Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:21 WIB | Rabu, 27 Maret 2019

Pakar: Tuberkulosis Bisa Dienyahkan Tahun 2045

Seorang petugas kesehatan merawat pasien TB di sebuah klinik di KwaZulu Natal, Afrika Selatan . (Foto: Voaindonesia.com)

PARIS, SATUHARAPAN.COM – Kalangan pakar internasional mengatakan, dunia bisa memberantas TB sampai pada tahun 2045 jika perang melawan penyakit pembunuh itu didanai dengan layak. Lebih lanjut mengenai hal ini disampaikan Karlina Amkas dalam info sains dan kesehatan VOA Indonesia.

Memperingatkan besarnya kerugian ekonomi dan sosial akibat ketiadaan tindakan, tim pakar internasional mengatakan, pemeriksaan, perawatan, dan kesadaran masyarakat yang lebih baik dibutuhkan untuk menurunkan lebih dari 10 juta kasus tuberkulosis atau TB yang tercatat setiap tahun.

TB, penyakit paru kronis yang bisa dicegah, dan umumnya bisa diobati jika diketahui dini, adalah penyakit menular yang paling mematikan pada zaman ini, dengan lebih 1,6 juta kematian setiap tahun.

Kepada kantor berita AFP, utusan khusus PBB untuk penyakit itu, Eric Goosby, mengatakan pada Rabu (27/3), "Jumlah itu sangat besar dan beban ekonomi baik bagi negara berkembang maupun maju sangat berat. Tak sulit mencernanya, ini sangat masuk akal. Kita perlu memulai strategi pencegahan baru.”

Tuberkulosis sudah ada ribuan tahun dan, tanpa disadari, diidap sekitar seperempat populasi dunia. Dalam satu abad ini, belum tersedia secara komersial vaksin baru TB.

Satu tim pakar dari 13 negara, yang menulis dalam jurnal sains The Lancet, mengatakan dana penelitian dan pengembangan akan perlu dikalikan empat menjadi sekitar 3 miliar dolar (Rp42 triliun) per tahun jika penyakit tersebut hendak ditangani dengan baik.

Di India saja, dengan satu dari tiga kematian global akibat TB, menyediakan akses yang lebih baik ke pengobatan, dan menarget komunitas berisiko untuk pemeriksaan bisa mengurangi kematian hampir sepertiga dengan pengeluaran tahunan sebesar 290 juta dolar (Rp4,1 triliun).

Bandingkan dengan kerugian ekonomi 32 miliar dolar (Rp454 triliun) setiap tahun, termasuk biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas terkait tuberkulosis.

Paula Fujiwara, direktur sains di The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease mengatakan, “Kunci sebenarnya adalah kita akan membutuhkan lebih banyak penelitian dan alat baru. Jika menggunakan alat yang ada saat ini, tidak akan cukup. Tujuannya adalah memberantas tuberkulosis tetapi penurunan saat ini hanya 1,5-2 persen per tahun.”

Kajian yang terbit di Lancet mengatakan, bahkan jika obat yang ada saat ini diberikan kepada 90 persen pengidap TB, 800.000 orang masih akan meninggal akibat ketidak-efisienan dan kesenjangan dalam diagnosis.

Rangkaian terobosan dalam beberapa bulan ini memberi harapan kepada pasien.

Oktober lalu, obat baru untuk jenis tuberkulosis yang kebal obat, menyembuhkan 80 persen penderita di Belarus. Hasil yang sama juga didapati ketika obat yang sama diberikan kepada penderita di negara-negara lain yang mempunyai kasus tinggi TB.

Sebulan sebelumnya, raksasa perusahaan obat GlaxoSmithKline mengungkap hasil kajian yang menunjukkan bahwa vaksin baru ampuh pada 54 persen peserta uji coba.

Secara paralel, menurut kalangan dokter, metode baru pengujian bisa membantu mengurangi kematian anak Balita, sebanyak 240.000, akibat tuberkulosis setiap tahun.

Kajian pada Lancet itu menyebutkan, mengurangi kematian akibat tuberkulosis menjadi tidak sampai 200.000 setahun akan menelan biaya sekitar 10 miliar dolar (Rp142 triliun) per tahun.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home