Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 06:08 WIB | Sabtu, 26 September 2020

Penelitian: Lebih 80% Orang Inggris Tak Patuhi Aturan Isolasi Mandiri

Orang-orang berjalan di sepanjang Camden High Street, di tengah wabah penyakit virus corona, di London, Inggris, pada 19 September 2020. (Foto: dok. Reuters)

LONDON, SATUHARAPAN.COM-Lebih dari 80 persen orang di Inggris tidak mematuhi pedoman isolasi diri ketika mereka memiliki gejala COVID-19 atau melakukan kontak dengan seseorang yang dites positif, menurut temuan sebuah penelitian.

Mayoritas orang di Inggris juga tidak dapat mengidentifikasi gejala COVID-19, penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona baru.

Penelitian ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas program tes dan lacak  di Inggris, karena Perdana Menteri Boris Johnson berusaha untuk membatasi peningkatan jumlah infeksi dengan pembatasan baru.

Penelitian yang dipimpin oleh King's College London, menemukan bahwa hanya 18,2 persen orang yang melaporkan memiliki gejala COVID-19 dalam tujuh hari terakhir tidak meninggalkan rumah sejak gejala tersebut berkembang, dan hanya 11,9 persen yang meminta tes COVID-19.

Ditemukan juga bahwa hanya 10,9 persen orang yang diberitahu oleh skema tes dan lacak oleh NHS untuk mengisolasi diri setelah kontak dekat dengan kasus COVID-19, telah melakukannya selama 14 hari sesuai kebutuhan.

Pemerintah pekan lalu memberlakukan denda hingga 10.000 pound (sekitar Rp 190 juta) karena melanggar aturan isolasi diri dan menawarkan pembayaran tunjangan 500 pound (Sekitar Rp 9,5 juta) kepada pekerja bergaji rendah yang kehilangan pendapatan dari karantina.

Para peneliti mengatakan bahwa dukungan finansial untuk mengisolasi diri dapat mendorong kepatuhan.

"Hasil kami menunjukkan bahwa kendala keuangan dan tanggung jawab kepedulian menghalangi kepatuhan terhadap isolasi diri, termasuk untuk berbagi rincian kontak dekat, dan karantina kontak," tulis mereka.

Sistem Tes dan Lacak

Johnson menjanjikan sistem pengujian dan pelacakan "yang mengalahkan dunia", tetapi sistem itu telah dirundung masalah, sering kali gagal memenuhi target untuk mencapai 80 persen kontak. Aplikasi pelacakan akhirnya diluncurkan pada hari Kamis (24/9) setelah empat bulan tertunda.

Alasan ketidakpatuhan berkisar dari tidak mengetahui pedoman pemerintah hingga tidak dapat mengidentifikasi gejalanya, menurut temuan studi itu.

Hampir setengah dari peserta dapat mengidentifikasi gejala utama COVID-19 berupa batuk, demam, dan hilangnya indra perasa atau penciuman.

Studi ini menggunakan data yang dikumpulkan antara 2 Maret dan 5 Agustus dan didasarkan pada 42.127 tanggapan dari 31.787 peserta berusia di atas 16 tahun.

Pada hari Kamis, Inggris mencatat jumlah kematian tertinggi akibat COVID-19 di Eropa, yaitu 41.902 orang. (Reuters)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home