Loading...
INDONESIA
Penulis: Equivalent Pangasi 15:47 WIB | Rabu, 23 April 2014

Musdah: Kartini, Inspirasi untuk Bangkit Melawan Patriarkal

Prof. Siti Musdah Mulia mengungkapkan bagaimana sosok RA Kartini telah menginspirasi perempuan, juga dirinya untuk bangkit melawan budaya patriarkal dan diskriminasi terhadap perempuan. (Foto: akun Facebook Musdah Mulia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masih memperingati Hari Kartini, aktivis perempuan sekaligus lintas agama Prof Siti Musdah Mulia mengungkapkan bagaimana sosok RA Kartini telah begitu menginspirasi perempuan untuk bangkit melawan budaya patriarkal.

Ungkapan tersebut disampaikannya kepada satuharapan.com dalam wawancara melalui surat elektronik pada Selasa (22/4).

“Opini Kartini yang dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang telah menginspirasi perempuan, termasuk saya, untuk bangkit melawan budaya patriarkal,” ungkap Musdah.

Kartini menurut Musdah paling tidak telah menginspirasinya juga para perempuan untuk melawan kebijakan diskriminatif, meminta pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup untuk pemberdayaan perempuan, dan mengusung interpretasi agama yang kondusif bagi kesetaraan perempuan.

Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu memaparkan bagaimana Kartini memperjuangkan kesetaraan gender pada masanya. Paling tidak ada dua hal yang diupayakan Kartini untuk mewujudkan kesetaraan.

“Pertama, Kartini menulis opini melalui surat kepada sahabat-sahabatnya yang berkebangsaan Belanda. Kartini berharap para sahabatnya itu mampu memengaruhi perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda,” ujar Musdah.

Ia menambahkan, “upaya kedua yang dilakukan Kartini adalah dengan mendirikan sekolah kecil-kecilan bagi perempuan untuk membuat perempuan lebih mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara.”

Dilema Poligami dalam Rumah Tangga Kartini

Tak sedikit masyarakat yang mempersoalkan keputusan Kartini yang mau menjadi istri keempat bupati Rembang saat itu, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhinigrat. Sikap Kartini yang hendak memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dinilai paradoks dengan keputusannya untuk menjadi istri keempat.

Mengenai hal tersebut, Musdah memahami kekecewaan banyak orang. Namun ia mengimbau masyarakat untuk tidak melupakan konteks di mana Kartini hidup, yaitu di bawah masa penjajahan yang tidak memungkinkan adanya kebebasan berpendapat.

“Kartini menerima perkawinan poligami bukan karena menyetujui praktik poligami. Kartini mempertimbangkan kemungkinan yang lebih buruk jika ia menolak perkawiman tersebut,” Musdah menegaskan, “akhirnya terbukti, ia tidak bahagia dengan perkawinan itu, dan itu terbaca dalam beberapa suratnya. Inilah yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kesehatan yang menyebabkan kematiannya.”

Peringatan Hari Kartini Bukan Peringatan Simbolis

Mengenai makna peringatan Hari Kartini, Musdah menyayangkan kebanyakan masyarakat yang memaknaii Hari Kartini dengan hal-hal simbolistik fisik.

“Seharusnya memaknai peringatan Hari Kartini tidak dengan simbol-simbol fisik seperti berkebaya, sanggul, dan hal-hal seremonial lainnya, melainkan dengan menghayati pikiran-pikiran serta upaya-upaya Kartini untuk membebaskan perempuan dari semua belenggu pembodohan, diskriminasi, dan

Sebagai penutup wawancara, Musdah menyampaikan imbauannya untuk memperingati Hari Kartini.

“Selanjutnya kita perlu membuat aksi-aksi konkret pada semua bidang kehidupan yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai warga negara sepenuhnya dan manusia seutuhnya,” Musdah menutup wawancara.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home