Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 09:36 WIB | Senin, 24 November 2014

Penghayat Sunda Wiwitan: Agama Tak untuk Dilembagakan

“Agama bukan lembaga, tapi sebuah tuntunan perilaku hidup. Ketika sudah dilembagakan akan dengan mudah terjadi konflik."
Dewi Kanti dari komunitas keyakinan Sunda Wiwitan menunjukkan sejumlah permasalahan tentang keyakinan yang memberi dampak bagi anak-anak ke depan karena ketidakadilan negara mengayomi keberadaannya. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dewi Kanti, pegiat dan penghayat Sunda Wiwitan menilai sebuah agama seharusnya tidak dilembagakan, tapi dijadikan sebuah tuntunan perilaku hidup karena jika sudah dilembagakan akan rentan konflik.

“Agama bukan lembaga, tapi sebuah tuntunan perilaku hidup. Ketika sudah dilembagakan akan dengan mudah terjadi konflik. Banyak tali-temali kepentingan yang akhirnya esensi ajaran agama menjadi tidak murni lagi,” kata dia saat ditemui satuharapan.com di Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Sabtu (22/11).

Sunda Wiwitan, menurut Dewi, selama ini telah mendapat labelisasi dari negara dan masyarakat sebagai sebuah agama yang ingin dilembagakan.

“Negara menganggap kami ini ingin dilembagakan. Kami menyadari bahwa secara sistematis kami ingin dihabisi dari tarik-menarik kepentingan kapitalisme yang bermain mata dengan oknum aparatur negara dengan kedok beragama,” kata dia.

Tarik-menarik kepentingan ini tampak ketika penganut Sunda Wiwitan, kata Dewi, dipaksa untuk menulis enam agama yang diakui negara di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Penulisan di KTP kami macam-macam. Saya sendiri dipaksa untuk menuliskan Islam, yang lain ada yang Katolik, Konghucu, dan segala macam. Kami merasa selama ini ada unsur pemaksaan dan penggiringan agar kami menyerah dan akhirnya harus menutupi jati diri kami,” Dewi menjelaskan.

Kalaupun pada kolom agama dikosongkan, penganut Sunda Wiwitan akan berhadapan dengan label ateis dan komunis.

Labelisasi ini pada akhirnya membuat para penganut Sunda Wiwitan memilih bungkam dan sembunyi karena takut dengan tekanan sosial. Ini yang membuat penganut tersebut hingga saat ini tidak dapat dideteksi secara administratif.

“Secara administratif, penganut Sunda Wiwitan banyak yang sembunyi karena takut dengan tekanan sosial. Seharusnya negara hadir menjadi pembela. Negara tidak boleh absen dalam kesetaraan warga negara,” kata Dewi.

Dewi dan penganut Sunda Wiwitan lainnya mengaku hanya ingin hidup dengan damai di tanah tempat mereka tinggal tanpa pengkotak-kotakan agama.

“Seberapapun kami, inilah kami yang bertahanan. Kami hanya ingin hidup merdeka lahir dan batin di tanah sendiri,” ujar Dewi. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home