Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 22:05 WIB | Kamis, 04 Februari 2016

Pemegang Saham Akui Kereta Cepat Kurang Layak Secara Finansial

Sahala Lumban Gaol (kiri) bersama Menteri BUMN, Rini Soemarno (Foto: bumn.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sahala Lumban Gaol, komisaris PT Pilar Sinergi BUMN, perusahaan yang menguasai 60 persen saham PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kurang layak (feasible) secara finansial jika hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket penumpang.

Walaupun harga tiket dibandrol Rp 200 ribu per penumpang, ia mengatakan pendapatan dari penjualan tiket tidak akan cukup mengembalikan modal yang ditanam untuk proyek ini.

"Kalau hanya berdasarkan penumpang dan tiket, memang bisa dikatakan proyek ini kurang `feasible` (layak) secara finansial," kata Sahala Lumban Gaol, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/2), seperti dilaporkan oleh kantor berita Antara.

Sahala menjelaskan modal investasi yang dibutuhkan, yakni 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 70 triliun, tidak bisa tertutupi dengan estimasi harga tiket sekitar Rp200.000 per penumpang.

"Secara `social feasibility` bagus, secara finansial tidak baik," kata dia.

Untuk mendapatkan pendapatan tambahan selain dari penjualan tiket, KCIC akan membangun kawasan terpadu di sekitar stasiun atau "transit oriented developement" (TOD). Dengan upaya ini, pengembalian modal yang terserap dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dapat terbantu.


Menurut dia,  TOD akan dikembangkan di kawasan masing-masing stasiun, yakni Karawang, Walini dan Tegal Luar. Sahala meyakini TOD tersebut bisa mendongkrak pendapatan selain dari penjualan tiket.

Pendapatan dari TOD tersebut, ia perkirakan bisa menyumbang 25 persen dari keseluruhan pendapatan.

"Prakiraan pesimistis atau `moderate` bisa kira-kira menyumbang 25 persen," kata dia.

Sahala mengatakan TOD utama akan dibangun di sekitar Walini, atau di Kecamatan Cikalong Wetan.

Di kawasan tersebut, dia menjelaskan akan dibangun "smart city" dengan mengusung tema ramah lingkungan serta berstandar internasional.

"Nantinya, akan dibuat `cluster` yang bisa mengurangi jarak tempuh pejalan kaki dan akan dibuat kawasan hiburan," katanya.

Sahala merinci TOD akan mengusung empat konsep, yakni "cluster compact development", kredit dengan bunga rendah maksimal 45 persen, zona dan bangunan hijau (green building/green zone) serta berstandar internasional.

Dia optimistis TOD akan tumbuh karena seiring dengan pergerakan manusia yang semakin meningkat.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan menyampaikan hal senada bahwa pihaknya tidak akan bisa meraup keuntungan apabila hanya mengandalkan penjuakan tiket.

"Kita juga bergerak `di belakang` trek, karena kita tidak bisa jualan kalau hanya di trek," kata dia.

Ditambah, lanjut dia, proyek tersebut murni dibiayai swasta tidak ada sama sekali kucuran dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN).

Hanggoro menyebutkan dengan adanya TOD, bisa berkontribusi pada pajak pertambahan nilai (PPN) kepada negara sebesar Rp 7 triliun selama 15 tahun.

Dia juga menyebut bahwa hasil dari pengembangan TOD untuk melunasi pinjaman dari China Development Bank sebagai modal untuk pembangunan kereta cepat tersebut.

Porsi pinjaman tersebut, yakni 63 persen, dibayar dalam dolar AS dengan bunga tetap dua persen per tahun, 37 persen yuan dengan bunga tetap 3,46 persen per tahun dan jangka waktu pengembalian 40 tahun termasuk masa tenggang selama 10 tahun.

Hanggoro sendiri sebelumnya mengatakan bisa balik modal apabila sudah beroperasi selama 40 tahun.

Proyek Properti atau Kereta Cepat?

Sebelumnya telah muncul kritik terhadap proyek ini yang mempertanyakan fokusnya. Pengamat ekonomi politik, Ichsanudin Noorsy, sebagaimana dikutip oleh berbagai media, menilai proyek kereta cepat Jakarta- Bandung hanya akal-akalan sejumlah pengusaha properti yang berada di Jakarta.

Berbeda dengan yang selama ini disebut-sebut, dalam hemat Ichsanudin proyek kereta cepat bukan berfokus pada bisnis transportasi melainkan bisnis properti.

Ia terutama menyoroti ketidakjelasan masa pengembaliannya (payback period). Dikatakan, pengembalian modal proyek ini sampai 60 tahun. Padahal, menurut Ichsanudin dalam bisnis transportasi masa pengembalian modal berkisar enam hingga tujuh tahun.

Karena itu, ia menilai proyek ini pantasnya disebut sebagai proyek properti. Apalagi Kota Baru Walini yang diklaim seluas 2.900 ha, akan hadir di sana. Menurut Ichsanudin, kalau pemerintah memang ingin membangun infrastruktur transportasi, kereta cepat seharusnya tidak untuk Jakarta-Bandung. Ia lebih menyarankan kereta cepat Anyer-Banyuwangi atau jalur transportasi Aceh-Lampung.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home