Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 08:20 WIB | Senin, 01 Juni 2015

Peneliti BI: Redenominasi Rupiah Berbahaya bila Dilakukan Tahun Ini

Papan penunjuk harga di sebuah restoran di Jakarta (Foto:diannisa.wordpress.com)

MALANG, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Ekonomi Senior Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Arif Rahman, menyatakan kebijakan untuk melakukan redenominasi masih menunggu waktu yang tepat dan kondisi perekonomian harus stabil.

"Kalau kebijakan redenominasi itu dilakukan sekarang, justru tidak pas waktunya. Sekarang ini justru harus dihindari dan tidak perlu terjadi," kata Arif Rahman disela-sela kegiatan pelatihan wartawan ekonomi se-Jatim yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Jember, Minggu.

Menurut dia, jika melihat kondisi perekonomian dan nilai tukar rupiah yang belum stabil, kemungkinan besar BI dan pemerintah tidak akan melakukan redenominasi dalam kurun waktu tahun ini atau tahun depan.

Senada dengan Arif Rahman, pengamat saham Farial Anwar mengatakan tahun ini atau tahun depan BI bersama pemerintah masih belum akan melakukan redenominasi karena waktunya tidak tepat, meski beberapa waktu lalu gagasan tersebut sempat mencuat, bahkan sudah dibahas dengan matang.

Apalagi, katanya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini cenderung melemah. Nilai rupiah yang terus merosot itu di antaranya disebabkan oleh kebijakan AS yang akan meningkatkan suku bunga dan neraca transaksi berjalan di Tanah Air juga defisit.

Meski sebenarnya, kata Farial, redenominasi haya menyederhanakan nilai mata uang, bukan mengurangi nilainya.

Saat ini penyederhanaan itu sebenarnya sudah dilakukan oleh pelaku usaha, khususnya restoran atau hotel menggunakan angka yang cenderung menghilang tiga angka nol di belakang, seperti harga Rp250 ribu hanya ditulis 250/IDR, padahal itu Rp250 ribu.

Menyinggung prospek pasar uang di Indonesia ke depan, Farial mengatakan saat ini cukup mengkhawatirkan akibat adanya kecenderungan defisit devisa karena sebagian besar devisa tersebut diparkir di luar negeri.

"Kondisi ini menjadikan rupiah akan tertekan. Belum lagi adanya serbuan `hot money` yang persentasenya juga cukup besar, yakni hampir 38 persen, dan kondisi ini sangat berisiko, apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sampai menembus angka Rp13.500," tuturnya.

Menurut dia, kondisi itu berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia, sehingga harus ada kebijakan pemerintah yang tegas terhadap lalu lintas devisa. Memang, saat ini sudah ada UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa, namun belum ada detail penjelasannya yang dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP).

"Sebenarnya kondisi ini menjadi problem. Seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan dana asing yang masuk harus bertahan dalam kurun waktu tertentu di Indonesia dan tidak bisa dikeluarkan sewaktu-waktu," tegasnya.

Selain itu, lanjutnya, devisa Indonesia juga jangan diparkir di luar negeri. Kelihatannya cadangan devisa tinggi, tapi dananya kosong karena semua ada di luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan seperti yang diterapkan oleh luar negeri.

"Cuma, Indonesia berani tidak mengubah kebijakan itu sekaligus menerapkan dengan ketat terhadap peraturan kewajiban transaksi dalam mata uang rupiah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ujarnya. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home