Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 17:13 WIB | Sabtu, 28 Maret 2015

Pakar: Larangan Jual Bir Bermuatan Politik Sektarian

Ribuan botol beralkohol dikumpulkan di dekat sebuah masjd (tampak di kejauhan) untuk dihancurkan, sebagai bagian dari operasi Polri sepanjang Ramadhan (Foto:Adek Berry/AFP/Getty Images)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kebijakan Kementerian Perdagangan yang melarang penjualan minuman beralkohol, termasuk bir di minimarket mulai pertengahan bulan ini, ditengarai sarat dengan muatan politis sektarian. Kebijakan itu juga dianggap bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pariwisata.

Muhammad Ali, profesor studi Islam di University of California, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengaitkan munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi.

"(Kebijakan) ini adalah penerapan hukum Syariah secara perlahan  tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional," kata Muhammad Ali, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale Sales , kemarin (27/3).

Bagi kalangan pers Barat Indonesia sesungguhnya dipandang sebagai negara yang moderat dalam menerapkan hukum Syariah, paling tidak dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Asia Selatan.  Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah koalisi dari partai-partai nasionalis dan partai Islam moderat. Pengecualian hanyalah di Aceh, yang menerapkan versi hukum Syariah yang berbeda.

Kendati demikian, Bloomberg mencatat sejak tahun 1990-an, sejumlah pemerintah daerah telah  mengeluarkan sejumlah peraturan yang bernuansa Syariah yang sasarannya adalah minuman beralkohol disamping peraturan tentang cara berpakaian yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.

Menurut Michal Buehler, pengajar studi Perbandingan Politik di School of Oriental and African Studies University of London, implementasi regulasi yang melarang penjualan bir di minimarket tersebut lebih merupakan peraturan tambal sulam dan  diselubungi oleh praktik berbau suap.

"Ini murni politik simbol," kata dia. "Apa yang Anda lihat sedang terjadi adalah adanya kelompok yang senang main hakim sendiri sedang memperalat hukum untuk mengumpulkan kekuasaan agar terpusat di tangan mereka dan menghancurkan berbagai tempat. Itu yang membuat masalahnya jadi problematis," tutur dia. Buehler tidak menyebut nama kelompok dimaksud.

Memukul Bisnis dan Turisme

Larangan menjual bir di minimarket tersebut datang setelah kampanye masif di media sosial oleh sekelompok antialkohol yang didukung oleh aktivis Islam. Dalam penjelasannya, Peraturan Menteri Perdagangan menyatakan bahwa tujuan dari kebijakan ini adalah melindungi moral dan budaya masyarakat.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tersebut, melarang semua minimarket di seantero Nusantara menjual minuman beralkohol di bawah 5 persen, termasuk bir. Penjualan minuman beralkohol golongan A hanya boleh dilakukan oleh supermarket atau hipermarket. Aturan tersebut ditandatangani pada 16 Januari, sehingga apabila berlaku tiga bulan kemudian berarti sudah harus diterapkan pada 16 April ini.

Walau kalangan dunia bisnis tidak terlalu konfrontatif menanggapi larangan ini, dapat dipastikan tidak diperbolehkannya bir diperjual-belikan di minimarket dan jaringan toko tradisional lainnya akan memukul penjualan perusahaan bir.

"Kehilangan saluran penjualan ini merupakan penurunan penjualan yang besar bagi produsen bir besar," kata Yulia Fransisca, analis pada Euromonitor International. "Pemerintahah akan terus ditekan untuk membuat larangan lebih banyak terhadap alkohol oleh kelompok Islam di negara ini," lanjut dia.

Data Euromonitor menunjukkan penjualan bir tahun lalu meningkat 11 persen. Produsen utamanya, antara lain PT Multi Bintang Indonesia dan Diego Plc, mendistribusikan produknya melalui pihak ketiga. Tahun ini harga saham Multi Bintang turun hampir 20 persen, pada saat indeks di Bursa Efek Indonesia justru naik tiga persen.

Menurut  Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minuman mengandung Etanol indonesia, Charles Poluan, munculnya kebijakan ini tanpa melalui proses konsultasi dengan pelaku industri.

"Toko tradisional merupakan tulang punggung dari saluran distribusi bir di daerah yang luas dari Indonesia," kata Poluan. Ia mengatakan sudah berusaha bertemu dengan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel untuk membahas larangan tersebut, tetapi tidak berhasil.

."Kami belum bisa menentukan seberapa parah itu akan mempengaruhi kita secara ekonomi. Gambarannya terlalu mengejutkan," tutur dia.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menyayangkan keluarnya aturan ini. Sebab, jamak di daerah-daerah wisata seperti Bali, minimarket bebas menjual bebas minuman beralkohol. "Pebisnis ritel mengandalkan jualan minuman beralkohol untuk melayani kebutuhan turis asing," ujar Tutum sebagaimana dikutip Kompas.

Ia menyarankan pemerintah  mengembalikan aturan atas perdagangan minuman beralkohol. Permendag sebelumnya, yaitu Permendag No 20/M-DAG/PER/2014,  membolehkan minimarket dan pengecer menjajakan minuman alkohol tipe A. Syaratnya: mereka wajib mengajukan Surat Keterangan Penjual Minuman Golongan A (SKP-A). Selain itu minimarket hanya boleh menjual minuman beralkohol ke pembeli berusia di atas 21 tahun.

Bali Menolak

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel menegaskan bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi generasi muda dari kerusakan moral. "Kita tidak ingin investasi merusak anak-anak muda kita," kata dia.

"Saya tidak peduli apakah investor akan menjadikan saya musuh mereka. Saya hanya tertawa saja. Pariwisata tidak ada masalah. Apakah kita mau melindungi warga Indonesia atau wisatawan?" tanya dia.

Di mata investor, sikap ini dianggap kontras dengan upaya Presiden Joko Widodo yang ingin mempromosikan pariwisata, termasuk dengan rencana meningkatkan penerimaan negara dari pariwisata hingga mencapai US$ 1 miliar dan membebaskan visa bagi 45 negara, termasuk AS, Tiongkok dan Jepang.

Bali, sebagai salah satu daerah wisata yang paling banyak dituju di Indonesia, telah melancarkan protes atas larangan ini. "Orang asing senang minum sewaktu mereka di sini," kata Kepala Dinas Kepariwisataan Provinsi Bali, A.A. Gede Yuniartha Putra.

"(Larangan) ini akan secara serius mempengaruhi pariwisata. Kami ingin dikecualikan dari larangan ini. Jika tidak, kami pun tidak akan mematuhinya."

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home