Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 19:09 WIB | Senin, 09 April 2018

Papua Nugini Persoalkan Kewarganegaraan Djoko Tjandra

Mantan Menlu Papua Nugini, Ano Pala, yang direkomendasikan diperiksa atas pemberian kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra yang dinilai melanggar hukum. (Foto: radionz.co.nz)

PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM -  Komisi Ombudsman Papua Nugini (PNG) merekomendasikan  penyelidikan terhadap pemberian kewarganegaraan PNG kepada buron kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra, enam tahun lalu.

Hal ini diberitakan oleh Papua New Guinea Today, hari ini (09/04).

Dalam laporan yang diajukan ke Parlemen, Komisi Ombudsman merekomendasikan agar mantan Menteri Luar Negeri, Ano Pala, dan mantan Kepala Kantor Imigrasi, Mataio Rabura, (telah meninggal) diselidiki atas pemberian kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra pada tahun 2012. 

Laporan itu telah diberikan kepada Ketua Parlemen, Job Pomat pekan lalu oleh Plt Kepala Komisi Ombudsman, Michael Dick dan komisioner Richard Pagen.

Sedangkan pengajuan pembahasannya dilakukan oleh Plt Ketua Parlemen, Jeffery Komal. Pembahasan akan dilakukan besok, Selasa (10/04).

Djoko Tjandra, sebelum menjadi warga negara PNG melalui proses naturalisasi, merupakan buronan atas dugaan keterlibatannya atas kasus korupsi transaksi cessie Bank Bali.

Pada 11 Juni 2009, Majelis Hakim Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan mengabulkan PK kasus Djoko Tjandra, menjatuhkan hukuman penjara dua tahun, membayar denda Rp15 juta dan uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Tetapi Djoko Tjandra telah melarikan diri ke PNG dua hari sebelum vonis tersebut dijatuhkan.

Dalam laporannya, Komisi Ombudsman merekomendasikan agar Pala diselidiki atas pelanggaran aturan pemerintah sedangkan Rabura direkomendasikan diperiksa karena membantu memfasilitasi penerbitan paspor Djoko Tjandra dengan nama baru, Joe Chan.

Baca Juga: Keluarganya Bertemu Jokowi, Djoko Tjandra Akui Kekayaannya di PNG

 


Laporan ini juga mengungkapkan keterlibatkan mantan pejabat Kepala Migrasi, Joseph Nobetau, dan mantan direktur urusan visa, Delilah So'osane, karena menerbitkan dua surat perjalanan bisnis untuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 2009 untuk Djoko Tjandra.

Laporan komisi menemukan bahwa undang-undang dan peraturan yang mengatur pengeluaran izin masuk termasuk izin jangka panjang (izin tinggal permanen), pemberian kewarganegaraan dengan naturalisasi dan penerbitan paspor PNG, tidak dipatuhi.

Laporan itu menemukan ketidakberesan pada Otorias Keimigrasian dan Layanan Kependudukan, Komite Penasihat Kependudukan dan pada Menlu Pala sendiri.

Lebih rinci, laporan Ombudsman tersebut meliputi hal-hal:

* Penerbitan dua izin surat perjalanan bisnis APEC untuk Doko Tjandra pada Februari dan Juni 2009;
* Persetujuan yang tidak tepat dan melanggar hukum dalam pemberian izin tinggal permanen kepada Djoko Tjandra;
* Penyalahgunaan kekuasaan oleh Menteri Luar Negeri Ano Pala dalam menjalankan kekuasaan diskresinya menurut pasal 20 dari Undang-Undang Migrasi PNG
* Perilaku yang tidak benar dan melanggar hukum oleh Pala dalam memberikan kewarganegaraan kepada Tjandra;
* Ketidakpatutan dan melawan hukum dalam penerbitan paspor PNG No B328500 kepada Djoko Tjandra oleh Rabura dan peawai Imigrasi.
* Penerbitan yang tidak layak dan melanggar hukum paspor no C116701 kepada Joe Chan, yang bertentangan dengan peraturan tentang paspor, oleh Rabura dan pegawai Imigrasi.

Komisi Ombudsman mengatakan Otoritas Layanan Imigrasi dan Kependudukan telah gagal memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepada mereka oleh Negara. 

Lebih jauh, laporan Komisi Ombudsman juga mempertanyakan mengapa mantan Hakim Agung dan Jaksa Agung Ano Pala tetap memberikan kewarganegaraan Djoko Tjandra, padahal otoritas PNG lainnya memberi saran sebaliknya.  

Dikatakan Tjandra telah melakukan perjalanan ke PNG dengan penerbangan carteran pada 9 Juni 2009, dua hari sebelum vonis MA jatuh.

Laporan itu mengatakan Pala menyetujui permohonan Tjandra dan memberinya kewarganegaraan dengan naturalisasi karena mengetahui bahwa Tjandra "tidak memenuhi persyaratan konstitusional".

"Menteri juga mengabaikan saran oleh Badan Keamanan Nasional, Organisasi Intelijen Nasional, Polisi PNG dan Interpol bahwa pemohon Joko Tjandra memiliki catatan  buruk," kata laporan itu.

"Nama (Djoko Tjandra) ada pada red notice Interpol dan dicari sebagai buronan oleh pemerintah Indonesia."

