Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 19:30 WIB | Selasa, 28 Januari 2014

MUI Anjurkan Sunat Bagi Perempuan, Ditentang LSM

Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (foto dari pusat.baznas.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ichwan Syam mengatakan bahwa khitan bagi wanita merupakan hal yang dianjurkan dalam Islam. Tiga LSM, pada Senin (27/1) mendesak pemerintah menghentikan praktik yang dianggap melanggar hak asasi manusia tersebut.

“Kalau praktik ini dilarang, itu berlebihan, melebihi kewenangan yang dibolehkan dalam Islam,” kata Ichwan Syam, awal tahun lalu.

Sebaliknya dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa praktik female genital mutilation (FGM) merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

WHO mengindikasikan dalam laman resminya bahwa FGM berdampak buruk terhadap kesehatan, dan gangguan saat buang air kecil, hingga komplikasi saat melahirkan.

WHO melakukan berbagai cara menghilangkan FGM yang berfokus kepada memperkuat sektor kesehatan suatu negara, membuat arahan, pelatihan dan kebijakan untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada efek buruk yang ditimbulkan dari FGM.

WHO mencoba membangun bukti-bukti nyata bahwa mereka yang mempraktekkan FGM sulit untuk hidup dalam keadaan sehat. WHO menyajikan berbagai cara mengeliminasinya, sekaligus memberi bukti nyata bahwa melakukan FGM merupakan sebuah kesalahan.  

Ichwan Syam mengatakan banyak orang Indonesia kurang paham arti sesungguhnya khitan wanita, karena fatwa sesungguhnya Islam tidak setuju apabila praktik khitan tidak dilakukan orang yang pengalaman dan profesional.

“Kami juga tidak setuju bila khitan itu dilakukan dengan mutilasi atau memotong dalam jumlah besar,” kata Ichwan.

Caranya, kata Ichwan, adalah dengan sekedar melakukan penorehan atau hanya menghilangkan selaput yang menutupi klitoris.

Islam memiliki dalil teologis untuk hal ini bahwa dahulu berdasar hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha bahwa berdasar sejarah para wanita di Madinah dikhitan.

MUI menilai khitan bagian dari ibadah yang sangat dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan Islam. Pada 2008,  MUI pernah mengeluarkan fatwa, yang intinya menyebutkan khitan perempuan adalah ibadah yang dianjurkan. Ma'ruf berkilah, dari semua ulama tak ada satu pun yang berpendapat khitan bagi perempuan dilarang.

Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris yang mengakibatkan bahaya dan merugikan.

“Saat ini kalau dilakukan terhadap bayi, bukan sesuatu yang perlu dirisaukan,” kata Ichwan.

Ia juga menegaskan bahwa praktik khitan bagi wanita di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di beberapa negara di Afrika, yang menurutnya berlebihan.

“Kami memang tidak mengeluarkan rekomendasi tentang tata cara khitan yang berlebihan itu,” kata Ichwan.

Sementara itu dari Kementerian Kesehatan, Nafsiah Mboy mengatakan pemerintah tidak sepakat dengan praktik FGM ini, akan tetapi masih membolehkan praktek khitan wanita.

“Praktik ini tidak dapat diterima, karena kami keberatan dengan FGM, ” kata Nafsiah.

Nafsiah mengatakan khitan bagi wanita tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menyebabkan dampak negatif pada anak perempuan itu sendiri. Selain itu, sunat bagi perempuan Indonesia merupakan bagian dari ketentuan agama Islam.

Sedangkan di Afrika, Female Genital Mutilation (mutilasi alat kelamin perempuan) sangat melanggar hak asasi perempuan dan secara medis juga sangat buruk.

Dia juga menyatakan pihaknya tidak akan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tahun 2010 tentang sunat perempuan karena tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada di Indonesia maupun aturan agama.

Ditentang LSM

Tiga lembaga swadaya masyarakat—Kalyanamitra, Watch Indonesia dan Terre Des Femmes—mendesak Presiden SBY dan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi agar menjalankan aturan internasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pemotongan alat kelamin perempuan adalah mutilasi.

"Praktik sunat perempuan melanggar berbagai artikel perjanjian internasional, seperti Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan," kata Joko Sulistyo, peneliti masalah jender Kalyanamita, di Jakarta, Senin (27/1).

 Menurut Joko, sebenarnya pada 2006 pemerintah telah membuat kebijakan melarang praktik sunat atau khitan bagi perempuan. Namun, kebijakan itu ditentang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akhirnya, pada 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa Peraturan Menkes yang membolehkan petugas medis melakukan khitan bahkan mengatur prosedurnya.

 "Kebijakan itu membuka peluang dan otoritas bagi tenaga medis untuk menyunat perempuan tanpa bisa dikriminalisasi oleh hukum. Meskipun Menkes mengatur prosedurnya, tak ada jaminan sunat bagi perempuan akan aman. Maka, praktik ini digolongkan pelanggaran hak asasi manusia," katanya.

 Di kalangan masyarakat, khitan bagi perempuan masih populer. Penelitian Kalyamitra menyebutkan, 92 persen keluarga Indonesia mendukung praktik itu bahkan ingin meneruskannya untuk anak-cucu.

 "Ini mengkhawatirkan," kata Joko. Ia berharap pemerintah mengampanyekan edukasi bagi kelompok agama, politisi, dan masyarakat umum untuk mengubah persepsi budaya dan keyakinan tentang khitan perempuan.(muslim.or.id/bbc.co.uk/who.int/jurnal parlemendari berbagai sumber)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home