Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 00:25 WIB | Minggu, 26 November 2017

Para Pemimpin Pro Papua Merdeka Berkumpul di Vanuatu

Benny Wenda, Juru Bicara ULMWP (tengah) dan Rex Rumakiek (kanan) (Foto: Vanuatu Daily Post)

PORT VILA, SATUHARAPAN.COM - Para pemimpin pro-penentuan nasib sendiri Papua dari tiga organisasi yang membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), akan bertemu di Port Vila, ibukota Vanuatu, pekan ini. Pertemuan para pentolan kelompok yang dicap separatis oleh pemerintah RI, disebut sebagai pertemuan tingkat tinggi pertama yang akan mengumpulkan mereka dari berbagai belahan dunia.

Media Vanuatu, Vanuatu Daily Post, melaporkan seharusnya acara pembukaan berupa parade berjalan kaki diadakan kemarin (Jumat, 24/11). Namun acara itu diundur menjadi hari Senin ini (27/11).

Menurut salah seorang anggota Komite Eksekutif The Vanuatu Free West Papua Association, Rex Rumakiek, penundaan ini terjadi dikarenakan terlambatnya kehadiran delegasi yang berasal dari Papua. Diperkirakan para delegasi akan tiba di Vanuatu pada hari ini (Sabtu 25/11) dan besok (26/11).

Vanuatu adalah salah satu negara basis penting bagi kelompok ini. Vanuatu bahkan dijadikan kantor pusat ULMWP, sebagaimana tertera dalam publikasi resmi mereka.

Rex Rumakiek, 80 tahun, yang juga merupakan salah seorang anggota Komite Eksekutif ULMWP, (badan kedua tertinggi dalam pengambilan keputusan di ULMWP setelah Board Committee), bercerita tentang bagaimana pentingnya arti Vanuatu bagi mereka. Ia sendiri memulai kampanye bagi penentuan nasib sendiri Papua dari Vanuatu, 40 tahun lalu.

Rumakiek mengatakan kampanye yang dia lakukan lambat laun telah tumbuh
dan berkembang di kalangan orang-orang muda Papua. Mereka ikut bergabung dan ikut mendorong kepada apa yang telah mereka capai saat ini. Ia mengklaim telah ada isyarat bahwa PBB akan mengakui hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Rumakiek mengatakan, "Saya bangga untuk memastikan bahwa meskipun terjadi berbagai perubahan, Vanuatu tidak beralih sedikit pun dari posisinya untuk berdiri bersama rakyat Papua."

Ia bercerita bahwa pada tahun 1985, Romo Lini mengundang sejumlah tokoh pro kemerdekaan Papua seperti Jeth Rumkorem (almarhum) dan  Jacob Prai ke Port Vila. Mereka diundang untuk bersatu melalui sebuah upacara perdamaian, dan kemudian bekerja sama demi kemerdekaan rakyat Papua.

Pada tahun 2000 Kongres Nasional Papua pertama diijinkan oleh Indonesia pertama kalinya diadakan di Jayapura. Setelah Kongres, Pemerintah Vanuatu mengundang para pemimpin Papua untuk datang ke Port Vila. Di sana mereka menandatangani nota kesepahaman dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang merupakan sayap militer ULMWP.

Rumakiek mengingat, "Barak Sope saat itu adalah perdana menteri dan dia berjanji akan mengundang kami bergabung dengan delegasi pemerintahnya untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB jika kami bisa bersatu di antara kami terlebih dahulu.

"Kami melakukannya, dan enam anggota delegasi berangkat dari Port Vila untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB; tiga dari Vanuatu dan tiga dari Papua. Saya adalah salah satu dari mereka.

"Pada saat itu, Perdana Menteri Barak Sope mengangkat isu perjuangan dan pembunuhan di Papua yang dilakukan oleh militer Indonesia.

