Loading...
RELIGI
Penulis: Mery Kolimon 18:36 WIB | Jumat, 25 Juli 2014

Pendeta Indonesia Melayani di Badan Misi Global (1)

Pendeta Mery Kolimon bersama Dr. Mira Rizek, International Partner Member dari Middle East, Yerusalem Timur. (Foto: Dok. Mery Kolimon)

SATUHARAPAN.COM - Pengalaman yang saya alami sebagai Pendeta dari Indonesia yang duduk di badan misi Commond Global Mission Boad (CGMB), kiranya menginspirasi pelayanan gereja-gereja di Indonesia untuk terlibat dalam misi global. Ini adalah pengalaman berharga terlibat dalam misi CGMB sebagai pengurus badan kerja sama untuk misi luar negeri dari dua gereja Presbiterian di Amerika Serikat, yaitu United Church of Christ (UCC) dan the Disciples of Christ (The Disciples), dari tahun 2010 hingga sekarang.

Kedua gereja ini termasuk gereja yang progresif di Amerika dan juga inklusif. Anggota gereja-gereja ini datang dari berbagai latar belakang, yakni penduduk kulit putih, kulit hitam, Asia, dan penduduk pribumi Amerika.  Mereka terbuka terhadap pelayanan kaum marjinal dalam masyarakat mereka dan mengembangkan bentuk-bentuk advokasi untuk tugas profetis tersebut.

Sebuah pengalaman menarik bermula dari pengalaman bertemu jemaat Gereja Disciples, mereka memiliki dapur umum di gereja untuk siapa saja yang lapar dan membutuhkan makanan untuk makan bersama di hari Selasa. Pada hari Kamis ada ruang untuk mengumpulkan barang-barang dapur yang tidak lagi dipakai, dan siapa saja boleh mengambil sesuai kebutuhan, sedangkan di hari Sabtu ada pengumpulan pakaian layak pakai, khusus untuk musim dingin. Undangan-undangan terbuka baik bagi warga gereja maupun non-warga gereja.

Kedua jemaat ini selalu berada di garis depan untuk berjuang bagi gereja yang terbuka kepada kaum LGBTQ. Mereka tidak saja menyiapkan materi dan ruang untuk diskusi mengenai hal yang pelik ini dari sisi antroplologis, sosiologis, biologis, dan teologis, tetapi juga mendidik warga gereja dan masyarakat untuk menantang dan melucuti patriarki, rasisme, dan berbagai bentuk ketidakadilan dalam gereja dan masyarakat.

Jemaat gereja-gereja ini juga berjuang agar ada pengakuan terbuka terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kaum kulit putih di masa lalu kepada  penduduk asli Amerika. Mereka juga mengakui secara politis dan liturgis bahwa gereja telah turut terlibat melakukan kekerasan terhadap indigenous people itu dan turut berjuang bagi rehabilitasi dan reparasi hak-hak dan identitas penduduk pribumi.

Dalam hubungan internasional, sikap mereka jelas dalam soal Timur Tengah. Bagi mereka jalan keluar untuk perdamaian Timur Tengah adalah dialog dan bukan perang. Mereka menegaskan bahwa tujuan yang harus dicapai bersama adalah berdaulatnya dua negara di daerah konflik itu, yaitu Palestina dan Israel, karena itu jemaat mendukung perjuangan Palestina untuk diakui di Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun hal ini sering membawa mereka dalam ketegangan dengan kelompok Yahudi konservatif di Amerika yang menolak adanya negara Palestina di Timur Tengah.

Misi Global Gereja-Gereja Di Indonesia

Gereja-gereja arus utama di Indonesia belum banyak memberi perhatian serius terhadap misi luar negeri. Pemahaman misi gereja-gereja tersebut dalam banyak hal masih sangat teritorial-lokal. Dalam satu ayat Alkitab dituliskan Yesus berkata: “. . . dan kamu akan menjadi saksiku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria sampai ke ujung bumi”.

Kita cenderung menafsirkan ujung bumi itu adalah tenpat di mana kita berpijak. Hal itu ada benarannya, tetapi pemahaman itu belum utuh. Misi Allah itu bersifat holistik dan kosmik. Ia mulai dari titik di mana kita berdiri dan meluas ke bagian dunia yang lain. Menjadi umat terutus kita berangkat dari tempat di mana kita berada dan terutus untuk mengambil bagian dalam wacana dan praktik misi global.

Kebanyakan gereja kita mewarisi dan memelihara praktik dan pemahaman Reformasi (Luther dan Calvin) yang bersifat teritorial-lokal dalam pemahaman Reformasi didefinisikan sebagai persekutuan di mana Firman diberitakan, sakramen dilayankan dan dipimpin oleh majelis jemaat. Wilayah pelayanannya karena itu adalah sejauh wilayah pelayanan kemajelisan jemaat/gereja tersebut. Pemahaman ini telah turut membentuk identitas kita. Hal ini tidak dapat disangkal dan ditinggalkan.

Belajar dalam perjalanan waktu untuk mengembangkan tanggung jawab misi ekumenis global gereja, pemahaman teritorial-lokal sebagai ‘ujung bumi’ tidak memadai dalam perwujudan tanggung jawab keterlibatan kita dalam misi global pada masa sekarang ini.

Pendidikan teologi di berbagai sekolah teologi di Indonesia sudah perlu mempersiapkan para seminarian untuk tanggung jawab yang demikian. Ujung-ujung bumi perlu didefinisikan secara luas, meliputi baik konteks lokal maupun global, melibatkan baik tanggung jawab setempat maupun sedunia. Para mahasiswa perlu belajar mencintai bahasa lokal mereka dan bersemangat belajar bahasa Inggris, untuk tugas-tugas lokal dan global mereka.

Hal ini juga perlu didukung oleh pemahaman diri dan sistem bergereja yang inklusif dan holistik. Para misionaris dalam gereja bukan hanya pendeta. Seluruh orang Kristen adalah misionaris. Di tengah-tengah kecenderungan menjadikan pekerjaan sebagai semata-mata sebagai kesempatan memperkaya diri dan menjamin kenyamanan keluarga, panggilan menjadi misionaris di luar negeri bisa menjadi kesempatan mengalami kesempatan berbagi kasih Allah bersama orang lain.

Salah satu cara untuk membangun kapasitas dan jaringan untuk pelaksanaan misi luar negeri adalah dengan keterlibatan dalam wadah dan program ekumenis. Keterlibatan dalam persidangan dan program-program badan-badan ekumenis nasional (PGI), regional (CCA), global (WCC) dapat menjadi salah satu pintu masuk bagi gereja-gereja di Indonesia untuk karya misinya.

 

Pendeta Dr. Mery Kolimon dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) saat ini adalah pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dan juga Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur/JPIT untuk Studi Perempuan, Agama, dan Budaya. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home