Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:16 WIB | Kamis, 27 Februari 2020

Otoritas Sepakbola Inggris Larang Anak-anak Menyundul Bola Risiko Demensia

Otoritas sepak bola di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, mengeluarkan panduan yang membatasi anak-anak menyundul bola dalam olahraga sepak bola. (Foto: bbc.com)

INGGRIS, SATUHARAPAN.COM – Otoritas sepak bola di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, mengeluarkan panduan yang membatasi anak-anak menyundul bola dalam olahraga sepak bola.

Pembatasan ini berlaku dalam kelompok umur di bawah 18 tahun, sedangkan kelompok umur di bawah 12 tahun dilarang menyundul sama sekali.

Sedangkan bagi kelompok umur antara 12 hingga 16 tahun, akan dilakukan pendekatan berbeda-beda.

Panduan ini akan segera diberlakukan, dan hanya berlaku untuk latihan.

Aturan ini diperkenalkan, menyusul penelitian yang memperlihatkan bahwa bekas pesepakbola profesional, tiga setengah kali lebih besar kemungkinannya mati, akibat gangguan otak dibandingkan bukan pesepakbola.

Apa yang Terjadi Ketika Menyundul Bola?

Ada kekhawatiran yang terus tumbuh bahwa menyundul bola secara rutin meningkatkan risiko seorang pesepakbola menderita demensia, dan meninggal karena penyakit tersebut.

Bola sepak beratnya hampir setengah kilogram, dan ilmuwan memperhitungkan bola bisa menghantam kepala dengan kecepatan hingga 128 km per jam.

Ketika bola menghantam kepala, otak yang melayang di dalam rongga kepala, terpantul dinding belakang tengkorak, menyebabkan memar.

Kajian yang dilakukan oleh University of British Columbia tahun 2018, menemukan bahwa ada peningkatan jumlah darah yang diasosiasikan dengan protein yang terkait dengan kerusakan sel saraf, sesudah menyundul bola.

Jika sundulan hanya sekali, kecil kemungkinan menyebabkan kerusakan. Namun, dalam periode panjang ditambah efek-efek lain bisa membawa masalah.

Apa Bukti Peningkatan Risiko Demensia?

Persoalan ini menjadi berita tahun 2002, menyusul kematian bekas pemain klub West Brom dan timnas Inggris, Jeff Astle, di usia 59 tahun.

Astle didiagnosa mendapat serangan awal demensia.

Pengujian ulang terhadap otaknya di tahun 2014, menemukan ia meninggal karena chronic traumatic encephalopathy (CTE).

Ini adalah kondisi otak yang umumnya terhubung ke olahraga tinju yang juga terkait dengan gejala seperti hilang ingatan, depresi, dan demensia. Kondisi ini juga ditemukan pada olahraga kontak fisik lainnya.

Koroner menyimpulkan otak Jeff Astle, rusak akibat bertahun-tahun menyundul bola sepak.

Pada bulan Februari 2017, peneliti dari University College London (UCL) dan Cardiff University menerbitkan sebuah kajian berdasarkan pengujian post-mortem terhadap enam orang bekas pesepakbola, dan empat di antaranya ditemukan tanda-tanda CTE.

Profesor Huw Morris dari UCL, mengatakan kepada BBC ketika itu: "Kami melihat semacam perubahan seperti yang terjadi pada bekas petinju, perubahan yang kerap disamakan dengan cedera otak yang berulang. Maka untuk pertama kali kami lihat dalam sejumlah pesepakbola ada bukti cedera kepala terjadi pada hidup mereka, dan ini terhubung dengan berkembangnya demensia."

Tahun lalu, sebuah kajian dari Glasgow University memperlihatkan, bekas pesepakbola profesional tiga setengah kali lebih besar kemungkinannya meninggal karena demensia, daripada orang biasa di usia yang sama.

Namun, hingga kini tak ada bukti yang sangat pasti bahwa sepak bola menyebabkan demensia. Hal ini membutuhkan penelitian jangka panjang.

Mengapa Sulit Membuktikan Adanya Kaitan Langsung?

Penyebab demensia sangat kompleks dan kemungkinan muncul disebabkan oleh berbagai kombinasi seperti umur, gaya hidup, dan faktor genetis.

Trauma fisik terhadap otak merupakan satu faktor, tetapi gaya hidup tak sehat seperti merokok dan minum terlalu banyak alkohol serta kelebihan berat badan, juga diketahui menjadi faktor penyumbang risiko.

Memperkirakan bagaimana faktor-faktor itu menyebabkan terjadinya demensia adalah sangat sulit.

Penelitian apa yang Sedang Dikerjakan?

Beberapa lembaga seperti London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), Queen Mary University of London dan Institute of Occupational Medicine, telah meluncurkan sebuah kajian yang meneliti 300 mantan pesepakbola.

Mereka meneliti bekas pesepakbola usia antara 50 hingga 85 tahun, lewat rangkaian tes yang dirancang untuk melihat kemampuan fisik dan kognitif mereka.

Data dikumpulkan bersama dengan karier si pemain dan faktor gaya hidup.

Maka akan bisa dibedakan antara pemain bertahan dengan penyerang serta pemain lain yang tak terlalu sering menyundul bola.

