Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 08:27 WIB | Senin, 29 Desember 2014

Natal 1914, 100 Tahun Lalu

Ilustrasi Christmas Truce. (Foto: wikipedia.org)

SATUHARAPAN.COM – Natal 1914, 100 lalu di Eropa dirayakan dalam kondisi yang tidak menyenangkan banyak pihak. Eropa ketika itu dilanda perang dunia pertama (PD I), perang antara kekuatan pusat yang dimotori Jerman dan sekutu yang dimotori. Ada peristiwa mengharukan, inspirasional dan juga dianggap sebagai mukjizat yang dicatat sebagai bagian dari sejarah PD I itu, yaitu peristiwa Christmas Truce atau gencatan senjata, Natal 1914.

Pada 24 Desember 1914, di sebuah front pertempuran di daerah Bavaria, Jerman, berhadapan pasukan Jerman dan Inggris. Siang harinya mereka masih saling menembak dan berakibat jatuhnya korban di kedua pihak. Tetapi saat suasana hening di malam Natal itu, terdengar nyanyian lagu-lagu natal yang dinyanyikan oleh pasukan Jerman dalam bahasa mereka. Tentara Inggris lalu ikut menyanyikan “Christmas carol”. Tentu lagu Stille Nacht Heilige Nacht, Silent Night Holy Night atau “Malam Kudus Sunyi Senyap” menjadi nyanyian utama. Jadilah dua pasukan bermusuhan itu menyanyi bersama lagu-lagu Natal sampai larut malam. Suara tembakan di siang hari telah digantikan oleh lagu-lagu Natal yang menyenangkan, menenangkan dan mendamaikan kedua pasukan yang berseteru itu. Nyata bahwa semangat Natal mampu mengalahkan gelora perang, bahkan perang dunia yang dahsyat itu.

Besok paginya, Natal 25 Desember, seorang tentara Jerman menuju ke posisi tentara Inggris sambil membawa pohon natal kecil dan meneriakkan Merry Christmas. Lalu seorang tentara Inggris berdiri sambil melambai-lambaikan tangan ke arah tentara Jerman. Sebagian tentara Inggris khawatir bahwa itu adalah jebakan dan mereka akan ditembaki oleh tentara Jerman. Tetapi setelah beberapa saat tidak terdengar tembakan, banyak tentara Inggris lalu berdiri dan melambaikan tangan ke arah tentara Jerman sambil meneriakkan Fröhliche Weihnachten Selamat Natal dalam bahasa Jerman. Kedua rombongan pasukan lalu itu bertemu di front pertempuran atau no- man’- land, saling menyapa, bersalaman, berpelukan dan merayakan Natal bersama dengan berbagai kegiatan. Ada yang saling membagi rokok, minuman, bermain kartu, bermain sepak bola dan ada yang mengumpulkan mayat-mayat yang terbunuh dalam pertempuran di hari sebelumnya.

Itulah peristiwa Christmas Truce 25 Desember 1914, Natal seratus tahun lalu yang dilakukan oleh dua pasukan yang saling berperang di daerah pertempuran terdepan di kala Perang Dunia Pertama. Gencatan senjata selama Natal itu lalu terjadi juga di beberapa daerah pertempuran. Hal itu terjadi bukan karena perintah atasan tetapi karena inisiatif dan spontanitas para tentara yang ingin merayakan Natal dalam suasana damai dan penuh kegembiraan. Mereka tidak menghiraukan kebijakan negara atau perintah atasan yang bahwa mereka harus berperang, menembaki dan membunuh musuh. Untuk itu tentu mereka terancam penghukuman. Natal telah menghilangkan rasa permusuhan dan takut pada penghukuman. Mereka berdamai dan bergembira bersama merayakan Natal. Natal membawa damai dan sukacita.

Peran Natal bagi Umat Kristen

Keinginan untuk merayakan Natal dengan damai dan sukacita merupakan bagian utama romantisme Natal. Natal dan perayaan-perayaannya memang bagi seorang atau umat Kristen yang telah merayakannya secara tradisional dan turun-temurun di dalam keluarga dan masyarakatnya merupakan peristiwa yang sangat romantis. Walaupun dirayakan hanya sekali setahun, ada keindahan-keindahan dari Natal yang sangat terasa, membekas dan selalu dirindukan. Lagu-lagu, dekorasi atau ornament-ornamen Natal, makanan istimewa dan berkumpul bersama keluarga atau orang-orang yang dekat adalah hal-hal yang membangkitkan kerinduan pada Natal itu.

Romantisme Natal tidak berbeda dengan romantisme yang dialami umat agama-agama lain dalam perayaan hari besarnya. Kita dapat memahami betapa besar kerinduan dan kebahagiaan misalnya umat Islam untuk merayakan Idul Fitri, umat Hindu dengan Nyepi, umat Buddha dengan Waisak, umat Kong Hu Cu dengan Imlek, dan penganut agama suku dan penghayat kepercayaan dengan perayaan-perayaan agamanya. Dalam romantisme perayaan hari besar agama ini, satu hal yang penting bagi seseorang yang terpisah jauh dari kampung halaman atau keluarganya adalah kata “pulang” atau “mudik”, kembali ke “rumah” dan berkumpul bersama keluarga; suatu ritual yang memberi kenyamanan, ketenangan dan kedamaian. Perayaan-perayaan yang diselenggarakan dengan senang hati, sukarela dan bahkan dengan berkorban membawa rasa senang, gembira dan damai. Itulah indahnya merayakan perayaan agama.

Tentu romantisme Natal itu tidak hanya pada sisi perayaannya. Bagi banyak orang Kristen, Natal merupakan peristiwa iman yang memberi dan memperkuat keyakinan dan pegangan pada kepercayaan terhadap Yesus Kristus yang lahir dan hadir di dunia untuk menyelamatkan manusia. Natal memberi jaminan akan hidup mereka di dunia kini dan nanti dalam keabadian. Jadi Natal menguatkan, menyegarkan dan memberi semangat baru bagi kehidupan spiritual, rohani atau iman mereka. Lahirnya Yesus di dunia adalah tanda perdamaian antara Allah dan manusia, antara Sang Bapa dengan anak-anak-Nya. Perdamaian ini menjamin keselamatan manusia. Karena itu Natal Yesus layak dirayakan dengan sukacita.

Damai dan Sukacita Adalah Semangat Natal

Semangat Natal bagi umat Kristen tentu diisi oleh dasar dan roh pengajaran Yesus yaitu cinta kasih. Orang yang menjalani hidupnya dengan cinta kasih dapat melalui dan mengatasi berbagai hambatan, tantangan dan persoalan di dalam hidupnya. Baik buruk kehidupan tidak akan memberatkan dan menyebabkan penderitaan jika cinta kasih itu menjadi pedoman dan pertimbangan. Hal ini karena cinta kasih membuat orang menjadi bijaksana, melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif dan penuh pengharapan akan hal baik.

Dalam kehidupan yang diwarnai oleh berbagai ketegangan dan konflik, di mana pun itu, di dalam diri sendiri, dalam hubungan dengan orang lain dan di berbagai tempat aktivitas bahkan dalam situasi perang pun, jika semangat Natal, cinta kasih dan perdamaian itu ada di hati dan diberlakukan seperti oleh tentara Jerman dan Inggris pada Natal 1914, 100 tahun lalu itu maka ada “gencatan senjata”, ada perdamaian dan suka cita dalam hidup.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home