Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 14:50 WIB | Jumat, 05 Februari 2016

Nafsu DPR Merevisi UU KPK Sudah Sejak 2010

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – DPR telah memasukkan agenda Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), wacana revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sudah dimulai sejak tahun 2010. Namun, karena menjadi polemik di tahun 2015 dan tertunda, DPR memulai pembahasannya lagi tanggal 1 Februari 2016.

Upaya revisi berlangsung alot hingga tertunda proses pengusulan dan pembahasannya. Termasuk di antaranya penolakan kuat dari publik. Berikut adalah catatan perjalanan revisi UU KPK sejak tanggal 26 Oktober 2010 hingga bulan tanggal 1 Februari 2016. Seperti dilansir antikorupsi.org (ICW), hari Selasa (5/2).

26 Oktober 2010
Komisi Hukum DPR mulai mewacanakan revisi UU KPK. 

24 Januari 2011
Wakil Ketua DPR ajukan usulan RUU KPK. Dalam surat bernomor PW01/0054/DPR-RI/1/2011 tanggal 24 Januari 2011 ditulis oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, dari Fraksi Partai Golkar kepada Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman. Pada surat tersebut, Priyo meminta Komisi III menyusun draf naskah akademik dan RUU KPK.

Prolegnas prioritas pada tahun 2011 terdapat 70 rancangan tentang perubahan undang-undang. Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi salah satu undang-undang dalam daftar tersebut, dan hal itu diprakarsai oleh Komisi III DPR.

25 Oktober 2011
Ketua Komisi Hukum DPR, Benny K Harman, menyatakan revisi UU KPK merupakan satu keharusan. Menurut Benny, poin yang menjadi isu krusial revisi antara lain, kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntut, fokus pada agenda pemberantasan korupsi yang harus dipertegas, wewenang menyadap, laporan harta kekayaan penyelenggara negara, kewenangan KPK melakukan penyitaan dan penggeledahan, menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), berkaitan dengan prinsip kolektif kolegial kepemimpinan KPK, prioritas kerja KPK dalam bidang pencegahan atau penindakan harus dipertegas, fokus penindakan KPK untuk kasus dengan ukuran tertentu, fokus ke kasus-kasus besar atau tidak, dan fokus KPK untuk menyelamatkan uang negara atau ingin menghukum pelaku korupsi.

23 Februari 2012
Muncul Naskah Revisi UU KPK yang diduga berasal dari Badan Legislasi DPR. Kewenangan penuntutan hilang, penyadapan harus izin ketua pengadilan, pembentukan dewan pengawas, dan kasus korupsi yang ditangani hanya di atas Rp 5 Miliar.

3 Juli 2012
Berdasarkan risalah rapat pleno Komisi III sebelum draf revisi UU KPK diajukan ke Baleg, tujuh fraksi di DPR menyetujui revisi UU KPK dan UU Tipikor. Ketujuh fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Sementara PDI Perjuangan menolak revisi, dan PKS memilih tak bersikap. Rapat Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar, Aziz Syamsuddin.

27 September 2012
Ketua Komisi Hukum DPR, Gede Pasek Suardika, menyatakan DPR tetap akan mempercepat pembahasan revisi UU KPK. Revisi diperlukan untuk memperjelas kewenangan KPK yang selama ini belum jelas. Menurut Pasek, revisi UU Nomor 30 tahun 2002 ini sudah tak bisa ditolak. Alasannya, rencana perubahan sudah masuk dalam prolegnas sejak tahun 2011. 

4 Oktober 2012
Rapat pleno Komisi III DPR menyetujui untuk melanjutkan naskah RUU tentang perubahan UU no 30 tahun 2002 pada proses berikutnya, yaitu pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Badan Legislasi DPR.

8 Oktober 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pernyataan persnya, menyatakan “Lebih baik kita meningkatkan upaya pemberantasan korupsi agar lebih berhasil, daripada harus memberikan perhatian dan menghabiskan energi hanya untuk melakukan revisi dan saya mendukung penuh KPK.” SBY menyatakan “Sampai saat ini saya tidak tahu konsep DPR untuk merevisi UU KPK itu. Jika ternyata itu untuk memperkuat KPK dan lebih efektif, saya pada posisi yang siap untuk membahasnya. Namun, untuk saat ini belum tepat.”

