Loading...
ANALISIS
Penulis: MH Said Abdullah 16:32 WIB | Rabu, 14 September 2016

Pengampunan Tuhan dan Pengampunan Pajak

MH Said Abdullah (Foto: sidoarjomemo-x.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tuhan tidak terlalu teknis dalam religiusitas hidup hamba. Tetapi, Ia mahapenyayang. Begitu mahakasihnya Tuhan, urusan surga dan neraka diserahkan kepada makhluknya.

Ia mendelegasikan sebagian “ketuhanan” itu kepada manusia. Apapun yang dikerjakan umat, pada akhirnya dikembalikan, sesuai amal dan perbuatan. Bahwa Ia berkenan turut campur untuk memasukkan seseorang kepada kesenangan atau kesedihan, itu karena Ia sedang menggunakan kewenangannya karena memiliki hak prerogatif.

Pada konteks ini, diam-diam Tuhan juga “politis”.
 
Di luar kemahapenyayangan itu, Ia juga maha pengampun. Kejahatan besar sekalipun yang pernah dilakukan hamba, Ia pasti mengampuni dengan satu syarat; menyesal dan tidak mengulanginya. Semacam naskah nota kesepahaman antara makhluk dengan khaliqnya.

Secara tidak langsung, Ia menghidupkan iklim demokrasi, meski Tuhan tidak berteriak, “hidup demokrasi”. Sebab, hidupnya demokrasi itu bukan karena Ia teriakkan. Melainkan demokrasi menjadi nafas dan prilaku dalam realitas yang hidup. Begitu juga cara beragama dan berbangsa.
 
Dalam ranah agama, sesungguhnya Tuhan tidak perlu dibela dengan cara menghina individu atau kelompok yang dalam pandangannya tidak sekacamata dengan yang melihatnya. Sebab, agama, memiliki demarkasi yang jelas substansinya. Begitu pula marka-markanya yang tentu saja menyelamatkan siapa saja, baik seagama maupun beda agama dan keyakinannya.

Gotong-royong untuk kebaikan didedahkan semua agama. Termasuk, bahu-membahu dalam semesta bangsa perlu mendapat perhatian bersama supaya pemerintah tidak terbiar sendirian. Pemerintah yang kesepian, sunyinya akan terasa lebih menyayat dari belati.
 
Saat ini, pemerintah berusaha mengadaptasi sifat Tuhan terutama dalam bidang pengampunan. Lalu lahirlah Undang-undang RI nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak (Tax Amnesty). Memang, ini bukan yang pertama. Tahun 1984, negeri ini pernah menerapkan kebijakan serupa. Tetapi pelaksanaannya tidak efektif karena respon wajib pajak (WP) sangat kurang dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu dukungan masyarakat secara penuh, apapun profesinya.

Tahun 2008, pemerintah pernah menerbitkan aturan Sunset Policy yang diberlakukan selama 14 bulan per Januari 2008. Aturan ini bisa merupakan versi mini dari tax amnesty. Sunset Policy adalah kebijakan pemerintah dalam menerapkan penghapusan sanksi administrasi bagi WP yang kurang bayar maupun melakukan kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan PPh.

Kebijakan versi mini dari tax amnesty ini telah berhasil menambah jumlah penerimaan PPh sebesar Rp 7,46 triliun. Bahwa secara teoritik kebijakan ini memiliki kelemahan, ini sisi lain dari konsekuensi. Tetapi cara melihat kebijakan menjadi nisbi manakala yang dipotret hanya dari sisi kelemahannya saja.
 
Tax amnesty harus dilihat dari aspek lain dimana secara otomatis akan menarik dana yang terdapat di luar negeri ke Indonesia yang menjadikannya masuk ke dalam pencatatan untuk sumber pajak baru. Amnesti pajak yang diasumsikan oleh pemerintah sebanyak Rp 165 triliun yang tercantum pada APBN 2016. Nominal tersebut berasal dari tarif tebusan (repatriasi) sebesar Rp 4000 triliun.
 
Memang,  ada penilaian terhadap pengampunan pajak yang dianggap mencederai asas keadilan masyarakat yang sejauh ini taat membayar pajak. Apalagi pada tahun 1964 dan 1984, tax amnesty berjalan tidak efektif karena minimnya ketersediaan data perpajakan. Tax amnesty dikhawatirkan tidak berjalan secara konsisten. Ada pula yang menilai bahwa pengampunan pajak hanya untuk kepentingan pengusaha yang memiliki dana besar di luar negeri. Pengampunan pajak dinilai hanya akan menjadi karpet merah bagi koruptor dan konglomerat yang meraup keuntungan di Indonesia.
 
Penilaian itu seharusnya tidak dijadikan sebagai penghalang, melainkan persepsikan sebangun literasi untuk melihat aura kebaikan supaya tetap terlihat. Anak-anak yang berulang kali belajar berdiri tegak dan sesekali jatuh, tidak kemudian dihentikan kreativitasnya untuk tetap berdiri, bahkan berlari dengan caranya sendiri.

