Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 14:22 WIB | Sabtu, 25 April 2015

Pendeta dan Imam di Mesir Bangun Budaya Damai

Di tengah konflik sektarian, umat Kristen dan Muslim di Mesir tetap berusaha membangun kerja sama dan perdamaian. Tampak umat Muslim menjaga sebuah gereja ketika kerusuhan meletus oleh protes kelomok Ikhwanul Muslimin pada 2013. (Foto: ist)

KAIRO, SATUHARAPAN.COM – Al Azhar Mesir dan Gereja Koptik bekerja sama untuk membangun budaya koeksistensi dan damai di sekolah di Mesir. Pendeta dan Imam di Provinsi Minya, Mesir, di mana 21 orang warga Gereja Koptik dipancung oleh ISIS awal tahun ini, meluncurkan inisiatif kegiatan tersebut.

Kegatan itu didukung oleh Imam Al Azhar, Ahmad al-Tayyeb, dan Patriark Tawadrow II dari Gereja Koptik. Para pemimpin kedua agama itu akan bertemu dengan pada siswa untuk mendorong budaya toleransi dan menghormati di antara orang-orang dari agama yang berbeda.

Seperti dilaporkan Christian Today, para imam semuanya terkait dengan Universitas Al Azhar di Kairo, sebuah lembaga yang disegani dan pusat teologis Islam Sunni di dunia. Imam besar Al Azhar sebelumnya mengutuk ideologi yang dianut ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), dan  menggambarkan ide-ide mereka sebagai "penyimpangan dari agama Islam".

Uskup Agung Gereja Koptik Minya, Anba Botros Fahim Awad, mengatakan bahwa sebuah badan antar-agama yang disebut 'Rumah Keluarga Mesir' didirikan tahun lalu, tetapi telah mengalami revitalisasi beberapa kali sebagai saran untuk mencegah dan mengurangi konflik sektarian.

Dia mengkawatirkan bahwa sebuah "kebangkitan sektarianisme" akan membahayakan persatuan nasional.

Secara total, ada 40 imam dan pendeta yang merupakan bagian dari inisiatif itu, dan diharapkan bahwa hal itu bisa dikembangkan di seluruh Mesir.

Seperti banyak diberitakan bahwa sebuah video yang dirilis oleh ISIS pada bulan Februari yang menunjukkan 21 pria dipenggal oleh militan ISIS di Libya yang tampil dengan mengenakan topeng. Video itu diberi judul"Orang Kristen, Para Pengikut Gereja Mesir".

Kebrutalan itu dikecam oleh para pemimpin dari kedua komunitas, Muslim dan Kristen. Ramen Atallah dari Bible Society Mesir mengatakan bahwa pembunuhan itu benar-benar menjadi sarana menyatukan orang dari berbagai agama di negeri ini, bukan memisahkan mereka.

"ISIS berharap bahwa pembunuhan akan memicu perselisihan sektarian di Mesir antara Kristen dan Muslim, tetapi efeknya sebaliknya," katanya. "Orang Kristen telah merespon dengan sedih dan berseru pada Allah, dan Muslim telah menunjukkan cinta dan kepedulian terhadap mereka."

Namun demikian, ketegangan masing meningkat antara beberapa kelompok. Sebuah gereja yang sedang didirikan untuk mengenang mereka yang dibunuh pada bulan Februari diserang pada hari yang sama, ketika peringatan diadakan untuk menandai 40 hari sejak kematian mereka.

Gereja, yang sedang dibangun di desa Al Our, kota kelahiran 13 orang Kristen yang menjadi korban, diserang dengan bom molotov pada tanggal 27 Maret oleh kelompok diduga sebagian besar pemuda Muslim.

Pada hari yang sama massa, para saksi mengdiidentifikasi anggota Ikhwanul Muslimin menyerang rumah salah satu keluarga korban, ketika upacara tengah berlangsung.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home