Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 23:03 WIB | Minggu, 18 November 2018

Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara

Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Pembukaan Ngayogjazz 2018 di panggung Jagabaya, Desa Gilangharjo, Pandak-Bantul, Sabtu (17/11) sore. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Kirab Ngayogjazz 2018 di sepanjang jalan dan gang-gang Desa Gilangharjo.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penampilan Jazz Mben Senen all star saat mengaktivasi salah satu panggung Ngayogjazz.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penanpilan Syaharani and Queenfireworks.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penampilan Josias and friend di atas stage bus (bus yang dimodifikasi menjadi panggung pertunjukan),
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penampilan panembrama Desa Gilangharjo di panggung seni tradisi Lurah.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Selain halaman rumah penduduk, Pasar Jazz digelar juga di berbagai ruang publik, salah satunya di bawah rerimbunan rumpun bambu.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Simakdialog saat tampil di Panggung Kamituwa.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penampilan kelompok musik jazz asal Prancis Osma Quintet di panggung Jagatirta.
Ngayogjazz 2018, Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara
Penampilan Purwanto dan Kuaetnika di panggung Jagabaya.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Pripun, mbah mirsani panggung musik punika?” tanya pembawa acara pada mbah Sudi. “Remen”. jawab mbah Sudi, perempuan berusia 77 tahun yang turut menyaksikan penampilan Jazz Ngisor Ringin (Semarang) dan Yuri Mahatma Quartet (Bali) di panggung Kamituwa dalam Ngayogjazz 2018.

Obrolan tersebut mengalir begitu saja saat Bambang Gundul dan Lusi Laksita yang memandu panggung Kamituwa secara ringan membangun dialog dengan penonton. Mbah Sudi adalah warga Desa Gilangharjo yang menjadi tempat penyelenggaraan Ngayogjazz 2018.

Sukanya lagu apa, mbah?” tanya Lusi. “Lagu-lagu lama seperti Jembatan Merah,” jawab mbah Sudi. “Coba dinyanyikan, mbah,” pancing Bambang. Dengan diplomatis mbah Sudi menjawab “Aku ki ming ngrungokke (Saya itu hanya mendengarkan lagu-lagu tersebut),” jawab mbah Sudi yang disambut gelak tawa penonton. Satu pertanyaan dari Bambang dan Lusi menjadi pembuka perbincangan dengan mbah Sudi selama hampir sepuluh menitan menunggu tim tata suara mengatur-ulang sound system untuk penampilan kelompok jazz berikutnya: Simakdialog.

Ngayogjazz 2018 digelar di Desa Gilangharjo Kecamatan Pandak-Bantul pada Sabtu (17/11).  Enam panggung di sudut-sudut desa dibangun panitia bersama warga dengan memperhatikan akses jalan antar panggung, kapasitas untuk pengunjung, tata suara/cahaya/daya kelistrikan, serta aspek kenyamanan pengunjung selama acara digelar dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada di desa.

Urusan konsumsi untuk pengunjung misalnya, seluruh yang berjualan adalah warga Gilangharjo dengan masakan khas desa yang sederhana, mudah disajikan, sehingga dengan adanya Ngayogjazz, setidaknya dalam satu hari itu perputaran ekonomi bisa dirasakan oleh masyarakat setempat.

Belum lagi pengelolaan parkir pengunjung, kebutuhan air bersih untuk urusan kamar kecil, tempat beribadat, yang memerlukan pengaturan bersama-sama warga mengingat kedatangan pengunjung dengan jumlah di atas 30.000 orang dalam satu hari bukanlah urusan yang sederhana. Di sinilah Ngayogjazz mampu membaca bahwa desa adalah wilayah yang cukup fleksibel dalam menerima kunjungan dalam jumlah besar pada waktu yang singkat dengan modal kohesi sosial antar warga yang hingga saat ini masih cukup terjaga bahwa menghormati kehadiran tamu adalah salah satu nilai yang masih mereka pertahankan.

Apakah dengan tingginya permintaan warga yang berjualan memasang harga yang tinggi juga? Tidak, makanan-minuman dijual masih dalam tingkat harga yang wajar. Kalaupun ada selisih harga, kisarannya pun masih cukup masuk akal. Dengan uang Rp 10.000,00 pengunjung  bisa menikmati mie ayam dengan segelas es teh hangat atau es teh manis. Sebotol air minum ukuran 600 ml dijual seharga Rp 4.000/botol. Segelas kopi hitam yang dijual warga dengan berbelanja kopi dari sponsor Ngayogjazz secara seragam di seluruh area seharga Rp. 3.000/gelas. Dalam setiap penyelenggaraan Ngayogjazz, stan makanan warga hampir semuanya laku.

Berkumpulnya massa dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat sangat rentan terhadap terjadinya kekacauan. Potensi tersebut bisa muncul dalam perhelatan apapun, tidak terkecuali Ngayogjazz. Namun menjalani perhelatan hingga tahun kedua belas, panitia Ngayogjazz tentu punya database bagaimana mengelola berkumpulnya massa terlebih niat kedatangannya adalah untuk merayakan perjumpaan dalam sebuah gelaran besar dalam kemasan musik jazz. Musik seolah menjadi jalan untuk merayakan pertemuan.