16 Oktober 2012
Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi aturan tentang komisi antirasuah itu. Seluruh Fraksi Partai Politik DPR menolak Revisi UU KPK. Selanjutnya, keputusan Panja diserahkan ke Baleg. Ketua Panja revisi UU KPK, R Dimyati Natakusuma, mengatakan keputusan Panja menghentikan pembahasan tidak lepas dari upaya DPR mendengarkan suara rakyat. Terutama mereka yang menolak revisi.

9 Februari 2015
Keluar Surat Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional tahun 2015 hingga tahun 2019 dan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2015. Surat dengan Nomor 06A/DPR/II/2014-2015 ditandatangani oleh Ketua DPR, Setya Novanto. Revisi UU KPK tercantum dalam nomor urut 63 dan diusulkan oleh DPR RI.  

19 Juni 2015
Presiden Joko Widodo menyatakan membatalkan rencana pemerintah membahas Revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional 2015.

23 Juni 2015
Seluruh Fraksi di DPR dalam Sidang Paripurna bersepakat untuk memasukkan Revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015. Revisi UU KPK masuk daftar Rancangan Undang-Undang yang ditambahkan dalam Prioritas Prolegnas 2015. Tidak ada satu pun fraksi yang menolak Revisi UU KPK. DPR beralasan dimasukkannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015 karena usulan dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

Secara garis besar ada lima isu krusial yang coba dimasukkan oleh DPR dalam naskah Revisi UU KPK yaitu, pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan “kolektif-kolegial”, dan pengaturan terkait Plt Pimpinan jika berhalangan hadir.

Oktober 2015
Beredar naskah Revisi UU KPK yang patut diduga berasal dari gedung Parlemen di Senayan.  Dalam catatan ICW, sedikitnya terdapat 17 hal krusial dalam Revisi UU KPK versi Senayan yang melemahkan KPK. Mulai dari usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, dan membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.

13 Oktober 2015
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan Revisi UU KPK. Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat Konsultasi di Istana Negara. Keduanya sepakat untuk membahas RUU KPK ini dalam masa sidang selanjutnya pada tahun 2016. Ketua DPR, Setya Novanto, mengungkapkan bahwa penundaan ini dilakukan karena DPR masih fokus membahas RAPBN 2016, yang harus disahkan pada rapat paripurna pada tanggal 30 Oktober 2015. Sedangkan, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan, menyatakan alasan karena pemerintah merasa masih perlu memastikan perbaikan ekonomi nasional berjalan baik.

27 November 2015
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyetujui Revisi UU KPK menjadi prioritas yang harus diselesaikan pada tahun 2015.  DPR beralasan Revisi UU KPK penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. Revisi UU KPK menjadi usulan DPR. Sedangkan, draf RUU pengampunan pajak (tax amnesty), menjadi inisiatif pemerintah.

2 Desember 2015
Presiden Jokowi menyatakan "Soal revisi UU KPK, inisiatif revisi adalah dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya. Semangat revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah”

14-16 Desember 2015
Materi Revisi UU KPK masuk dalam materi pertanyaan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Pimpinan KPK periode 2015-2019. Uji kelayakan dilakukan oleh Komisi Hukum DPR.  

15 Desember 2015
Rapat paripurna di DPR memutuskan untuk memasukkan Revisi Undang-Undang KPK dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) dalam Prolegnas 2015. Keputusan yang dilakukan secara mendadak di hari-hari akhir masa sidang anggota DPR, yang akan reses pada 18 Desember 2015.

26 Januari 2016
DPR RI mensepakati Revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016. Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak Revisi UU KPK.

1 Februari 2016
Revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR. Anggota Fraksi PDI-P, Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo, hadir sebagai perwakilan pengusul revisi UU tersebut.  Ada 45 anggota DPR dari enam fraksi yang menjadi pengusul Revisi UU KPK. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, sembilan orang dari Fraksi Golkar, lima orang dari Fraksi PPP, tiga orang dari Fraksi Hanura, dan dua orang dari Fraksi PKB.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home