Hasil tes akan dibandingkan dengan penelitian terhadap masyarakat umum, penelitian yang dikenal dengan nama 1946 Birth Cohort, yang memonitor proses penuaan dalam kelompok usia yang lahir pada tahun itu.

Peneliti utama Profesor Neil Pearce, dari LSHTM, mengatakan: "Kami tak tahu banyak tentang risiko dari gegar otak dalam sepak bola, dan kami nyaris tidak punya gambaran akibat jangka panjang dari menyundul bola terus menerus.

"Penelitian ini untuk pertama kalinya akan menyediakan bukti meyakinkan tentang dampak jangka panjang sepak bola profesional terhadap fungsi kognitif."

Bagaimana dengan Indonesia?

Mantan pemain Timnas Indonesia berdarah Maluku, Rochy Putiray, pernah tiga kali mengalami hilang ingatan ketika berebut bola hingga berbenturan kepala dengan lawan mainnya.

Ia tak ingat persis tahun berapa saat itu, tapi tiga peristiwa tersebut terjadi ketika ia membela timnas dan klub.

"Jadi misalkan di babak pertama itu saya masih ingat, tapi begitu berbenturan dengan pemain lawan seterusnya saya tidak ingat dan tidak tahu siapa yang menang di pertandingan. Tapi saya bisa terus main sampai selesai," kata Rochy Putiray kepada BBC Indonesia, Rabu (26/2).

"Begitu pertandingan selesai sampai malam, normal lagi ingatan saya," katanya.

Karena tidak berefek panjang, pria berpenampilan nyentrik ini tak pernah memeriksakan diri ke dokter. Bahkan, setelah bertabrakan kepala dengan sesama pemain, ia terus bermain sepakbola.

"Periksa ke dokter tidak, karena tidak merasa pusing. Nomal saja."

"Tidak ada juga recovery, main bola terus."

Bagi pria berusia 49 tahun ini, teknik menanduk bola bisa dilakukan dengan aman dan tanpa menimbulkan cedera asalkan diterapkan secara benar. Pengalamannya, bagian kepala yang pas untuk gaya itu adalah pelipis atau dahi.

"Perlu teknik yang pas untuk bikin heading yang benar. Misalnya saya berbenturan dengan lawan bisa jidat atau pelipis karena itu bagian paling keras di kepala."

Ia juga mengatakan, selama belum ada kajian atau penelitian khusus di Indonesia tentang dampak atau bahaya heading bagi kesehatan pesepakbola, tidak perlu dilarang.

"Karena belum ada kasus pemain bola jadi gila atau gegar otak. Jadi saya nggak begitu khawatir."

Indra Sjafri: Setuju Jika Diterapkan di Indonesia

Direktur Teknis PSSI, Indra Sjafri, mengatakan induk sepakbola Indonesia memang belum mengadopsi aturan yang berlaku di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara tersebut. Meskipun, ia setuju saja jika panduan itu diterapkan di sini. Hanya saja, butuh pembahasan mendalam.

Namun demikian, sejak lama ia telah menyarankan kepada para pelatih agar tidak mengajarkan teknik itu ke anak-anak di bawah usia 12 tahun.

Selain karena secara fisik belum mumpuni, juga bisa menimbulkan trauma.

"Usia-usia itu kalau kita berikan hal-hal yang bikin trauma, akhirnya kita kehilangan potensi (pemain sepakbola) jadinya. Contoh, ada anak bagus disuruh latihan heading, sakit dia, nggak mau main bola. Siapa yang rugi?" kata Indra Sjafri kepada BBC Indonesia, Rabu (26/2).

Ia berkata, khusus anak di usia enam sampai delapan tahun cukup dikenalkan dengan permainan sepak bola. Baru ketika umur menginjak 12-16 tahun bisa diajari teknik menanduk bola atau heading. Itupun, bola khusus anak-anak.

"Bisa pakai bola yang tidak keras, karena yang diajari kan tekniknya saja."

Seperti Apa Sekolah Sepakbola di Indonesia?

Manajemen Sekolah Sepak Bola (SBB) Camp 82 Jakarta, Rahmawati, mengatakan gaya menanduk bola tidak lagi diajarkan untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun sejak ada larangan di berbagai negara, dan lahirnya Filosofi Sepak Bola Indonesia (Filanesia) oleh PSSI, dan dituangkan dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia pada November 2017.

Dalam kurikulum itu dikelompokkan beberapa fase latihan berdasarkan umur.

Untuk anak-anak usia enam sampai sembilan tahun disebut sebagai fase pengenalan, lalu fase pengembangan skill di rentang usia 10 sampai 13 tahun. Terakhir usia 14 sampai 17 tahun merupakan fase permainan.

"Dulu kan belum ada larangan, tapi karena ada perkembangan baru distop. Kalau dulu-dulu justru lebih keras latihannya daripada yang sekarang," kata Rahmawati kepada BBC.

Di bawah naungan sekolah ini, ada 150-an anak yang dididik oleh lima pelatih profesional.

Ratusan anak itu kebanyakan berusia 12-13 tahun dan mulai diajari penguasaan bola.

Sedangkan untuk anak umur lima sampai 12 tahun hanya dikenalkan pada permainan sepakbola.

"Kalau 12 tahun, kita asumsikan dia sudah paham teknik dasar jadi sudah main ball possession." (bbc.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home