Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 08:49 WIB | Kamis, 26 Januari 2017

Pemprov Papua Menang Sengketa Pajak Rp 2,3 T atas Freeport

Hakim yang memimpin persidangan sengketa pajak Pemprov Papua melawan PT Freeport Indonesia di Pengadilan Pajak Jakarta. (Foto:dispendapapua.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemprov Papua mengklaim telah memenangi sengketa pajak melawan PT Freeport Indonesia yang nilai totalnya mencapai Rp 2,5 triliun. Kemenangan itu didasarkan pada putusan yang diucapkan Majelis Hakim XVb Pengadilan Jakarta pada 18 Januari lalu.

Menurut laman resmi Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Papua, Majelis Hakim XVb yang diketuai oleh Drs Didi Hardiman Ak menyatakan menolak permohonan banding PT Freeport Indonesia untuk keseluruhan. Dengan demikian Keputusan Gubernur Papua tentang Penolakan Pengajuan Keberatan PT Freeport Indonesia dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan dinyatakan tetap sah dan berlaku.

Sebelumnya pemerintah Provinsi Papua meminta PT.Freeport untuk membayar pajak air permukaan yakni air yang digunakan PT.Freeport untuk membuang limbah konsentrat. Nilai total yang harus dibayarkan sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 jika dirupiahkan mencapai angka Rp 2,5 triliun. Adanya kewajiban pajak tersebut didasarkan pada  Peraturan Daerah Provinsi Papua nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah.

Dalam proses persidangan terungkap bahwa PT. Freeport Indonesia menolak membayar Pajak Air Permukaan tersebut. Freeport melalui kuasa hukumnya, sebagaimana dilansir dari wartaplus.com, mendasarkan penolakan pada  Kontrak Karya (KK) tahun 1991 dan Perda no.5 Tahun 1990.

Bila mengacu pada ketentuan pasal 13 huruf X Kontrak Karya jo pasal  13 ayat 10, pihaknya hanya wajib membayar pungutan pungutan pajak dan biaya lainnya yang dikenakan pemerintah Daerah Papua sebagaimana Kontrak Karya yang telah disetujui oleh pemerintah Pusat.

Freeport juga  mengacu pada pasal 18 ayat 2 KK, yang memberikan kepada perusahaan itu hak membangun fasilitas di areal eksplorasi. Selain itu, ketentuan pasal 4 menyebutkan, Freeport juga berhak untuk mengambil dan menggunakan kayu, batu sedimen air dan lainnya yang berada di wilayah kontrak karya.

Sementara itu Pemprov Papua  mendasarkan argumennya atas Kontrak Karya yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991, Perda Nomor 5 Tahun 1990 telah diubah dengan Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Irian Jaya Nomor 17 Tahun 1998 Tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Wilayah-wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Paniai. Selanjutnya diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Provinsi Papua, dan terakhir dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Selanjutnya disebut UU PDRD), Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.

“Dengan demikian peraturan daerah yang berlaku dalam pengenaan dan perhitungan tarif pajak daerah adalah Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, dengan segala turunannya berupa peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. Hal ini menjadi jelas bahwa peraturan daerah yang berlaku terhadap pengenaan pajak daerah dalam sengketa ini bukanlah Perda Nomor 5 Tahun 1990 pada saat KK ditandatangani tetapi Peraturan Daerah  Nomor 4 Tahun 2011,” ujar Setiyo Wahyudi SE.MM selaku perwakilan Terbanding/Pemprov Papua, dilansir dari wartaplus.com.

Dalam sidang juga terungkap adanya perbedaan penghitungan volume debit air yang digunakan untuk membantu pembuangan tailing. Pemprov Papua mengklaim berdasarkan perhitungan volume sir yang dimanfaatkan adalah seluruh debit Sungai Aghawagon – Sungai Otomona sekitar 115 m3/det (Berdasarkan rata-rata hasil pengukuran debit harian di Jembatan Otomona Tahun 2011 sd 2015). Sementara Freeport mencatat debit air hanya 61,79 m3/detik. Dengan volume ini, Freepot menyatakan tetap dapat mengalirkan air ke tempat penampungan tailing. Disini, pemohon banding melakukan pengukuran di berbagai tempat sementara terbanding hanya mengambil sampel di satu tempat.

Sidang sengketa pajak ini telah berlangsung sejak Desember 2015. Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Drs.Didi Hardima. AK didampingi Hakim Anggota Dr.Triyono Martanto AK.MM,MH, dan Redno Sri Rejeki SE.MAFIS.

Belum ada komentar resmi dari PT Freeport Indonesia dan Ditjen Pajak atas putusan ini.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home