Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 08:34 WIB | Kamis, 24 Juli 2014

Pembentukan MKD di UU MD3, Upaya DPR Proteksi Diri

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Prof. Saldi Isra. (Foto: dok. Satuharapan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Prof. Saldi Isra, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas menilai pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), adalah upaya memproteksi tindakan-tindakan yang mereka lakukan.

“Dalam pemahaman saya, DPR yang menghilangkan BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara), kemudian membentuk MKD itu adalah upaya memproteksi tindakan-tindakan yang mereka lakukan,”  kata Saldi saat menjadi narasumber kegiatan focus group discussion UU MD3, di Paramadina Graduate School, SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (23/7).

Menurut pendapat Saldi, argumennya itu bisa dikemukakan siapapun hanya dengan penalaran yang wajar. Ibaratnya jika ada anggota DPR yang tersangkut kasus hukum, lalu jika penegak hukum yang mau memeriksanya harus minta izin ke badan yang dibentuk DPR sendiri, yang belum tentu diberikan izin. Terlebih, dalam MKD itu tidak semua partai masuk menjadi anggotanya.

Kemudian lebih jauh dia memaparkan, salah satu alasan mengajukan judicial review (sebelum UU MD3 disahkan, Red), kalau ada niat buruk yang bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan yang cukup, itu bisa menjadi alasan untuk mengajukan judicial review. Lebih kurang yang terjadi pada perubahan UU MD3 seperti itu.

Kutipan yang dikatakan Saldi dari sebuah buku tersebut akan digunakan sebagai alibi jika nantinya isu-isu yang bermasalah dalam pengerasah UU MD3 hendak dinaikkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Ada tiga poin yang telah dipetakan, pertama putusan MK yang diajukan DPD, kedua putusan MK soal peran DPR terhadap pembahasan RAPBN (terkait MKD, Red), ketiga perubahan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),” urai Saldi.

Masalah lainnya ada BAKN yang dihapus, pasal tentang penerimaan gratifikasi adalah pidana dihapus, bahkan keterwakilan perempuan juga semakin dilemahkan. Perubahan UU MD3 ini justru merupakan suatu kemunduran, kita seperti kembali lagi sebelum tahun 2009. Kalau berdasarkan catatan DPD, ada 30 poin yang tidak proporsional.

Poin lainnya termasuk mereka mengubah model pemilihan pimpinan di saat-saat menjelang hasil pemilu ditetapkan. Jelas sekali ada kepentingan politik yang lebih besar di dalamnya. Nantinya ketua DPR bukan lagi dari partai pemenang pemilu, melainkan dipilih kembali oleh anggota DPR. Hal tersebut dianggap menghentikan langkah PDIP selaku partai pemenang pemilu untuk maju mengusung kadernya sebagai ketua DPR, mengingat koalisi PDIP lebih kecil di parlemen.

“Melalui perubahan itu, katanya mereka ingin mengubah DPR menjadi lembaga yang transparan, akuntabel, dan lain sebagainya. Tapi tiba-tiba mereka menghapuskan yang namanya BAKN,” sesal Saldi.

Walaupun selama ini diakui Saldi, ada juga kritik terhadap fungsi BAKN sebagai kontrol di dalam tubuh DPR, tapi hal itu wajar. Setidaknya melalui BAKN, kita bisa tahu seberapa besar upaya DPR mengolah hasil temuan BPK untuk kemudian ditindaklanjuti.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home