Loading...
OPINI
Penulis: Sudarto 00:00 WIB | Kamis, 02 Juni 2016

Pengelolaan Keragaman yang Bermasalah

Persoalan bagaimana mengelola keragaman, terutama menyangkut keragaman agama dan/atau keyakinan, merupakan tantangan terbesar Indonesia. Bagaimana cara terbaik untuk itu?

SATUHARAPAN.COM - Jika fitur permanen dari demokrasi adalah kemajemukan, maka tantangan terbesar dari negera demokrasi adalah mengelola kemajemukan itu secara adil. Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia masih dihadapkan dengan ancaman kegagalan demokrasi yang substantif, terutama terkait dengan kegagalan pengelolaan keragaman kehidupan beragama dan/atau berkeyakinan.

Kegagalan pengelolaan keragaman yang terus menerus diulangi oleh negara ditengarai karena kaburnya batas hubungan agama dan negara. Dengan kata lain, meskipun Indonesia telah mengalami tujuh kali pertukaran rezim, namun pengelolaan keragaman agama dan keyakinan tidak mengalami kemajuan yang signifikan, malah seringkali berjalan mundur. Bahkan pemerintahan Jokowi yang menjadi tumpuan harapan mampu mengelola keragaman dengan Nawacitanya, tidak cukup memberikan harapan. Di mana letak persoalannya?

 

Hubungan agama--negara tidak sehat

Rumusan bentuk negara yang bukan teokratis (agama) dan bukan pula sekuler ditengarai menjadi pokok persoalan kaburnya batas hubungan antara agama dan negara. Dalam perspektif sejarah, hubungan antara agama dan negara di Indonesia seringkali terjadi perselingkuhan intim dan saling mengintervensi. Dalam kerangka ini, negara memandang agama hanya sebatas persoalan administratif untuk kepentingan kelompok agama terbesar sebagai konstituen terbesarnya. Lebih jauh pembangunan kebijakan kehidupan beragama lebih dimaksudkan untuk pendisiplinan demi melanggengkan kekuasaan.  

Situasi saling memanfaatkan tersebut, menggiring hubungan agama dan negara menjadi tidak sehat. Diskusi soal agama dan nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran bukanlah mengacu pada krititeria kebenaran itu sendiri, melainkan berdasarkan nalar, yang oleh Daniel Dhakidae, disebut sebagai “religious discourse”, atau fellowship of discourse. Kebenaran hanya boleh dimiliki oleh suatu kelompok tertutup dan tidak boleh dibagi kepada orang lain.

Lebih tragis, bicara kebenaran lebih untuk tujuan mendominasi dan menguasai orang lain, utamanya melalui rebutan "menjadi" agama dan/atau keyakinan yang diakui oleh negara. Termasuk  menindas agama dan keyakinan lain supaya tidak diakui. Tegasnya, dalam nalar agamaisasi (politik agama) ini, diskusi kebenaran bukan mengacu pada pengertian kebenaran secara filosofis dan teologis, melainkan kebenaran yang diingini oleh kelompok dominan.

Nalar “fellowship of discourse” dapat dijumpai dalam kebijakan pemerintah yang terus mengawetkan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Mulder pernah menyebut, “In  hands of the Ministry  of  Religion, Pakem became the watchdog against utterly anti-Islamic spiritual movements” (2005:23). Melalui nalar ini, negara memberedel kelompok-kelompok keyakinan agama lokal atau penghayat kepercayaan, maupun kelompok-kelompok sempalan dalam agama. Sebut di antaranya, kelompok Lia Eden, Al-Qiyadah Islamiyah (Ahmad Mosadek), kelompok Gafatar, termasuk juga pengusiran terhadap keyakinan dalam agama non-mainstreams seperti seperti Jama’ah Ahmadiyah dan Jama’ah Syi’ah.

Dengan kebijakan politik agama ini, yang paling terkena dampak paling mendalam adalah kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau yang sering disebut juga sebagai agama lokal atau agama asli. Agama lokal mengalami proses diskriminasi secara sistemik, massif dan terstruktur. Agama lokal tidak hanya menjadi obyek rebutan gerakan dakwah dan misi, tetapi selalu mengalami pemaksaan untuk menjadi agama dalam nalar dominan atau dengan pilihan musnah.

