Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:13 WIB | Rabu, 14 Desember 2016

Pakar Gambut Minta PP 57/2016 Direvisi

Ilustrasi : pengelolaan lahan gambut berkelanjutan untuk tumpangsari karet dan nanas di Kalimantan Tengah oleh Balai Penelitian Pertanian. (Foto: balingtan.litbang.pertanian.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kalangan pakar yang terkait pengelolaan lahan gambut, meminta Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2016, tentang perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Hal itu mengemuka, dalam forum group discussion (FGD) pakar gambut dari Himpungan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Himpunan Gambut Indonesia (HGI), Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) serta Badan Penilitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian di Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/12).

Terbitnya PP Nomor 57/2016,  dinilai berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan ketahanan pangan, sosial, ekonomi, politik dan keamanan kawasan budi daya.

"Perubahan PP 71/2014 menjadi PP No. 57/2016, secara substansial tidak menjawab persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya berkelanjutan. Padahal sebagian areal gambut berpotensi untuk budi daya berkelanjutan," kata Sekjen HITI Usnaini.

Menurut dia, PP No. 57 tahun 2016, lebih menguatkan upaya konservasi lahan gambut, sementara usaha-usaha budi daya yang sudah dilakukan petani, pekebun, masyarakat maupun dunia usaha dilemahkan.

Upaya konservasi, katanya, sangat diperlukan tetapi potensi budi daya berkelanjutan harus terus dikembangkan, mengingat kebutuhan lahan budi daya berkelanjutan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat seperti pangan dan lapangan kerja.

Sekjen HGI Dr Ir Suwardi, MSc menilai, munculnya PP No. 57 tahun 2016, tak bisa dilepaskan dari campur tangan pihak asing yang ingin melemahkan perkebunan kelapa sawit nasional, serta sektor kertas yang lebih berdaya saing di pasar internasional.

Industri sawit dalam negeri, tambahnya, mampu memproduksi minyak sawit mentah sekitar 4 ton/ha/tahun, sedangkan produksi minyak nabati negara lain hanya 0,5 ton/ha/tahun.

Begitu juga produksi kayu akasia, sebagai bahan baku kertas di Indonesia untuk menghasilkan 120 ton/ha hanya perlu waktu lima tahun, sedangkan di negara-negara Eropa membutuhkan waktu tanam hingga 25 tahun.

"Oleh karena itu kalau PP No. 57/2016 ini diterapkan, akan habis potensi ekonomi yang dihasilkan dari industri sawit serta kertas. Begitu juga usaha budi daya pangan yang dilakukan petani maupun pekebun akan habis," katanya.

Suwardi mengatakan, gambut harus dikelola secara seimbang yakni antara konservasi dan budi daya sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

Pakar gambut IPB Dr Basuki Sumawinata, Senin (12/12) mengatakan, salah satu revisi yang telah diusulkan kalangan akademisi sejak lama terkait ketinggian muka air 0,4 m yang berpotensi mematikan budi daya komoditas unggulan seperti sawit dan akasia.

"Pemerintah seharusnya merevisi penetapan batas muka air gambut paling rendah 0,4 m dari permukaan gambut.Ketentuan itu tidak tepat karena kerusakan gambut tak bisa hanya sekadar diukur dari tinggi rendahnya muka air," katanya.

Sebagai solusi, katanya, pihaknya menyarankan agar ketinggian muka air 0,4 direvisi menjadi rentang misalnya pada 0,6-0,8 m.

Sebaiknya muka air dipertahankan pada ketinggian 0,6-0,8 m, untuk memperlambat subsidensi. Apalagi, saat ini banyak kawasan gambut telah beralih fungsi menjadi permukiman dan perkotaan.

Padahal, jika mengacu ketentuan tersebut, sekitar 30 persen dari kawasan hidrologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budi daya.

Basuki berpendapat, kriteria baku ke gambut juga bisa dipakai sebagai pengganti tinggi muka air. Gambut dikatakan rusak atau hidrofobik jika tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Kriteria ini dilengkapi nilai rerata kadar air kritis terjadinya hidrofobisitas.

"Oleh karena itu PP 57/2016 itu, perlu ditinjau kembali terutama yang terkait dengan kriteria lahan gambut rusak dengan muka air tanah lebih dalam dari 40cm dan kriteria lahan berpirit (Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut, zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau),” katanya.

Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia Supiandi Sabiham menilai, pengaturan pada PP No. 57/2016 berkaitan dengan areal budi daya, namun tidak mempertimbangkan aspek budi daya pertanian.

"Terbitnya PP ini berpeluang dan berdampak luas di kawasan budi daya yang akhirnya menimbulkan berbagai persoalan," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya akan mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap PP tersebut dan berharap agar lebih berpihak ke semua pemangku kepentingan.

Ketua Peragi Baran Wirawan mengatakan, sudah banyak varietas tanaman pangan untuk lahan gambut yang sudah dilepas Kementerian Pertanian.

Selain itu, dengan teknologi lahan gambut juga dapat dimanfaatkan untuk sumber penghidupan petani, pekebun serta masyarakat sekitar tanpa melanggar konservasi.

Untuk itu, kalangan pakar juga siap menyusun revisi atas PP No. 57/2016 agar pemanfaatan lahan gambut dapat mendukung pencapaian swasembada pangan. (Ant)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home