Komisi Ombudsman mengatakan Indonesia telah meminta PNG untuk mengekstradisi Tjandra untuk menjalani hukuman penjara dua tahun, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi.

Laporan itu mengatakan Tjandra memperoleh paspor PNG pada 4 Mei 2012 dengan nomor paspor B328500.

Pada 7 Mei 2012, ia mengajukan permohonan paspor lain yang kemudian disetujui, dengan nomor B330971 atas nama Joe Chan.

Terkenal di Papua Nugini

Djoko Tjandra cukup terkenal di Papua Nugini. Ia memiliki jaringan yang luas dengan para pejabat setempat.

Pada tahun 2015 lalu, nama Djoko Tjandra menjadi berita di PNG berkat kehadiran kerabatnya pada jamuan makan malam untuk Presiden Joko Widodo di Port Moresby. Kompas memberitakan, adik buronan kasus Bank Bali itu bersama seorang kerabatnya, menemui Presiden Joko Widodo di tengah jamuan malam kenegaraan bersama Perdana Menteri PNG, Peter 0'Neill di Gedung Parlemen, Port Moresby,  Senin (11/5/2015).

Kompas memberitakan kerabat Djoko Tjandra beberapa kali menghampiri meja Presiden.  Seorang pejabat Kemenlu, sebagaimana dikutip Kompas, mengatakan, tamu itu diundang oleh PM PNG, sehingga boleh-boleh saja menemui Presiden, asal tidak terlalu lama.

Djoko Tjandra memiliki hubungan dekat dengan berbagai pejabat bahkan menteri di PNG karena investasinya yang meraksasa di negara itu. Ia tetap percaya diri menjalankan bisnis di negeri itu walaupun sorotan terhadap dirinya muncul dari publik PNG sendiri.

Diantara proyeknya miliknya adalah sebuah  gedung pencakar langit senilai US$ 360 juta di Port Moresby. Dalam wawancara khusus dengan media PNG, Post Courier April 2014, Djoko Tjandra menegaskan bahwa proyek itu tetap  akan dilanjutkan walaupun Komisi Ombudsman PNG meminta pemerintah menghentikan pembangunannya.

Djoko Tjandra diberitakan berada di belakang Lands Central Ltd yang mengusulkan untuk membangun dan mengelola kompleks perkantoran 32 lantai di Waigani.

Menurut Post Courier, Djoko Tjandra yang lebih dikenal dengan nama Joe Chan selalu kembali ke Port Moresby setelah bepergian mengendalikan bisnisnya di negara-negara Asia dengan jet pribadinya.

Media tersebut menegaskan bahwa Joe Chan memiliki hubungan yang kuat dengan beberapa menteri kabinet PNG, anggota parlemen dan pemimpin departemen pemerintah. Ia juga menjalin kemitraan dengan perusahaan kina besar lainnya di PNG.

Kepada Post-Courier, media pertama yang ia layani untuk sebuah wawancara khusus, Joe Chan mengatakan walaupun ia telah berhasil melakukan bisnis di seluruh Asia, sebagian besar kekayaannya berada di PNG.

Dia mengatakan dirinya sudah berbisnis di  PNG sejak tahun 1972, dan sudah mendirikan  usaha di sana sejak kemerdekaan negara itu. Ia "bukan orang asing di negara itu" dan telah menjadi bagian dari perubahan wajah PNG, melalui bisnis keluarganya.

"Saya bukan anak kemarin sore. Saya datang ke PNG pada tahun 1972 dan saya telah berbisnis di PNG sejak itu," kata dia.

Dia mengklaim dirinya bukan buron dan namanya sudah dibersihkan di Indonesia.

"Saya warga negara PNG. Saya bukan orang jahat. Saya seorang pria tidak berbahaya dan seperti pengusaha PNG lainnya, saya layak untuk diperlakukan dengan cara yang sama," kata dia.

Ketika ditanya apa yang akan terjadi dengan Indonesia yang memperjuangkan deportasinya, ia berkata: "Saya di PNG. Saya seorang PNG. Saya melakukan perjalanan masuk dan keluar dari Singapura dan PNG tanpa masalah".

Ia menegaskan bahwa rencananya untuk membangun pabrik kina bernilai jutaan dolar dan gedung perkantoran pemerintah akan tetap berlanjut. Juga gedung berlantai  50 akan dibangun di Ela Beach serta sebuah proyek beras di Provinsi Tengah yang  terdaftar di bawah nama Naima Group yang akan diluncurkan segera.

Central Lands Ltd sendiri menempati lantai dasar Kantor Pemerintah Pusat dan memiliki izin dari Departemen Manajemen Personalia, menurut Chan.  Selama wawancara,  ia menegaskan bahwa proyek di Waigani itu akan mempekerjakan hingga 1.500 pekerja dan proyek di Ela Beach 2000-2500 pekerja.

Kepala Urusan Imigrasi PNG saat itu, Mataio Rabura,  mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah menyetujui aplikasi untuk Kartu Perjalanan Bisnis APEC terhadap pemegang paspor PNG bernomor  B330971. Rabura menambahkan Djoko Tjandra diberikan sebuah paspor baru PNG karena perjalanannya yang sering ke luar negeri dan paspor lamanya telah kehabisan halaman. 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home