Namun demikian, meskipun upaya politik ”pemusnahan” dan gempuran bertubi-tubi dengan menggunakan tangan negara terhadap kelompok penghayat, tidak serta merta membuat agama lokal musnah atau punah. Agama lokal dengan segala keterbatasan sistem doktrinnya tetap bertahan dari gempuran agama pendatang.

Pada saat bersamaan, meskipun agama-agama pendatang kemudian memegang posisi politik sentral, khususnya Islam dengan segala kekuasaannya, agama-agama lokal tidak serta-merta tunduk atau patuh terhadap Islam. Dengan kata lain, agama dominan utamanya Islam tetap saja tidak sepenuhnya dapat memilik rohani rakyat.

 

Formula menyehatkan hubungan agama negara

Kebijakan ”entry barrier (Dhakidae, 2003:559) negara terhadap agama paling tidak dimaksudkan untuk empat tujuan pertama, negara secara legal mengeluarkan peraturan-peraturan, dekrit, surat keputusan bersama, baik oleh lembaga tinggi negara maupun melalui kementrian-kementerian secara kolaboratif untuk melarang suatu kelompok agama dan/atau keyakinan.

Kedua, negara melakukan pengawalan atau pagar penghalang yang dijaga secara ketat dan seksama oleh kementerian agama (Departemen Agama), sebagai lembaga yang memegang “sertifikat” monopolis menentukan benar atau salahnya satu keyakinan atau diakui dan tidak diakuinya satu keyakinan dan agama. Sekaligus boleh atau tidaknya suatu agama dan kepercayaan dilaksanakan oleh warga yang memiliki keyakinan tersebut.

Ketiga, dikerjakan secara teliti oleh PAKEM yang dalam banyak kasus melampaui Departemen Agama untuk mengontrol, mengawasi dan menindak agama dan/atau keyakinan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Dan atas desakan kelompok dominan, suatu agama atau keyakinan dianggap menyimpang boleh diberhangus.

Keempat, alat negara termasuk Angkatan Perang Republik Indonesia, Kepolisian Negara terlibat atau dikerahkan sebagai penindak atas dugaan penyimpangan dan atau aliran sesat. Kasus terakhir yang menimpa kelompok Gafatar di Mempawah dan kelompok Ahmadiyah di Bangka mencerminkan itu.

Dalam negara demokrasi yang majemuk, kebijakan tersebut jelas tidak sehat. Dalam konteks inilah kita perlu membangun modus politik demokrasi yang mejemuk di mana setiap komunitas dengan segala keberagamannya dapat diakui sekaligus dapat diperlakukan berbeda karena perbedaan identitasnya. Oleh karena itu diperlukan ruang yang lebih luas merenegosiasi pengelolaan keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia. Beberapa tawaran yang patut menjadi bahan pertimbangan antara lain:

Pertama, negara tidak boleh menjadi religius. Negara harus tegas antara wilayah teologis dan wilayah kewarganegaraan, sehingga tidak terjebak dalam pengotakan identitas. Perdebatan soal agama dan nilai-nilainya yang dianggap baik dan benar untuk masuk di ruang publik untuk pemecahan masalah bersama harus diletakkan pada nalar kewargaan (”civic reason”) yakni konstitusionalisme, hak asasi manusia (HAM) dan kewarganegaraan yang setara.

Kedua, negara harus benar-benar netral dan menjadi wasit yang adil. Negara tidak boleh menganak-emaskan satu kelompok identitas apapun, termasuk agama dominan, meskipun secara politik kelompok dominan tersebut merupakan konstituen utamanya. Dengan demikian negara via aparaturnya akan sadar untuk tidak masuk dalam forum internum agama.

Ketiga, negara harus memfasilitasi setiap warga negara untuk berbagi ruang publik secara adil. Masyarakat sipil dalam demokrasi tidak hanya membutuhkan keberagaman masyarakat tetapi juga komitmen secara penuh untuk menggumuli (engagement) dalam bingkai pluralisme kewargaan, dimana setiap anggotanya segala niat untuk menekan dan mengurangi keberagaman, dan menjawab segala tantangan dengan cara yang lebih damai.

 

Penulis adalah Ketua Divisi Riset dan Substansi ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home