Jika terdapat adegan yang dianggap mengancam, orang-orang di sekitarnyalah yang mengarahkan anak itu supaya berdiri. Sebab, setiap kebaikan selalu bersanding dengan kemungkinan hadirnya ketidakbaikan pada saat yang sama. Oleh karena itu, prilaku menghardik saja, dalam literasi manapun, bukan tindakan yang bijak untuk memperbaiki keadaan.
 
Merindu Suri Teladan
 
Negeri ini, Indonesia, merupakan negara yang seharusnya dicintai bersama. Di dalamnya terdapat keberagaman etnik, suku, ras, agama, dan golongan. Sebagai warga bangsa, apapun entitasnya berkewajiban untuk melestarikan bangsa ini secara bersama-sama. Sebab, negara, tentu saja bukan milik perorangan.

Dalam posisi itulah keragaman profetik, suka atau tidak suka, harus merasa dikepung keniscayaan untuk memajukan bangsa. Pada pola hidup yang sederhana, orang kecil pasti meyakini harus berjalan pelan-pelan namun melarang dirinya untuk mundur.
 
Orang (yang merasa) besar, pasti akan memposisikan dirinya sebagai orang besar yang terlarang melakukan sesuatu yang dianggapnya kecil. Sebab, orang (yang merasa) besar jika kalah berpola pikir dengan orang (yang dianggap) kecil, akan mengurangi kebesaran dirinya yang merasa sebagai orang besar. Tetapi, kecil atau besar, tidak diukur oleh permainan perasaan, namun ia ditakar melalui cara pandang, prilaku dan karya yang dihasilkan. Di sinilah, dibutuhkan suri teladan dari siapa saja agar tidak menggaruk kepalanya sendiri, bahkan dalam situasi yang tidak gatal.
 
Oleh sebab itu, dalam bingkai great sale ini, para politisi, pejabat (dan siapapun) perlu mendeklarasikan aset dan kekayaan pada pemerintah yang berjibaku meningkatkan penerimaan guna mengupayakan akselerasi kesejahteraan rakyat. Jika republik ini ibarat sebuah kebun yang dirawat banyak orang, maka ada harapan pohon tumbuh normal dan subur. Jika tiba saat pohon di kebun itu berbuah, tentu saja hasil yang didapat, dikembalikan kepada masyarakat sekitar pohon. Sebab sejatinya, lingkungan republik ini adalah masyarakat sosial yang antara satu dengan lainnya tidak bisa terpisahkan.

Itu sebabnya, menarik yang ditorehkan Al Gozali (1058), seorang sufi dan negarawan yang memandang atmosfer kehidupan dalam bingkainya sendiri, namun tetap meyakini kesamaan dan keragaman manusia sebagai makhluk sosial. Dalam posisi yang beragam, manusia tidak dapat hidup sendirian sebagaimana halnya negara. Para pihak secara takdiriyah memerlukan satu sama lain menuju kesempurnaan.

Petani pun, dalam mengerjakan sawah tak sempurna tanpa bantuan pandai besi. Dengan pandai besi saja, petani juga tidak bisa bertahan karena ia memerlukan penggilingan yang dihasilkan pihak lain. Di sinilah menurut Al Gozali hadir supaya para pihak menempatkan dirinya sebagai teladan, di garis orbitnya masing-masing secara proporsi dan proposional.

Begitu juga, negeri ini tidak bisa hidup apabila para tukang kritik mati suri karena akan menyebabkan negara berjalan tanpa dinamika. Karena itu, apabila negara ini dinilai berkembang biak dalam asbak, ini bukan semata mata lantaran para penjahat merajalela tetapi kejumudan negara bisa terjadi ketika para orang baik diam ketika melihat tanda-tanda.

Selain itu, guru yang profesional bukan SDM yang menjelaskan cara memasak nasi yang benar secara teoritik, melainkan mengajak peserta didiknya bersama-sama menanak, lalu melihat dan berpraktek memasak secara bersama-sama. Di sini, peserta didik mengadaptasi dan mengangguk tentang profesionalitas guru karena ada teladan di situ. Begitu pula dalam kebijakan pengampunan pajak ini, pemerintah telah melakukan ikhtiar untuk kemaslahatan umat. Tanpa pengampunan, pemerintah sudah pasti melampaui batas-batas ketuhanan yang diamanatkan untuk menyanggah kuasa bernegara.

Bagi Tuhan, berdoa saja tak cukup religius sebagaimana bagi pemerintah, berteori saja tak cakap. Itu sebabnya, keteladanan prilaku menjadi urgen, di manapun.

MH Said Abdullah adalah Wakil Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Editor : Eben E. Siadari

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home