Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 12:07 WIB | Kamis, 29 Januari 2015

Pengamat: Pemakzulan Presiden Gampang-gampang Susah

Joko Widodo bersama jajaran menteri kabinet kerja, Kepala BKPM, Plt Kapolri, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. (Foto: dok. satuharapan.om/Francisca Chirsty Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat hukum tata negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA) Imam Nasef mengatakan desain konstitusi Indonesia yang ada saat ini membuat pemakzulan (impeachment) seorang menjadi gampang-gampang susah.

Desain kontsitusi kita seperti sekarang ini membuat pemakzulan seorang itu gampang-gampang susah,” kata Imam kepada satuharapan.com, di Jakarta, Kamis (29/1).

Dia mengambil contoh, seperti yang tertulis dalam pasal 7A UUD 1945, dimana dikatakan ‘Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden’.

Menurut dia makna ‘perbuatan tercela’ sebagai salah satu alasan pemakzulan presiden sebagaimana tertulis dalam pasal tersebut multitafsir, sebab dalam undang-undang organiknya, hanya alasan itulah yang tidak ada penjelasannya. Berbeda dengan alasan melakukan pengkhiatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden yang diberi penjelasan.

“Oleh karena itu, alasan ‘perbuatan tercela’ ini bisa menjadi pintu masuk paling mudah bagi pihak-pihak yang ingin mengusulkan pemakzulan seorang presiden,” ujar Imam.

Dalam kaca mata hukum, dia melanjutkan, perbuatan tercela itu harus dimaknai sebagai perbuatan tercela yang berkaitan dengan hukum-hukum tertulis, misalnya pelanggaran terhadap suatu undang-undang.

“Sekarang yang jadi pertanyaannya, apakah kalau Presiden Joko Widodo tidak melantik Komjen Polisi Budi Gunawan dapat dianggap melanggar ketentuan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) sehingga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan tercela? DPR sebaiknya tidak buru-buru menyimpulkan hal ini,” kata pengamat hukum tata negara itu.

Keadaan Tidak Normal

Menurut dia, tindakan presiden tidak melantik seorang calon Kapolri yang telah mendapat persetujuan DPR memang suatu tindakan di luar undang-undang, namun perlu dicatat bahwa diambilnya suatu tindakan di luar ketentuan undang-undang tersebut tidak langsung dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran undang-undang.

Sebab, kata Imam, terdapat dua kemungkinan dari diambilnya suatu tindakan di luar ketentuan undang-undang, pertama, tindakan itu memang disengaja untuk mengabaikan atau melanggar ketentuan undang-undang dimaksud. Kedua, tindakan itu diambil karena ketentuan yang ada dalam undang-undang dimaksud tidak memadai atau tidak komprehensif.

“Nah, kalau nanti Presiden akhirnya benar-benar tidak melantik Komjen Polisi Budi Gunawan, maka tindakan itu sebenarnya masuk kategori kemungkinan yang kedua, sebab kasus Komjen Polisi Budi Gunawan ini di luar keadaan normal yang pengaturannya belum terakomodir dalam Pasal 11 UU Kepolisian, sehingga tidak serta merta dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran UU Kepolisian,” tutur dia.

Meski begitu, Imam menegaskan, dalam perspektif hukum tata negara, yang berwenang menilai dan membuktikan seorang presiden telah melakukan perbuatan tercela adalah Mahkamah Konstitusi (MK). “Kalau DPR berniat memakzulkan presiden, silakan saja mendakwa presiden dengan alasan perbuatan tercela itu kepada MK, biar MK nanti yang memutuskan,” kata pengamat dari SIGMA itu.

“Alasan itu sah-sah saja digunakan, kan hak DPR, biar MK yang menilai nanti,” dia menambahkan.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home