Loading...
OPINI
Penulis: Fidelis Regi Waton 00:00 WIB | Senin, 01 Februari 2016

Musuh Masyarakat Terbuka

SATUHARAPAN.COM – Belum lekang dalam ingatan kita pelbagai serangan teroris bertoga Islam terhadap beberapa kota dan lokasi sebagai simbol modernisasi dan keterbukaan, di antaranya New York (2001), Djerba (2002), Bali (2002/2005), Madrid (2004), London (2005), Paris (2015), Istanbul (2016) dan Jakarta (2016).  Penyebarluasan aura ketakutan dan kematian (thanatos) oleh Al-Qaeda besutan Osama bin Laden disambut hangat misalnya oleh Jemaah Islamiah, Boko Haram dan ISIS. Celakanya kelompok yang biadab dan bringas seperti ISIS bukan saja dikecam, dikutuk dan diperangi, melainkan didukung. Kiat pemerintah untuk melarang  ideologi ISIS bukannya disokong, tetapi diprotes.

Hakikat manusia sebagai insan bernurani dan berbudi tak sanggup memahami ketololan nan fatal dimaksud. Filsuf dan sosiolog Karl Raimund Popper mungkin tidak begitu terkejut dengan munculnya rentetan tragedi berdarah dan fenomen pihak-pihak yang mendukung pelestarian kekerasan dan kejahatan. Tulisan monumentalnya The Open Society and Its Enemies (Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya,1945) menujum presensi kelompok-kelompok yang mengagungkan kebiadaban melawan masyarakat terbuka, bebas dan demokratis. 

Slogan „masyarakat terbuka“ telah mengonstruksi citra diri aneka negara demokrasi modern dan kalangan yang bergaya inklusif. Kemampuan dan kemauan untuk berubah, kebebasan berpendapat dan berdiskusi, apresiasi keragaman, wacana demokrasi dan tamatnya dogma merupakan tonggak penyanggah masyarakat terbuka.

Dari segi konteks sejarah, karya Popper dipahat sebagai manifesto penting anti-totalitarianisme yang termanifestasi dalam wajah fasisme dan komunisme. Kini totalitarianisme de facto bagaikan singa ompong dan kehilangan momok. Meskipun begitu Francis Fukuyama terlalu serta-merta memeterai babak akhir sejarah (the End of History) pasca Perang Dingin sekaligus secara sepihak memproklamasikan kemenangan ideologi dan corak hidup demokrasi liberal dan terbuka, ketika komunisme sebagai antonim keterbukaan didepak dan dibatasi ruang geraknya. Samuel Hutington dengan teori benturan peradaban (clash of Civilizations) lebih realistis berguru dan berjalan pada gagasan Popper. Kuman paham totalistis dan elan masyarakat tertutup lestari dan menjalar dalam pelbagai gerakan fundamentalis-teroristis.

Popper tidak mengalami ambang abad ke-21, namun prediksi bernasnya sangat relevan: Konflik antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (yang kini dipersonifikasi oleh kaum fundamentalis-teroris yang berbendera Islam)  akrab mengiringi kita dan tidak diketahui kapan kita bisa keluar dari kemelut menahun ini.

Rongrongan musuh masyarakat terbuka bukan hanya berpentas di atas panggung terorisme mondial. Para serdadu masyarakat tertutup aktif berjuang pada lajur  legal dan ilegal di nusantara yang sedang menghirup tabung oksigen kebebasan. Otonomi khusus di Aceh dengan pemberlakuan hukum Syariah yang bercorak arkais dan anti-kebebasan menjadi mimpi buruk misalnya bagi kaum Hawa. Yang dianggap menyebarkan sekte, aliran sesat dan ajaran ateis digaruk. Kebebasan beragama pihak lain dianulir. Tempat ibadat dilarang dibangun, disegel, dibongkar dan dibakar. Gaya hidup yang bebas, glamour dan terbuka di metropolitan dengan tempat minum dan disko digempur oleh Forum Pembela Islam. Wilayah privat yang harus diayomi institusi demokrasi malah secara semena-mena diganggu dan dikontaminasi (cara perpakaian, pola konsumsi, apa yang ditonton dan sebagainya). Tak sungkan-sungkan kriminalitas dan main hakim sendiri dijalankan demi membela Yang Ilahi, agama dan dogmatismenya.

