Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 06:10 WIB | Sabtu, 05 September 2020

PBB Serukan Pusat Penahanan Migran di Libya Ditutup

Laporan menyebutkan pusat penahanan itu melakukan pelanggaran HAM, penyiksaan dan pemerasan.
Migran Afrika tiba di pangkalan angkatan laut di ibu kota Libya, Tripoli, pada 11 Oktober 2017, setelah mereka diselamatkan dari perahu karet oleh penjaga pantai di lepas pantai Sabratha Libya. (Foto: dok. AFP)

SATUHARAPAN.COM-Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyerukan penutupan pusat penahanan migran di Libya, dan mengecam apa yang disebutnya sebagai pelanggaran hak yang dilakukan di sana.

Dalam sebuah laporan yang diserahkan pada Kamis (3/9) ke Dewan Keamanan PBB, Guterres mengatakan: "Tidak ada yang bisa membenarkan kondisi mengerikan di mana pengungsi dan migran ditahan di Libya."

"Saya memperbarui seruan saya kepada pihak berwenang Libya... untuk memenuhi kewajiban mereka di bawah hukum internasional, dan untuk menutup semua pusat penahanan, dalam koordinasi yang erat dengan entitas Perserikatan Bangsa-bangsa," katanya.

Menurut laporan Sekjen, lebih dari 2.780 orang ditahan pada 31 Juli di pusat-pusat di seluruh Libya, dengan 22% tahanan adalah anak-anak.

“Anak-anak tidak boleh ditahan, terutama ketika mereka tidak ditemani atau dipisahkan dari orang tua mereka,” kata Guterres. Dia menyerukan kepada pihak berwenang Libya untuk memastikan anak-anak dilindungi sampai “solusi jangka panjang” ditemukan.

Terjadi Pemerasan dan Penyiksaan

Sekjen PBB mengutip laporan tentang penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual dan berbasis jender di pusat-pusat penahanan tersebut, yang dilakukan oleh mereka yang menjalankan fasilitas tersebut. Dia juga menyebutkan kurangnya makanan dan perawatan kesehatan.

“Pria dan anak laki-laki secara rutin diancam dengan kekerasan, ketika mereka menelepon keluarga mereka, untuk menekan mereka agar mengirimkan uang tebusan,” tulisnya.

"Migran dan pengungsi ditembak ketika mereka berusaha melarikan diri, mengakibatkan luka-luka dan kematian," kata laporan itu, menuduh bahwa beberapa bahkan "ditinggalkan di jalanan atau semak-semak sampai mati" ketika mereka dianggap terlalu lemah untuk bertahan hidup.

Di pusat-pusat penahanan di mana senjata dan amunisi disimpan, beberapa pengungsi dan migran direkrut secara paksa, sementara yang lain dipaksa untuk memperbaiki atau mengisi kembali senjata api untuk kelompok bersenjata, katanya.

Lebih dari setahun setelah serangan udara pada Juli 2019 yang menewaskan lebih dari 50 pengungsi dan migran serta melukai puluhan lainnya di pusat penahanan dekat Tripoli, tidak ada yang dipaksa untuk bertanggung jawab atas kematian tersebut, kata Guterres.

Libya berada dalam kekacauan sejak penggulingan dan pembunuhan diktator Muammar Gaddafi pada tahun 2011 dalam pemberontakan yang didukung NATO, dengan pemerintah saingan yang bertikai berjuang untuk mendapatkan kekuasaan.

Sejak jatuhnya Gaddafi, Libya juga telah menjadi jalur utama migrasi tidak teratur dari Afrika ke Eropa, melintasi Laut Mediterania. (AFP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home