Loading...
OPINI
Penulis: Samsudin Berlian 11:00 WIB | Kamis, 13 Oktober 2016

Pakai

Kata “pakai” yang biasa-biasa saja tiba-tiba kini diributkan akibat panasnya suhu menjelang Pilgub DKI Jakarta yang masih tahun depan itu. Apa sebenarnya maknanya?

SATUHARAPAN.COM - Tidak ada yang luar biasa pada makna kata pakai pada dirinya sendiri. Akan tetapi, ketika “pakai” dipakai di dalam kalimat tertentu, ternyata bisa sangat menghebohkan. Misalnya, bandingkan dua kalimat yang, anggap saja, dinyatakan oleh A sebagai berikut: “S dibohongi koran” dan “S dibohongi pakai koran”.

Pada kalimat pertama, A berkata bahwa koran itu sendiri isinya bohong. Kesimpulan logisnya, pengasuh koran, yakni penulis, penyunting, dan atau pemilik, bohong. A menuduh pengasuh koran membohongi S. 

Bantahan terhadap kalimat itu bisa diajukan dalam berbagai jalur pikiran. Mungkin yang terjadi bukan pembohongan, melainkan kekeliruan. Telah terjadi kesalahan manusiawi, ketidaksengajaan. Atau mungkin pula penulis koran itu sendiri telah dibohongi, tidak tahu telah menyebarkan kebohongan. Jadi, pengasuh koran itu sendiri bernasib sama seperti pembacanya, korban kebohongan. Mungkin koran itu salah cetak. Dalam hal ini, mungkin si pencetak bohong, atau terjadi kesalahan manusiawi dan tidak ada yang bohong. Atau mesin cetaknya sudah amburadul, sehingga huruf dan kata terbalik-balik.

Di luar itu, bisa pula dipertanyakan dua hal. Pertama, benarkah tuduhan A itu. Mungkin A itulah yang keliru, koran itu tidak bohong atau keliru. Mungkin A sendiri yang bohong dengan berteriak bohong. Kedua, apakah S memang merasa dibohongi. Mungkin A melihat sesuatu yang sebetulnya tidak dirasakan S. Untuk mendalami kedua hal ini perlu penyelidikan terhadap fakta dan atau pendapat di luar kalimat, jadi tidak kita bahas di sini.

Pada kalimat kedua, A berkata bahwa ada suatu pihak, katakanlah P, berbohong, dan kebohongan itu disampaikan dengan memanfaatkan alat berupa koran. Yang dituduh adalah P. Isi koran itu sendiri tidak dipermasalahkan, apakah benar atau bohong. Tidak ada keraguan atau kerancuan semantik apa pun di sini. 

Tetapi mungkinkah, apabila ditafsirkan lebih teliti, bisa diartikan bahwa A telah juga menuduh bahwa koran itu tidak benar? Dengan kata lain, agar P bisa memakai koran sebagai alat kebohongan, haruskah koran itu sendiri berisi kebohongan? Tentu saja tidak. Hanya orang mahalugu, walaupun mungkin memiliki gelar melebihi Samsung yang sudah S7, yang dengan jujur bisa berkesimpulan demikian. Pengalaman manusia sehari-hari membuktikan bahwa kebenaran dan kemuliaan bisa dipakai untuk tujuan hina dan jahat. Misalnya, kalimat “pejabat memanfaatkan partai politik untuk membohongi rakyat” tentulah tidak berarti keberadaan dan fungsi partai politik—pilar demokrasi itu—buruk.

Bagaimana dengan penafsiran orang yang mendengar kalimat itu? Pemahaman seseorang atas suatu pernyataan tidak hanya ditentukan semantika. Latar belakang sering kali lebih menentukan. Ras, agama, pendidikan, asal geografis, lingkup pergaulan, tradisi, uang, cita-cita, harapan, kekuasaan, keuntungan, hasrat, nafsu, kiblat politik, semua ini dan banyak lagi membentuk apa yang pada diri seseorang biasa kita sebut bias. Jadi, penilaian orang  terhadap pernyataan A pada akhirnya bukan ditentukan semantika melainkan perasaan atau bias orang itu, dan setiap orang berhak atas biasnya sendiri. Yang menuntut kebenaran semantik obyektif dan analitis adalah penilaian ilmiah dan yudisial.

Kalimat itu sebetulnya tidak menyebut P. Jadi, pihak yang berreaksi terhadap kalimat A bisa memiliki 1.001 motivasi dan bias. Mungkin P merasa tertuduh, dikatai bohong padahal tidak. Atau P marah, kebohongannya dibongkar. Mungkin P iseng, makin heboh makin senang. Atau P ingin mengadudomba A dengan pengasuh dan atau pembaca koran sebagai cara pembelaan diri. Walaupun dia tahu bahwa yang dikatai sebetulnya adalah dirinya sendiri saja, bukan korannya, dia berseru keras bahwa yang dilecehkan adalah koran atau isi koran, supaya bertikailah pengasuh dan pembaca koran dengan A. Dengan demikian P menghindar dari tuduhan sekaligus menjadi pahlawan pembela korban pelecehan dan penjunjung kepentingan umum pembaca koran. 

Atau P merasa dialah penulis, penyunting, atau pemilik koran, walaupun bukan. Jadi, ketika dia merasa dituduh bohong, dia delusional merasa korannya itulah yang dituduh. “Ge-er” gitu lho.

 

Penulis suka pakai semantika

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home