Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 15:28 WIB | Senin, 18 Juni 2018

Pdt Michel Charbonnier: Persatuan Lahir dari Cinta Kasih dan Berbagi

Ilustrasi. Berbagi dalam kebersamaan. (Foto: psycheya.info)

SATUHARAPAN.COM – Membutuhkan waktu, tetapi sidang Protestan di Italia belajar untuk hidup bersama di tengah-tengah budaya yang sangat beragam. Keyakinan pendeta bahwa kerja sama antarbudaya adalah ekspresi kesatuan Kristen, memandu prosesnya.

“Tugas saya terutama memfasilitasi proses saling mengasihi. Sebenarnya cinta kasih adalah alat utama untuk membangun persatuan,” kata Pendeta Michel Charbonnier.

Pdt Charbonnier melayani jemaat Methodist di bawah payung Union of Methodist dan Gereja Waldensian, dengan pusat pertemuan di Bologna dan Modena. Cinta kasih, menurut Pdt Charbonnier, memang sangat dibutuhkan.

Selama bertahun-tahun, orang-orang dari banyak negara, termasuk banyak orang dari Ghana, telah bergabung dalam kehidupan pertemuan kelompok di dua kota itu. Namun, ketika jumlah orang Ghana mulai meningkat sepuluh tahun lalu –sebenarnya tumbuh menjadi 100 anggota baru di Modena saja - perbedaan ukuran kedua kelompok itu dan kurangnya ruang pertemuan yang tepat membuat sulit untuk terus beribadah bersama.

Berbeda halnya dengan cerita di Bologna. Kelompok mereka sudah mapan sebagai komunitas multibudaya, yang saat ini termasuk di dalamnya orang-orang dari 23 kebangsaan. Pdt Charbonnier mengatakan, persatuan telah tumbuh dari kebiasaan berbagi cerita sambil makan dan selama pertemuan malam yang banyak, melalui program formal.

“Ini dimulai dengan menyediakan ruang bagi orang-orang untuk menceritakan kisah-kisah atau pengalaman mereka. Orang-orang dari latar belakang yang berbeda akan berkumpul untuk berbicara tentang keyakinan spiritual dan etika mereka dan tentang menjadi orang Kristen dalam konteks mereka sendiri dan seperti apa pelayanan gereja itu. Kami tidak melakukan sesuatu yang istimewa kecuali menyediakan ruang, keamanan, dorongan, dan peluang untuk mengenal satu sama lain,” Pdt Charbonnier menjelaskan.

“Berbagi cerita menyebabkan ‘cerita mereka’ menjadi milik seluruh kelompok,” ia menambahkan.

Inklusivitas Berjalan Naluriah

Pada awalnya itu merupakan kerja keras untuk menyatukan beragam orang. Itu disengaja untuk menciptakan peluang berkumpul. Namun, selama bertahun-tahun, orang-orang menjadi mengenal satu sama lain dan sekarang secara naluriah inklusif, baik itu menyangkut kegiatan diakon, atau liturgi dan musik, atau aspek lain dari kehidupan gereja.

Penyakit serius seorang anak perempuan pasangan muda Ghana adalah momen yang mengubahkan dalam pengembangan persatuan yang penuh kasih. Ketika dokter mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk anak itu, orang-orang dari latar belakang yang berbeda berkumpul di sekitar keluarga dengan cara mereka sendiri.

Beberapa percaya bahwa orang yang sakit harus dibawa ke rumah sakit. Yang lain percaya pada kekuatan doa. Ketika anak itu dirawat di rumah sakit, ada orang-orang di bawah jendela rumah sakit yang bernyanyi, menari, dan berdoa, Pdt Charbonnier mengenang. Hal itu membuka diskusi tentang keyakinan yang berbeda mengenai apa yang mengarah pada penyembuhan, katanya.

Pertanyaan tentang kekuatan doa juga menyebabkan munculnya diskusi di gereja, tentang cara berdoa yang berbeda yang terlihat dalam berbagai tradisi budaya.

“Beberapa orang menyukai keheningan, kesenyapan, dan bahkan bangku yang keras,” kata Pdt Charbonnier sambil tersenyum. “Yang lain mengatakan 'Saya perlu mengguncang-guncang tubuh saya dan meneriakkannya’.”

Seiring waktu, inklusivitas berjalan secara naluriah, dan tidak perlu sengaja dibangun. Namun, Pdt Charbonnier memperingatkan, penting untuk waspada, “Sama seperti bekerja, jika Anda berhenti bekerja, tubuh Anda tidak lagi bermanfaat.”

Mengatasi hambatan untuk persatuan memang merupakan kerja penuh cinta kasih. (oikoumene.org)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home