Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 07:53 WIB | Rabu, 19 Agustus 2015

Pendidikan Berorientasi Hasil

Presiden Joko Widodo (ketiga kanan bawah), Wapres Jusuf Kalla (keeempat kanan bawah), Ibu Negara Ny. Iriana Joko Widodo (kedua kanan bawah) dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla (kanan bawah) berfoto bersama dengan para anggota Paskibraka ketika acara Silahturahmi Presiden dengan Paskibraka, Pasukan Kehormatan Taruna Akademi Militer TNI dan Akpol, Paduan Suara dan Orkestra Gita Bahana Nusantara dan Para Teladan Nasional di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/8). Acara tersebut digelar sebagai wujud apresiasi pemerintah atas prestasi yang mereka raih. (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf)

SATUHARAPAN.COM – Di minggu terakhir Juli lalu, kegiatan belajar mengajar di tingkat sekolah dasar dan menengah sudah dimulai. Perguruan tinggi umumnya memulai kegiatannya pada minggu terakhir Agustus ini, atau awal September. Para guru, karyawan dan murid sekolah mulai aktif seperti biasanya. Semua itu demi sebuah tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan yang diselenggarakan berusaha menciptakan manusia Indonesia yang bermutu dan dapat diandalkan dalam bidangnya masing-masing. Mutu dimaksud menyangkut di dalamnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kekuatan mental-spiritual serta moral-etis.

Tujuan pendidikan yang telah dirumuskan UUD dan dijabarkan dalam Undang-undang Pendidikan nasional itu tentu sangat baik. Saat ini pemerintah atau kementerian pendidikan juga sedang menggodok bentuk pendidikan menurut standard Kerangka Kualitas Nasional Indonesia (KKNI). Yang diutamakannya adalah kualitas atau mutu dari hasil pendidikan. Tamatan-tamatan sekolah adalah orang-orang yang memiliki keluasan pengetahuan, keterampilan atau kemampuan yang dapat diandalkan serta yang memiliki karakter mental spiritual dan moral-etis yang baik. Tamatan-tamatan sekolah itu siap sedia untuk menjawab berbagai persoalan dan mengembangkan keilmuan dalam bidangnya untuk peningkatan kehidupan manusia umumnya.

Hasil itu tentu harus diperoleh melalui suatu proses belajar-mengajar yang wajar, layak dan masuk akal. Proses pengajaran dan pendidikan itu dilakukan secara terencana dan bertahap baik waktu maupun materinya. Karena itu pendidikan kita dibagi dalam tahap-tahap yaitu dasar, menengah dan tinggi. Lama periode waktu pendidikan pada masing-masing jenjang juga telah diatur secara proporsional. Model pendidikan seperti ini memperhatikan dan mengutamakan proses. Proses pendidikan di dalamnya berisi materi, tahapan, waktu, kondisi dan kemampuan kualitas guru dan murid, berbagai media dan fasilitas serta metode yang digunakan. Inilah proses dan bentuk pendidikan yang ideal dengan hasil atau tamatan-tamatan yang dapat dipastikan berkualitas.

Hasil Administratif Formal Menjadi Ukuran

Dalam masyarakat kita baik formal maupun informal, kualitas hasil atau output pendidikan itu umumnya diukur dengan kelulusan dan Ijazah. Seorang siswa dapat diterima di jenjang pendidikan di atasnya jika ia sudah lulus dan memiliki ijazah dari sekolah sebelumnya. Seseorang dapat diterima bekerja dan mendapat golongan dan menduduki jabatan tertentu jika ia memiliki ijazah yang memenuhi syarat. Ijazah menjadi syarat administratif formal yang sangat menentukan. Kemampuan seseorang diukur atau dinilai melalui ijazahnya.

