Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 11:12 WIB | Minggu, 30 November 2014

Penghasilan Petani Bali Setara Pengemis

Seorang perempuan melintas di dekat sebuah bangunan yang dibangun di areal persawahan produktif di Monjok, Mataram, NTB, Senin (24/11). Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) NTB dari 247 ribu hektar luas lahan irigasi produktif pertanian di NTB sebanyak 500 hektar lahan mengalami penyusutan setiap tahunnya yang digunakan untuk pembangunan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum dimana penyusutan tersebut berdampak terhadap produksi pangan di NTB. (Foto: Antara/Ahmad Subaidi)

DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Penghasilan petani yang terhimpun dalam wadah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (Subak) di Bali sangat memprihatinkan, bahkan mungkin hanya setara dengan pendapatan seorang pengemis yang ada di pinggir jalan raya.

"Petani yang memiliki dan menggarap sawah seluas satu hektare menghasilkan Rp 3 juta per bulan sedangkan seorang pengemis bisa meraih pendapatan Rp 100.000 per hari atau juga Rp 3 juta per bulan," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia di Denpasar, Minggu (30/11).

Guru Besar Fakultas Pertanian Unud itu sebelumnya (Sabtu, 29/11) tampil sebagai pembicara dalam diskusi mengatasi dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang digagas Pemimpin Umum Koran Pos Bali, Made Nariana.

Diskusi tersebut selain Prof Windia juga tampil Kepala Dinas Sosial setempat, pihak perbankan dan dari Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung.

Windia mengatakan, petani di Bali umumnya memiliki sawah antara 25-50 are sehingga penghasilannya relatif kecil, apalagi harga gabah tidak pernah dinaikkan sejak 2012 lalu, sedangkan BBM Subsidi sudah dua kali naik, yang diikuti oleh kenaikan harga-harga barang.

Bahkan harga beras di pasaran naik dari Rp 8.500 menjadi Rp 10.000 per kg pascakenaikan BBM, tetapi kenaikan harga tersebut tidak pernah dinikmati oleh petani produsen, sehingga hanya dinikmati oleh pedagang.

Belajar dari petani dan sistem subak, maka untuk mengatasi kenaikan harga BBM maka perlu kajian yang berlandaskan budaya, yakni nilai-nilai, sosial dan artafak/kebendaan. sehingga kebijakan kenaikan BBM perlu dilakukan sesuai perkembangan yang ada.

Windia menambahkan, kelompok sosial yang miskin dan yang menjadi sumber kemiskinan seperti petani dan nelayan perlu terus diberdayakan, caranya dengan melakukan pendampingan sosial ekonomi, guna membangun kesadaran agar mereka bekerja keras dan melakukan pendidikan.

Para petani dalam hal ini perlu dirangsang untuk dapat menghasilkan dalam bentuk apa saja, sehingga pada saat pemerintah menaikkan harga BBM mereka memiliki barang yang bisa dijual, disamping perlunya alasan yang tepat disampikan secara terbuka mengapa harus BBM dinaikkan.

Menurut Windia, masyarakat miskin umumnya berada di daerah pegunungan (petani) dan nelayan di pantai, sehingga mereka itu perlu mendapat perhatian seperti dididik didampingi untuk menanam sayu-mayur, beternak dan memelihara ikan maupun usaha produktif lainnya yang mampu meningkatkan pendapatan. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home