Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 10:16 WIB | Minggu, 17 Januari 2021

Pemilu Palestina di Bawah Bayang-bayang Perpecahan dan Ketidakpercayaan Rakyat

Pemilu Palestina di Bawah Bayang-bayang Perpecahan dan Ketidakpercayaan Rakyat
Pasukan keamanan yang setia pada penguasa Gaza, Hamas, memeriksa sebuah kendaraan di perbatasan Rafah dan Mesir, di Jalur Gaza selatan pada 27 September 2020. (Foto: dok. Reuters)
Pemilu Palestina di Bawah Bayang-bayang Perpecahan dan Ketidakpercayaan Rakyat
Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas. (Foto: dok. Ist.)
Pemilu Palestina di Bawah Bayang-bayang Perpecahan dan Ketidakpercayaan Rakyat
Sebuah roket diluncurkan oleh kelompok militan Palestina ke Laut Mediterania di lepas pantai Jalur Gaza pada awal latihan bersama pertama mereka, di Kota Gaza, pada 29 Desember 2020.

RAMALLAH, SATUHARAPAN.COM-Sebagian warga Palestina skeptis bahwa opemilihan umum nasional Palestina akan membawa perubahan, setelah pemilu terakhir 15 tahun lalu. Bahkan sebagian memperkirakan itu tidak kan terjadi.

Pengumuman tentang akan menyelenggarakan pemilihan umum nasional telah beberapa kali dilakukan oleh Otorita Palestina (PA), namun Palestina teris dilanda pertikaian politik, perpecahan antara tiga wilayah, dan ketidakpercayaan rakyat pada institusi mereka.

Presiden PA, Mahmoud Abbas, mengatakan pada hari Jumat (15/1) bahwa pemilihan parlemen dan presiden akan diadakan pada bulan Mei dan Juli tahun ini, dalam upaya untuk mengatasi perpecahan yang sudah berlangsung lama. Saingan utamanya, kelompok Islam militan Hamas, menyambut baik langkah tersebut.

Pengumuman tersebut secara luas dilihat sebagai isyarat yang bertujuan untuk menyenangkan Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden, di mana Palestina ingin mengatur ulang hubungannya setelah mereka mencapai titik terendah di bawah pemerintahan Donald Trump.

Kemungkinan Hasilnya Ditolak

Namun demikian, pendapat pada bulan Desember oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menemukan 52 persen warga Palestina berpendapat pemilu yang diadakan dalam kondisi sekarang tidak akan adil dan bebas.

Jika Hamas menang, 76 persen responden menganggap Fatah, partai yang dipimpin oleh Abbas, tidak akan menerima hasil tersebut, dan 58 persen responden yakin Hamas akan menolak jika kemenangan ada di pihak Fatah.

"Kami telah mengambil langkah penting tetapi jalan kami masih panjang," kata analis politik Tepi Barat, Hani Al-Masri. "Hambatan besar tetap ada dan tanpa mengatasi hambatan ini, seluruh operasi pasti akan gagal."

Pengamat Palestina mengatakan rintangan itu termasuk ketidaksepakatan antara Hamas dan Fatah, yang telah lama menjadi faksi dominan di payung Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Tidak jelas mekanisme apa yang akan diterapkan untuk memastikan pemilihan yang bebas, apakah pengamat internasional akan ikut serta, dan apakah Abbas, yang berusia 85 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang buruk, akan mencalonkan diri.

AS, Israel, dan Uni Eropa kemungkinan besar akan menolak berurusan dengan pemerintah Palestina mana pun yang melibatkan Hamas, yang ditetapkan oleh Barat sebagai kelompok teroris.

Perebutan Kekuasaan

Pejabat Israel tidak segera berkomentar dan tidak jelas apakah Israel akan mengizinkan kegiatan pemilihan berlangsung di Yerusalem Timur, seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Warga Palestina ingin menggelar pemilu di sana, begitu pula Tepi Barat dan Gaza.

"Kami memiliki alternatif lain, dan yang penting adalah orang-orang dari Yerusalem dapat ikut serta dalam pemilihan," kata Hanna Nasir, ketua Komite Pemilihan Pusat Palestina, hari Sabtu (16/1).

Pemungutan suara parlemen terakhir, pada tahun 2006, berakhir dengan kemenangan mengejutkan oleh Hamas dalam pemilihan nasional pertama mereka, menciptakan keretakan dengan Fatah yang jatuh ke dalam perang saudara ketika Hamas menguasai Gaza pada tahun berikutnya.

Gaza sekarang menjadi benteng Hamas, sementara basis kekuatan Abbas berada di Tepi Barat yang diduduki Israel.

Kedua kelompok tersebut telah gagal mencapai rekonsiliasi yang langgeng, dan janji sebelumnya untuk menyelenggarakan pemilu tidak terpenuhi. Kelompok hak asasi manusia menuduh keduanya menekan oposisi politik.

Abbas mengatakan pemilihan parlemen akan diadakan pada 22 Mei dan pemilihan presiden pada 31 Juli. Dia menang pada 2005, tapi masa jabatannya hanya berlangsung empat tahun.

Banyak Orang Palestina Skeptis.

“Mereka akan menemukan seribu alasan untuk membatalkannya, tentang Israel, perlawanan, pembagian kekuasaan, dan apa saja. Saya tidak punya harapan,” kata seorang pria Gaza, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, karena dia melanggar penguncian pandemi virus corona.

Namun Zuheir Al-Khatib, seorang dokter berusia 57 tahun dari Bethlehem, lebih bersikap optimistis. “Ini adalah keputusan yang 100 persen bagus, pantas selama lebih dari 15 tahun, jika tidak lebih. Kita seharusnya memulai sebuah negara dan dengan demikian harus memiliki demokrasi,” katanya. (Reuters)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home