Memiliki ijazah merupakan tanda seseorang telah mencapai atau menamatkan suatu tingkat pendidikan tertentu. Namun demikian di dalam masyarakat kita saat ini, ternyata ijazah tidak menjamin seseorang memiliki kemampuan yang setara dan layak sesuai dengan tingkat pendidikan dengan ijazah yang dimiliki. Banyak orang yang mendapatkan ijazah dengan cara yang tidak layak. Ini didukung oleh lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan fasilitas untuk memperoleh ijazah dengan cara yang sangat mudah. Yang diutamakan adalah hasil administratif formal bukan hasil yang diperoleh melalui proses pendidikan atau pengajaran yang layak. Ini mengakibatkan adanya ijazah palsu, abal-abal dan praktik jual-beli ijazah.

Di sisi lain, berbagai cara proses pendidikan dan pemberian atau memperoleh ijazah resmi disiasati untuk memenuhi syarat administratif pengajaran. Misalnya, kuliah hanya beberapa bulan, mahasiswa sudah mendapat ijazah sarjana atau magister. Memang jumlah pertemuan dapat memenuhi syarat karena walaupun waktunya singkat tetapi semua mata kuliah dan materi kuliahnya telah disampaikan. Tetapi persoalannya adalah, jika materi kuliah dipadatkan, misalnya yang biasa dilaksanakan dalam satu semester atau sekitar lima sampai enam bulan atau 14-16 kali pertemuan, diselesaikan dalam waktu hanya satu bulan. Bagaimana proses belajar-mengajar yang layak dilakukan oleh siswa/mahasiswa jika waktu belajar sangat singkat. Kapan mahasiswa belajar, mencari dan membaca buku dan menulis makalah? Kapan mereka dapat belajar bersama dalam kelompok, berdiskusi dan menulis makalah bersama? Akan tetapi kenyataannya para siswa dan mahasiswa itu lulus dan mendapat ijazah.

Produk Tidak Bermutu

Dengan kondisi dan proses studi seperti itu lalu banyak orang yang memiliki ijazah dengan kualifikasi yang tidak sesuai dengan kemampuan. Banyak orang memiliki berbagai gelar tetapi kompetensinya tidak memadai. Gelar tinggi, bahkan professor, tapi tidak menghasilkan karya akademis-ilmiah bermutu. Yang dihasilkan adalah hal-hal yang hanya memenuhi syarat administratif. Di Indonesia saat ini ada begitu banyak sarjana dengan gelar-gelar administratif formal (S1, S2 dan S3) tetapi kemampuan sangat tidak layak. Sertifikasi yang dilakukan oleh negara mensyaratkan ijazah sebagai penentu. Namun, program ini dapat dengan mudah disiasati yaitu dengan pemenuhan syarat administratif, termasuk soal keahlian, keterampilan atau profesionalisme. Inilah pendidikan yang berorientasi pada hasil, pada ijazah, pada pemenuhan syarat administratif. Hasil pendidikan seperti ini layak disebut sebagai perusak sendi-sendi pendidikan, kehidupan masyarakat dan negara.

Sementara itu, banyak orang yang tidak memiliki gelar akademis tetapi memiliki kemampuan yang layak di bidangnya masing-masing. Namun, mereka dan karya-karyanya tidak mendapatkan pengakuan formal dari negara atau lembaga tempatnya bekerja sehingga tidak mendapatkan fasilitas formal seperti golongan-kepangkatan, jabatan struktural dan tentu tunjangan-tunjangannya. Model pendidikan di Indonesia yang lebih berorientasi pada hasil dan tidak mengutamakan proses dan kompetensi telah merusak pendidikan itu sendiri. Kalangan masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai survei yang dilakukan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia termasuk dalam kategori buruk, sangat buruk dibanding negara-negara ASEAN sekalipun. Padahal, masyarakat kita sudah akan menghadapi tantangan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) di mana kita harus bersaing di negeri sendiri dengan negara-negara Asia mulai akhir 2015 ini.

Produk pendidikan betul-betul harus diuji jika ingin menghasilkan dan memperbaiki mutunya. Salah satunya adalah melalui proses yang layak; melalui periode waktu dan materi yang wajar. Ujian langsung dan spontan serta berkala juga perlu dilakukan terhadap sarjana-sarjana, bahkan para professor menyangkut kompetensi mereka di bidang keilmuannya. Semoga.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Gereja Kristen Jawa dan Dosen Pascasarjana UKI 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home