yang individual, berbeda dengan di kampung yang komunal.  

Kehidupan modern ala kota pula yang kemudian membuat stigma, bahwa udik sama dengan kebodohan, keterbelakangan atau orang-orang udik adalah mereka yang kurang tahu sopan santunnya. Nasib yang sama terjadi pada kata “alifuru” yang mulanya menunjuk pada nama salah satu suku di Maluku, oleh perantau Barat, sebagai missionaris, zendeling, atau birokrat pemerintah kolonial digeserkan artinya menjadi paling kurang sama dengan stigma udik itu.  

Semua itu dimaksudkan untuk membuat “pembedaan”: orang kota lebih modern hidupnya dibanding orang kampung. Di era kemudian, modernisasi sama dengan eksploitasi hasrat demi akumulasi modal bertumpuk-tumpuk untuk keuntungan besar bagi kaum pemodal. Maka, orang-orang dari udik menjadi kosong batinnya, biasa hidup bersahaja, di kota mereka disibukkan dengan usaha-usaha memenuhi kebutuhan material, popularitas dan kekuasaan.  

Maka, tradisi mudik sebetulnya adalah sebuah peristiwa kebudayaan. Para perantau dari kampung kembali merefleksikan dirinya sebagai pribadi yang terikat dengan akar sejarah asalnya. Kembali menemukan jejak-jejak kebersamaan, ikatan-ikatan kekeluargaan dan lebih dari itu kembali berusaha mengisi kekosongan batin setelah sekian waktu bergulat dengan kerja-kerja demi kepuasaan material. Di kampung, para perantau kembali menemukan indahnya hidup bersahaja.  

 

Tradisi Mudik di Minahasa 

Perayaan Natal, Tahun Baru dan Pangucapan Syukur, bagi orang Minahasa tidak sebatas sebagai peristiwa keagamaan. Hari-hari raya ini juga menjadi peristiwa sosio-kultural bagi orang-orang Minahasa, baik yang merantau di kota-kota terdekat, maupun yang jauh. Inilah saatnya orang-orang Minaahasa yang dirantau, yang diistilahkan Kawanua, atau orang-orang Minahasa yang merasa se asal dari kampung (se kawanua) Minahasa, pulang ke kampung kelahirannya. Biasa diistilahkah dengan ”Mareng andoong kinatouan” atau pulang ke kampung kelahiran. 

Dalam tradisi orang Minahasa di masa semakin banyak yang merantau, ada ungkapan, ”Biar so jauh, asal jang lupa tu pusa da tanang akang.” Dalam bahasa Indonesia artinya ”Meski sudah jauh, tapi jangan lupa tempat di mana tali puser dibenamkan ke tanah”. Ungkapan ini terkait dengan tradisi orang Minahasa menyambut kelahiran bayi dalam keluarga. Tali puser bayi yang baru lahir biasanya dibenamkan di tanah pekarangan rumah oleh ayah si bayi. Maknanya, bahwa si bayi, nanti jika sudah dewasa, ke manapun ia pergi tidak boleh melupakan tempat asalnya.   

Mareng ang doong kinatouan” adalah sebuah tradisi di mana orang-orang Minahasa yang sudah merantau sekian lama untuk pesiar ke kampung asal, berjumpa kembali dengan keluarga, berziarah ke tempat asal, tempat kelahiran atau ke lokus asal leluhur. Tidak terutama fisik yang harus kembali menetap, tapi pulang ke kampung terpenting adalah mengembalikan ”ingatan” pada asal. Kembali ke ”tuur”, ke akar kehidupan.  

 

Mudik: Ziarah ke Asal 

Ziarah dalam bahasa Jawa dilafal, siji sing diarah, ”satu yang dituju”. Dengannya, ”ziarah” mungkin bisa diartikan ”menuju ke asal”, menuju ke asal pembentuk identitas. Mudik adalah tradisi dari hilir menuju ke hulu, ke kampung, tempat kelahiran atau tempat asal leluhur. Dengan mudik, orang-orang kemudian merefleksikan lagi ”siapa dirinya.” Mudik berarti kembali ke sumber asal mula sejarah hidupnya. Ini peristiwa penting untuk sejenak ”mengundurkan diri” dari keramaian, dari hiruk pikuk ke kehidupan yang penuh pergulatan. Dengan kembali ke asal kita merefleksikan lagi makna menjadi manusia yang punya sejarah, punya identitas. 

Asal manusia adalah makna dari makhluk berakal dan berhati nurani. Makhluk yang berpikir dan memiliki rasa. Dengan mudik berarti kita kembali merefleksikan hakekat menjadi manusia. Manusia yang bernalar dan punya rasa adalah manusia yang bukan robot, bukan sekrup dari mesin-mesin hasrat, bukan makhluk serakah dengan kekuasaan dan kekayaan. Terlebih manusia adalah makhluk yang punya jati diri. Asal kita dari rahim semesta.  

Dengan mudik, manusia kembali menjejaki makna-makna kebersamaan, kesederhanaan dan kekeluargaan. Setelah sekian waktu terlepas dari makna-makna itu, dengan mudik kita kembali menemukan kearifan-kearifan udik kita yang bersahaja. Di udik kita kembali menyegarkan pikiran dan tubuh dari kepenatan menjalani kehidupan yang berat.  

Agama-agama dan budaya kita mengajarkan tentang pengetahuan luhur mengenai hakekat menjadi manusia yang sesungguhnya. Setiap manusia lahir dari rahim seorang perempuan. Namun, kedewasaan seseorang dibentuk oleh komunitas, pengetahuan dan pengalaman dari peziarahannya di dunia. Agama-agama dan budaya sebetulnya hanya mengajarkan satu hal, yaitu menjadi manusia yang baik.  

Maka, dengan mudik yang kemudian menjadi peristiwa kultural-keagamaan, mestinya adalah kesempatan untuk kembali belajar bagaimana menjadi manusia yang ”baik” itu. Di udik kita tersimpan makna-makna kebaikan itu.  

 

Penulis, Dosen Fakultas Teologi UKIT dan pegiat di Mawale Cultural Center, tinggal di Tomohon - Minahasa  


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home