Kembali ke Popper. Pemikir anti-dogmatisme yang berpendidikan sosialis dan kemudian beralih ke haluan humanis-liberal merangkum kekisruan kemanusiaan aktual dalam tajuk: „Kita memikul beban untuk itu, karena kita manusiawi.“ Konklusi ini tentu bukan menjustifikasi fatalisme, melainkan menantang intensitas tekad dan aksi kita. Popper meninggalkan wasiat bahwa masyarakat terbuka bukanlah hadiah yang jatuh dari surga. Ia harus selalu diperjuangkan, dikonservasi, ditransformasi dan dikembangkan bagaikan hidup itu sendiri.

Musuh masyarakat terbuka tidak boleh menang atau ditolerir dan dibiarkan merajalela. Para warga masyarakat terbuka yang cinta akan kehidupan, tidak boleh termakan nuansa ketakutan yang disebarkan para teroris yang mengagung-agungkan kematian dan menyebarluaskan gagasan kemartiran siluman sebagai jalan satu arah menuju surga.

Pencinta masyarakat terbuka harus menghadirkan politik yang kuat dan demokratis serta aparat yang loyal, berani, tidak memihak dan tidak korup. Asas negara hukum harus ditenggakkan secara adil dan konsekuen. Kebebasan, harkat dan martabat manusia tak bisa dinegosiasi. 

Tugas ini bukanlah mission imposible, jika setiap warga pertama-tama sepakat untuk merenungkan dan menajamkan kembali pisau hati dan otak yang secara sahih dan fair membedakan yang baik dan jahat. Dikotomi simpel ini berbasis kemanusiaan dan hendaknya tidak boleh dijungkirbalikkan oleh pandangan manapun termasuk yang mengatasnamakan Tuhan dan agama. Segalanya harus melayani kemanusiaan dan setiap kita bertugas untuk memberantas segala yang tidak berperikemanusiaan. Dalam konteks ini fenomen silent majority (mayoritas bisu) tak lain dari virus yang berbahaya. Saya teringat di Jerman, jika terjadi demonstrasi ribuan pihak populistis Neo-Nazi atau Pegida, maka hampir selalu muncul demonstrasi tandingan yang menentang gerakan dimaksud yang berjumlah dua atau tiga kali lipat peserta. Keberanian sipil (civil courage) dan inisiatif warga mesti dihidupkan untuk menghadang akselerasi dan penetrasi para nabi dan aneka murid masyarakat tertutup.

Mari kita biarkan Popper sekali lagi bersabda: Kita tidak pernah bisa kembali ke masyarakat tertutup yang konon tak bersalah dan elok. Impian kita akan surga tidak dapat direalisasikan di dunia. Setiap upaya untuk menciptakan surga di dunia ini, hanya melahirkan neraka. Jika kita mulai dengan penindasan akal budi dan kebenaran, maka kita harus berakhir dengan penghancuran yang paling keras dan brutal dari segalanya yakni kemanusiaan. Tidak ada jalan kembali ke keadaan alam yang katanya harmonis. Seandainya kita kembali, tentu kita harus melewati semua jalan – kita harus menjadi binatang. Oleh karena itu jika kita ingin tetap sebagai manusia, maka hanya ada satu jalan yakni jalan menuju masyarakat terbuka.

Masyarakat terbuka dalam jargon Popper bukanlah sekadar jalan, proyek dan tujuan, melainkan eksistensi dan identitas manusia sebagai manusia. Hanya lewat afirmasi dan vitalisasi masyarakat terbuka, kita sanggup mewujudkan impian Seneca: “Homo res sacra homini” (Manusia itu suci bagi sesamanya). 

 

Penulis adalah alumnus Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home