Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 13:45 WIB | Selasa, 25 Oktober 2016

Pemerintah Tanggapi Desakan OECD Soal Tax Amnesty Jilid II

Darmin mengatakan, Pemerintah Indonesia memang tidak berpikir untuk membuat kebijakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II.
Presiden Joko Widodo menerima delegasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD - Organisation for Economic Co-Operation and Development) untuk membahas bentuk kerja sama salah satunya reformasi perpajakan di Tanah Air, di Istana Merdeka, hari Senin (24/10) pagi. Presiden Jokowi didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (kedua dari kanan) dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. (Foto: BPMI Setpres)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menanggapi desakan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang berbasis di Paris, yang meminta pemerintah Indonesia tidak mengulangi atau tidak lagi mengadakan program pengampunan pajak setelah yang diselenggarakan tahun ini.

Darmin mengatakan, Pemerintah Indonesia memang tidak berpikir untuk membuat kebijakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II.

"Oh ya, memang enggak ada yang berpikir mau bikin jilid II (tax amnesty)," kata Darmin kepada satuharapan.com di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Selasa (25/10).

Sebelumnya, dalam kajiannya tentang perekonomian Indonesia yang diluncurkan pada hari Senin (24/10), The Organisation for Economic Co-operation and Development menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman sejumlah program pengampunan pajak di negara OECD, kenaikan penerimaan pajak hanya terjadi untuk sementara waktu. 

Malahan, program tax amnesty justru mendorong terjadinya penggelapan pajak di masa mendatang. Indonesia sendiri sudah pernah menerapkan pengampunan pajak tahun 1984 dan 2008.

Di bagian lain kajiannya, OECD menyoroti masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia. Hanya 10,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2015 dan 11,4 persen pada tahun 2012. Di sisi lain, OECD menilai, Indonesia memerlukan dana besar untuk memperkuat layanan publik dan karena itu diperlukan penerimaan pajak yang lebih besar.

OECD merekomendasikan agar pemerintah daerah diberikan landasan hukum untuk dapat sepenuhnya menggali potensi pendapatan mereka. Pemda selama ini sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat.

OECD juga melihat bahwa penggelapan pajak masih tinggi dan kepatuhan membayar pajak masih rendah. Dari jumlah penduduk 260 juta, hanya 27 juta wajib pajak yang terdaftar di tahun 2014 dan hanya 900.000 orang yang membayar pajak. OECD mengakui upaya di masa lalu telah menghasilkan perbaikan. Pada tahun 2008, hanya ada 10 juta wajib pajak.

OECD mendorong pihak berwenang untuk terus memperkuat administrasi perpajakan dan meningkatkan pengumpulan pajak serta upaya penegakan.

"Langkah pada tahun 2013 berupa pengenaan tarif pajak khusus yang rendah bagi UKM, yaitu sebesar 1 persen dari omzet sebagai bentuk upaya formalisasi pajak ternyata cukup berhasil. Program pengampunan pajak saat ini memberi kesempatan bagi UKM untuk membuat urusan perpajakan mereka menjadi resmi," tulis kajian OECD.

Kendati mendesak pemerintah untuk tidak lagi mengadakan program amnesti pajak, OECD menilai diadakannya program itu tahun ini adalah tepat, karena menjelang diberlakukannya Pertukaran Informasi Otomatis (Atomatic Exchange of Information -AEOI) oleh OECD dua tahun mendatang.  

Amnesti pajak saat ini, kata OECD, tepat karena memberi peluang bagi wajib pajak untuk memperbaiki ketidakpatuhan mereka sebelum standar AEOI mulai diberlakukan.

Kemarin (24/10), delegasi OECD yang dipimpin sekjennya, Angel Gurria, mengunjungi Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Mereka memberikan sejumlah rekomendasi reformasi perpajakan di Tanah Air.

OECD adalah sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara anggota yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Berawal tahun 1948 dengan nama Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC - Organisation for European Economic Co-operation), ia awalnya dipimpin oleh Robert Marjolin dari Prancis, untuk membantu menjalankan Marshall Plan, untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II.

Kemudian, keanggotaannya merambah negara-negara non-Eropa, dan tahun 1961, dibentuk kembali menjadi OECD oleh Konvensi tentang Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

Negara anggota pendiri terdiri dari Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Inggris, Bosnia dan Herzegovina, Denmark, Republik Irlandia, Islandia, Italia, Jerman, Kanada, Luksemburg, Norwegia, Prancis,  Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki dan Yunani.

Sedangkan negara yang bergabung kemudian adalah Jepang (1964), Finlandia (1969), Australia (1971), Selandia Baru (1973), Libya (1983), Meksiko (1994), Republik Ceko (1995), Korea Selatan (1996), Hungaria (1996), Polandia (1996), Slowakia (2000), Chile (2010), Slovenia (2010) dan Israel (2010).

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home