"Sebagian dari pidatonya mengatakan bahwa  PBB  menyebabkan perjuangan dan kematian rakyat Papua. Dia menantang PBB untuk menemukan jalan  memecahkan masalah jika tidak ingin melihat lebih banyak lagi orang Papua  menderita dan meninggal sebelum bergerak untuk memecahkan masalah tersebut. PBB tidak menanggapi."

Ketika Serge Vohor menjadi pemimpin pemerintahan Vanuatu, dia pun mempertahankan pendirian kukuh yang menuntut pembebasan Papua.

Ketika Moana Carcasses menjadi perdana menteri, dia mendapat tepuk tangan di Papua karena pidato beraninya  di sidang Majelis Umum PBB yang meminta fokus internasional pada laporan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia terhadap rakyat Papua.

Akhirnya kelompok utama yang memperjuangkan kemerdekaan Papua  diundang ke Port Vila oleh Dewan Kepala-kepala Adat Nasional Vanuatu, yang dikenal dengan nama Malvatu Mauri, bekerja sama dengan Dewan Kepala-kepala Adat Pasifik pada tahun 2014. Mereka dipanggil untuk ambil bagian dalam sebuah upacara perdamaian bersejarah di Taman Saralana. Pertemuan bersejarah tersebut menghasilkan pembentukan Komite ULMWP.

Ada tiga kelompok utama yang menjadi deklarator berdirinya ULMWP. Ketiganya adalah West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) yang diwakili Rex Rumakiek, Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) yang diwakili oleh Edison Waromi, dan Buchtar Tabuni dari Parlemen Nasional West Papua (PNWP). Deklarasi pembentukan ULMWP disebut Deklarasi Saralana untuk Persatuan Papua.

Pada pertemuan tahun 2014 tersebut terbentuk Komite Eksekutif ULMWP yang terdiri dari Octovianus Mote sebagai Sekretaris Jenderal, Benny Wenda sebagai Juru Bicara dan tiga orang anggota Komite Eksekutif, yakni Jacob Rumbiak (NFRPB), Rex Rumakiek (WPNCL) dan Leonie Tanggahma (WPNCL). Anggota Komite Eksekutif diganti setiap tiga tahun. 

Menurut publikasi resmi ULMWP, Komite Eksekutif berfungsi sebagai eksekutif dan menjalankan operasi sehari-hari. Sedangkan kebijakan organisasi ditetapkan oleh Komite Dewan, yang keanggotaannya diisi oleh lima anggota Komite Eksekutif ditambah dengan enam anggota lainnya yang merupakan perwakilan dari tiga organisasi deklarator ULMWP. Masing-masing organisasi memasukkan dua wakilnya di Komite Dewan.

Gencarnya lobi para pemimpin pro-kemerdekaan Papua di negara-negara Pasifik telah mengundang kekhawatiran sejumlah politisi, termasuk Fadli Zon dari Partai Gerindra. Wakil Ketua DPR ini mengatakan, DPR kini sedang merancang sebuah forum parlemen negara-negara Pasifik.

Fadli Zon yang sedang dalam kunjungan ke Polandia pada Kamis (23/11), mengatakan gerakan pro-kemerdekaan Papua saat ini sudah lebih banyak menggunakan jalur diplomasi, media sosial, propaganda media, serta memanfaatkan jaringan organisasi-organisasi internasional.

"Melihat kasus Papua tersebut, saya kira seharusnya mempengaruhi pola pendekatan pemerintah dalam menangani Papua," jelas Fadli Zon, dikutip dari Tribunnews. "Karenanya, dalam pendekatannya pun harus menggunakan jalur diplomasi," lanjutnya.

Fadli mengambil contoh satu dari beberapa upaya diplomasi terkait isu Papua yang sedang dilakukan oleh DPR. Saat ini, kata Fadli, DPR sedang merancang sebuah forum regional yang akan mengundang dan mengumpulkan parlemen negara-negara Kepulauan Pasifik. "Kita harus merangkul tetangga-tetangga kita, terutama dalam hal ini adalah negara-negara Pasifik, terkait isu Papua ini," ucap Fadli Zon.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home