Loading...
OPINI
Penulis: Doni Setyawan 11:23 WIB | Sabtu, 20 Juli 2013

Negara Tanpa (Urusan) Agama

SATUHARAPAN.COM - Tidak dapat dipungkiri agama adalah sebuah ironi yang paling mengenaskan dalam panggung kehidupan. Mengapa saya berani mengatakan ironi? Karena sejatinya agama diciptakan sebagai mekanisme untuk menjadikan kehidupan ciptaan (dalam hal ini fokus utama adalah manusia) mengalami dan merasakan kehidupan yang sejahtera, aman dan penuh dengan kedamaian.

Namun dalam praktik dan perkembangannya, agama justru menjadi sumber (utama) konflik, pertikaian, perselisihan, pertengkaran, dan peperangan. Ironinya lagi ketika mereka yang berkonflik itu selalu mengatasnamakan yang baik, yang benar, yang mulia, dan lebih ironis ketika semua mengatasnamakan Tuhan di balik tindakan-tindakan itu.

Agama, yang semestinya menjadi “area steril” dari aneka konflik dan carut-marut hidup justru menjadi sumber segala sumber carut-marut itu. Di negeri ini, yang katanya negeri agamis, semua persoalan selalu ditarik ke ranah yang bernama agama. Seolah ketika mengatasnamakan agama dan Tuhan semua menjadi selesai da beres.

Mengapa Agama Menjadi Akar Konflik?

Sejatinya, agama adalah ranah paling pribadi dalam hidup dan kehidupan manusia. Agama adalah ekspresi yang berasal dari ruang suci dalam sanubari manusia yang dengannya manusia bisa berelasi dengan Khaliknya.

Dengan pengertian ini, agama sebenarnya wujud ekspresi, dan itu barasal dari diri pribadi yang mandiri, independen. Agama tidak bisa diatur oleh siapapun. bahkan oleh keluarga ataupun orangtua sekalipun. Mereka dalam agama adalah liyan, orang lain! Artinya, mereka itu hanya berhak untuk memberi pertimbangan, memberi kritik dan saran dari perspektif mereka, sedangkan pengambilan keputusan tetaplah pribadi manusia madiri itu.

Namun anehnya, di negeri ini, agama telah menjadi urusan negara, telah menjadi urusan publik. Mau beragama apa dan kapan, diurus oleh orang banyak (Negara dan Mayoritas). Akibat dari semua itu adalah terpilahnya komunitas agama: ada yang sedikit dan ada yang banyak. Kelompok yang besar akan senantiasa menguasai dan berusaha mempertahankan hegemoni mereka, sementara kelompok yang kecil akan berusaha bertahan dan, kalau mungkin, melawannya.

Dengan kondisi seperti ini, agama menjadi area rawan dan sensitif bagi bangunan relasi antar manusia. Agama dipahami sebagai “gerombolan”  dan bukan sebagai “rombongan peziarahan.”

Jika dipahami sebagai gerombolan, maka yang muncul dalam benak masing-masing pengikut (istilah ini juga sangat tendensius) geromolan lain adalah musuh. Karena gerombolan di luar gerombolannya adalah musuh, maka kecurigaan akan menjadi nafas gerombolan itu. Karena curiga, maka mereka akan saling mewaspadai dan karena itu bangunan relasinya menjadi kaku. Kondisi ini menjadi rawan gesekan, sehingga saat terjadi perbedaan kecil saja, api konflik meledak.

Namun jika dipahami sebagai rombongan peziarah, maka mereka akan saling menganggap rekan atau sahabat. Rombongan peziarah itu akan saling memberi kesempatan,saling berbagi cerita dan pengalaman meskipun mereka berangkat dari titik kehidupan yang berbeda.

Negara tanpa Agama

Negara ini penuh dengan konflik yang sebagian besar bersumber dari agama. Semua terjadi karena negara sendiri yang salah membuat kebijakan. Di negara ini, agama dijadikan identitas sosial yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk. Dan karena itu, diskriminasi mulai menggerogoti sendi-sendi kehidupan bersama.

Pernah suatu ketika, dalam sebuah kecelakaan di kota di mana penulis tinggal, korban langsung dibawa ke RS umum terdekat. Karena agak parah maka memerlukan perawatan lebih intensif, dan sebelum masuk ke ruangan ICU, perawat menanyakan agama si pasien apa? Perawat ini menggunakan atribut agama tertentu, dan ketika diketahui korban kecelakaan itu beragama berbeda dengan dirinya, penangananya sangat tidak layak. Ini realitas hidup beragama di negeri ini. Dan saya yakin masih banyak lagi peristiwa sejenis di tempat-tempat lain.

Seandainya agama tidak menjadi urusan negara dan karena itu tidak tercantum dalam kartu identias, maka tingkat sensitivitas relasi antar warga tidak akan seperti sekarang ini. Negara harus berani melepaskan “mainannya” yang bernama agama ini ke habitat aslinya, yaitu diri manusia itu sendiri, demi terciptanya kedamaian bersama. Dengan ini, negara (dalam hal ini warga negaranya) tetaplah memiliki agama dan melindungi orang beragama, namun agama adalah urusan warga negara dan bukan urusan negara.

Agama seharusnya dipahami dan dimengerti bukan sebagai identitas sosial dan komunitas, melainkan sebagai sebuah laku hidup. Laku spiritual yang dijiwai relasi manusia dengan Sang Khaliknya. Sebagai laku spiritual yang sedang dan akan terus meniti kehidupan dalam pencarian kebenaran sejati, maka “yang lain” adalah sahabat atau rekan yang  juga sedang mencari kebenaran sejati. Karena sama-sama mencari sesuatu yang sama, maka kemungkinan bekerjasama bisa dilakukan.

Negara tanpa agama, bukan berarti negara yang tidak percaya dan menyembah Tuhan. Negara tanpa Agama juga bukan berarti negara yang liar tanpa aturan kehidupan. Negara tanpa agama artinya, bahwa negara melepaskan “mainan” hidupnya itu dan membiarkannya kembali ke habitatnya yang asli, yaitu ke masing-masing pribadi. Sungguh akan jauh lebih baik jika negara ini tidak mengurusi urusan agama.

Penulis adalah pendeta di Tuntang, Semarang.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home