Satu pesan jelas dari Ngayogjazz adalah sebuah pesan bahwa Ngayogjazz bukanlah semata-mata tentang menyelenggarakan musik di desa. Lebih dari itu, Ngayogjazz adalah tentang menuai dialog yang tumbuh secara organis di wilayah perdesaan. Urusan musikalitas sendiri bagi para penampil sudah selesai. Di panggung manapun pengunjung menonton akan disuguhi permainan musik yang sama menariknya. Saat Solo Jazz Society sedang memainkan komposisi lagu-lagunya di Panggung Jagatirta, pada saat bersamaan Jazz Mben Senen all star menghangatkan Panggung Jagabaya. Begitupun dengan Mrs. Holdingksy (Ponorogo) dan Conspiracy (Yogyakarta) di Panggung Bayan, Komunitas Jazz Trenggalek dan Spirit di Panggung Carik, dan pertunjukan tari dari siswa SMP N 4 Pandak, dalam waktu bersamaan mengaktivasi setiap panggung seolah sedang menyuguhkan orkestrasi irama kehidupan yang beragam. Cara terbaik menikmati Ngayogjazz adalah nikmati saja apapun dan dimanapun yang tersaji di area Anda berdiri. Setiap panggung dan area Ngayogjazz selalu memberikan pengalaman terbaik bagi pengunjung.

Kekuatan lain dari Ngayogjazz adalah kemampuan dalam membangun dialog di panggung antara penampil dengan penonton. Syaharani bersama Esquif (Syaharani and Queenfireworks) yang tampil sesaat setelah pembukaan di panggung utama Jagabaya tidak sekedar memberikan hiburan bagi penonton. Tujuh lagu yang dibawakan Esquif yaitu Sayang-sayang-sayang, Lebih Baik Tidak, Kiranya, Mungkin, Tetaplah Di Sini, Adventure, Morning Coffee, seolah mengobati kerinduan antara Syaharani dengan penonton. Pada setiap lagu yang dibawakan Syaharani, sebagian besar penonton ikut menirukan lirik-liriknya.

Panggung yang dibangun menjadi gambaran keintiman panitia-penampil Ngayogjazz dengan warga setempat. Panggung Kamituwa yang didirikan di halaman sebuah rumah joglo warga dengan memanfaatkan rumah sebagai back stage serta ruang transit menjadi pemandangan yang menarik ketika crew yang sedang mempersiapkan sound system pada setiap pergantian penampil menjadi lebih dinamis manakala personil Simakdialog lalu lalang keluar-masuk mengambil peralatan musik dari dalam rumah.

Di atas panggung, dua pemandu panggung mengajak penonton dalam obrolan untuk mencairkan suasana sambil menunggu kesiapan panggung. Obrolan Bambang Gundul-Lusi Laksita-Mbah Sudi menjadi gambaran bagaimana desa dengan kehidupan sosialnya dengan membangun dialog untuk mencairkan hubungan diantara mereka adalah tentang penerimaan yang setara dan alamiah tanpa memandang atribut yang melekat pada setiap individu. Mbah Sudi mungkin tidak pernah tahu tentang apa itu musik jazz, begitupun dengan pemandu panggung yang merupakan penyiar radio yang banyak dikenal di wilayah Yogyakarta.

Bagi Mbah Sudi dan bisa jadi sebagian besar warga Gilangharjo lebih penting tentang obrolan/perbincangan tanpa sekat-sekat, tanpa prasangka, tanpa jarak, serta penerimaan bagi siapapun yang berkunjung di desanya sebagai tamu yang harus diterima secara mulia, bermartabat dalam suasana yang hangat. Dalam perspektif ini, jazz menjadi jalan bagi bertemunya persahabatan yang layak untuk dirayakan.

Tidak berlebihan ketika Ngayogjazz kali ini mengusung tema “Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara” yang diadopsi dari bebasan Jawa Negara Mawa Tata, Desa Mawa Cara. Desa adalah entitas politik terkecil berdaulatnya hubungan antar manusia secara bermartabat. Desa bukanlah sekedar hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah. Desa merupakan identitas, institusi, dan entitas lokal seperti "negara kecil" yang memiliki wilayah, kekuasaan, sumber daya, pranata lokal, dan masyarakat.  Desa mawa cara (desa dengan cara) membuahkan frasa "cara desa", yang bermakna desa memiliki cara, adat, kebiasaan, kearifan lokal dan prakarsa lokal.  Negara mawa tata (negara dengan tatanan) menghadirkan frase "tata negara" bahwa negara memiliki peraturan, hukum,  administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi, dan sebagainya. "Cara desa" dan "tata negara" keduanya memiliki nalar dan kepentingan yang berbeda.

Hadirnya Ngayogjazz di ruang-ruang publik desa menjadi gambaran bagaimana hari-hari ini masyarakat desa menjadi merdeka dan berdaulat membebaskan diri dari urusan negara yang melulu tentang politik, kekuasaan, dan berbagai intrik yang kerap menjebak dan membelah masyarakat dalam kepentingan elite. Ngayogjazz 2018 yang mengusung tajuk “Negara Mawa Tata Jazz Mawa Cara” semakin menegaskan bahwa desa menjadi wilayah yang paling jazzy dan multikultur dalam hubungan yang bermartabat: suguh, lungguh, senang ketika kedatangan tamu.

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home